Thursday, June 22, 2006

Bagian ke 1
Globalisasi dan Pendidikan : Apa Artinya Bagi Indonesia?
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Pada era globalisasi ini, kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah Negara. Dalam kaitan ini, Indonesia haru mereformasi pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi factor pendidikan di era globalisasi ini, akan menjadi ancaman yang mengerikan berupa runtuhnya tatanan ke hidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.

Fenomena globaliasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan kemonukiasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.

Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan territorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai Negara. Hal ini memberikan kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.

Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang "berprestasi dan cemerlang", karena di era global ini banyak Negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiswa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan unutk masuk dalam apa yang disebut sebagai "pasar dunia" agau global market.

Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajar dirinya dengan negara-negara lain di dunia.

Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi factor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan mambuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan social, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.

Ketergantungan yang terus menerus terhadap orang, institusi dan Negara lain membuat ketidak-percayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan Negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.

Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.

Tantangan secara intern yang jelas adalah bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua pelajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana maupun pasca-sarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas computer dan akses internet, dan alat Bantu modern lain yang dibutuhkan.

Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.

Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.

Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sanggat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indicator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pemimpin dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia kearah global oriented dalam arti sepenuhnya.

Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia Mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellence, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.

Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapat kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang (data tahun 2006).

Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagad raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan Baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.

Masa Lalu : Pengaruh Internasional pada Pendidikan Indonesia.

Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan modern yang berbeda, dan mempunyai kekhasan tersendiri, yang sangat mempengaruhi perkembangan dan persepsi terhadap globalisasi atau internasional pendidikan di negeri ini.

Malaysia misalnya, walau sempat tertinggal jauh dari Indonesia, tetapi negeri ini mempunyai tradisi pendidikan internasional yang diwariskan oleh penjajah Inggris, yang mempunyai kebiasaan sejarah selalu membawa pelaku-pelaku didik di tengah bangsa yang dijajahnya, walau pada mulannya hanya untuk mengakomodasi kepentingan sendiri. Sehingga di negara-negara jajahannya selalu terdapat lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional, yang pada gilirannya mempengaruhi tradisi belajar dan mengajar di negara jajahannya.

Stanford, dan banyak institusi execellent lainnya telah ada di Malaysia sejak lama, begitu juga st. Stephen College, Presidency College, St.Joseph's College, St. Xavier's, Christian Medical College, CMC Vellore, Isabella Thoburn College dan banyak lagi institusi ternama, terdapat di India sejak lama, tempat sebagain besar elite neger ini belajar, banyak lagi di Pakistan dan Bangsladesh, serta negera-negara jajahan Inggris lainnya.

Berbeda dengan negar-negara tersebut di atas, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan yang amat unik, yang sekalipun pendidikan modern sudah merambah sedemikian luas, tetapi akar pendidikan Indonesia, yankni "pesantren", masih tetap berdiri kokoh dan memberikan kontribusi aktif bahkan lebih dibandingkan dengan apa yang disebut sebagai lembaga pendidikan modern (Baca artikel Syaykh Al-Zaytun pada Berita Indoensai edisi 09 dan 10).

Sedangkan pendidikan modern baru diperkenalkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1892, dimulai dengan pendidikan dasar yang kemudian dikembangkan sampai ke perguruan tinggi pada tahun 1920, dengan berdirinya sekolah tinggi teknik Bandung, disusul dengan berbagai lembaga pendidikan tinggi di kawasan lain di Pulau Jawa, yang kesemuanya merupakan lembaga pendidikan yang amat exclusive, sehingga tidak setiap warga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan tinggi. Di masa itu terdapat pembagian peringkat sekolah, sehingga menyulitkan masyarakat kebanyakan untuk mengikutinya, bahkan untuk sekolah peringkat dasar sekalipun.

Hampir bersamaan dengan itu, para tokoh pendidikan pesantren pun, berupaya untuk mempertahankan eksistensi pendidikan Islam, dengan mendirikan pesantren modern sesuai dengan jamannya, Pondok Tebuireng didirikan, begitu juga Pondok Modern Gontor Ponorogo. Di lain pihak Muhamadiyah pun melakukan hal yang sama, sekalipun orientasinya sedikit berbeda, karena lebih mendekati upaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak penjajah Belanda, dengan muatan keislaman.

Tidak seperti Malaysia dan negara-negara jajahan Inggris lainnya, yang begitu mudah diarahkan dan mengikuti jejak penjajahnya, terutama dalam kaitan dengan penggunaan bahasa. Belanda tidak mampu melakukan hal yang sama, karena benteng kokoh pendidikan bangsa Indonesia tersebut di atas. 350 tahun lebih tidak memberikan bekas budaya bahasa sekecil apapun kepada bangsa Indonesia, dan sepeninggal mereka, terasa begitu mudah dan cepatnya bangsa ini menemukan jati diri, begitu juga dalam kaitan dengan pendidikan.

Dengan demikian sentuhan-sentuhan internasional terhadap pola pendidikan di Indonesia, sangatlah terbatas di awal pengenalan pendidikan modern tersebut, diiringi dengan berbagai tantangan, yang tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Sangat besar manfaat pengenalan pendidikan modern bagi perkembangan pendidikan di negeri ini, tetapi juga mempunyai yang cukup serius, saat tantangan yang sama dengan pola yang berbeda kembali dihadapi oleh bangsa besar ini, yaitu globalisasi.

Pasca kemerdekaan, Indonesia bergerak menata dunia pendidikannya, namun masih dengan perhatian yang amat kecil dibandingkan perhatian pemerintah terhadap bidang-bidang lain. Sejak awal kemerdekaan sampai masa-masa reformasi, pada saat kepemimpinan negara dipegang oleh mereka yang lebih educated, namun belum memberikan perhatian lebih terhadap dunia pendidikan di negeri ini.

Harapan akan munculnya gembong pendidikan Indonesia, sirna saat pendidikan Indonesia masih tetap seperti sedia kala (tidak bergerak maju), dan berbagai kebijakan masih jauh panggang dari api, dalam kaitan dengan derasnya arus globalisasi yang tak terelakan. Walau saat ini bermunculan di sana-sini lembaga pendidikan tinggi, dari yang terbaik menurut ukuran Indonesia, sampai pada yang hanya dipergunakan untuk memperoleh formalitas kualifikasi.

Banyak sudah tenaga-tenaga pendidik yang dikirim ke luar negeri untuk menyelesaikan program master dan atau doktoralnya, akan tetapi sekembalinya mereka ke negeri ini, tak banyak yang bisa mereka lakukan, hal ini karena adanya perbedaan antara yang harus mereka lakukan dengan kebijakan yang ada, walau di antara mereka ada yang menduduki posisi kunci dalam kementerian pendidikan.

Pesantren sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan Indonesia, ternyata dalam keterbatasannya, mampu melebihi lembaga-lembaga pendidikan sekuler, dalam kaitan dengan pengakuan internasionalnya, sebagai missal Pondok Modern Gontor, dan banyak lagi pesantren telah mendapatkan pengakuan dari Mesir atau Negara Arab lainnya. Sementara sampai saat ini belum satupun universitas di luar negeri, yang meluluskan ijasah SMU sebagai persyaratan masuk langsung ke universitas.

Universitas di Inggris, New Zealand, Australia dan banyak Negara maju lainnya, mempersyaratkan dua semester di perguruan tinggi untuk bisa diterima langsung, belum termasuk penilaian kecakapan berbahasa Inggris, yang rata-rata harus memperoleh skor 550 untuk TOEFL, dan 650 untuk IELTS, dan untuk itu dibutuhkan tambahan waktu antara enam bulan sampai dengan satu tahun.

Masih banyak lagi hal-hal penting, yang sama sekali belum tersentuh oleh sentuhan internasional, terutama dalam kaitan dengan perubahan kurikulum pendidikan menengah maupun tinggi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan rekognisi dan akreditasi internasional.

Al-Zaytun sebagai salah satu pelaku aktivitas pendidikan, sangat menyadari hal tersebut di atas, dan oleh sebab itu sejak berdirinya sampai pada usianya yang kelima (2006), berupaya untuk memberikan sentuhan-sentuhan internasional, dengan harapan jika tiab saatnya nanti, lembaga pendidikan ini benar-benar menjadi lembaga pendidikan internasional, sekaligus sebagai "Center of Excellece".

Al-Zaytun dan Eksistensinya

Al-Zaytun didirikan oleh Yayasan Pesantren Indonesia (TPI), bukan oleh perorangan, atau keluarga (dinasti). Ini bermakna kampus ini didirikan oleh kebersamaan berbagai person yang bergabung di dalam Yayasan Pesantren Indonesia.

Yayasan pendiri, selalu bersikap antisipatif terhadap perkembangan zaman, khasnya terhadap berbagai perkembangan pendidikan. Karenanya, yayasan ini selalu menata dan me-manage perjalanan pendidikan di Al-Zaytun dengan kaidah-kaidah pendidikan modern. Al-Zaytun dicetuskan, digagas, dan didirikan oleh umat Islam bangsa Indonesia, diperuntukkan bagi umat dan bangsa secara keseluruhan, dan juga merupakan hadiah umat Islam bangsa Indonesia untuk umat manusia sedunia, karenanya, Al-Zaytun adalah milik semua umat manusia.

a. Filosofi Al-Zaytun

Arah dan tujuan pendidikan Al-Zaytun adalah "Mempersiapkan peserta didik agar berakidah kokoh kuat kepada Allah dan syariat-Nya, menyatu di dalam tauhid, berakhlakul karimah, berilmu pengetahuan luas, berketerampilan tinggi yang tersimpul dalam Basthotan fi al-ilmi wa al-jismi sehingga sanggup siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan Negara bangsanya dan masyarakat antar bangsa dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi".

Al-Zaytun akan selalu menampilkan spesifikasi atau cirri khas, bagi upaya persiapan sumber daya manusia berkualitas dalam penguasaan Alqur'an secara mendalam, terampil berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa dominant antar bangsa, berpendekatan ilmu pengetahuan, berketerampilan teknologi dan fisik, berjiwa mandiri, penuh perhatian terhadap aspek dinamika kelompok dan bangsa, berdisiplin tinggi serta berkesenian yang memadai.

Adapun kurikulum yang dianut oleh Al-Zaytun adalh kurikulum yang komprehensif dan modern yagn selalu sensitive dan tanggap terhadap perkembangan zaman, selalu up to date ('ashry) dan kampus ini akan menitik beratkan kurikulumnya kepada pencapaian ilmu dan teknologi yang dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah SWT.

Dari aksentuasi kurikulum yang memadukan ilmu pengetahuan, teknologi, iman dan takwa kepada Allah SWT, maka Kampus ini terus berusaha dengan segala kemampuannya berjalan di atas sistem. Yakni segala langkahnya dilandasi dengan persiapan (moral-material) program yang jelas dan control yang pasti. Tiga item ini selalu berjalan menyatu menjadi satu kesatuan.

Tidak ada yang lebih utama dan terutama dari semua itu, yakni semuanya menjadi sesuatu yang utama dan terutama, tidak ada yang dikesampingkan.

Untuk itu semua, Al-Zaytun tidak berdiri sendiri atau tidak bekerja sendiri, melainkan selalu bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan yang telah terlebih dahulu mencapai kemajuan, dalam negeri maupun luar negeri (seperti apa yang telah dilakukan dengan lemabga-lembaga pendidikkan : ICDL, IMCA dsb. Dengan selalu mengacu kepada bimbingan instansi terkait, diharapkan secepatnya dapat terwujud kesamaan dan kebersamaan dalam menyikapi pencapaian perbaikan mutu pendidikan umat dan bangsa.

b. Sistem Pendidikan Al-Zaytun

Sebelum Indonesia lahir sebagai bangsa dan Negara, selama 350 tahun bangsa dan negara ini dijajah oleh Belanda dan berbagai Negara penjajah lainnya. Penjajahan memporak-porandakan eksistensi bangsa penghuni negara kepulauan ini dalam segala aspek dan dimensi kehidupan, yang paling mendasar adalah porak-porandanya bidang pendidikan. Keporak-porandaan pendidikan ini sangat dirasakan oleh seluruh penduduk negeri khususnya umat Islam.

Penjajahan asing atas negeri ini baru berakhir pada tahuan 1949, sekalipun kemerdekaan telah diproklamasikan pada tahun 1945. Umur kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai lebih dari 50 tahun namun kemajuan pendidikan di negeri ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti jika dibandingkan dengan Negara bekas jajahan lainnya.

Dengan berbagai pengalaman pahit tentang output pendidikan nasional yang kita rasakan bersama, kiranya kita semua memiliki keberanian melakukan terobosan positif membenahi pendidikan Indonesia tanpa saling menunggu dan saling mengandalkan satu sama lain, agar kita sebagai bangsa tidak tertinggal lebih jauh.

Dalam kondisi seperti ini, Al-Zaytun tampil bersama lembaga-lembaga pendidikan lainnya memberikan penanggulangan terhadap berbagai permasalahan pendidikan Indonesia. Mencoba menawarkan konsep pendidikan mandiri dalam pelaksanaan dan upaya penanaman kemandirian itu pada setiao peserta didik dan para pamong serta pelaku didik.

Diharapkan dengan bimbingan dan pembiasaan terhadap peserta didik menuju proses kemandirian dan perkembangan positif intelektual, psikologi, fisik, moral-etika, disiplin dan berbagai perkembangan positif lainnya, kiranya dapat mengarah kepada output sebagai wujud manusia yang mandiri, berilmu dan berperadaban (berkemajuan tingkat ilmu dan budaya).

Al-Zaytun menetapkan system pendidikan yang tak terputus dalam melaksanakan pendidikan formal yang mesti ditempu. Untuk mencapai arah dan tujuan one pipe education system, yang diwujudkan dalam pelaksanaan pendidikan dari kelas satu hingga kelas dua puluh. Yang terbagi dalam beberapa tingkatan :
Pertama ; Tingkat Dasar (Elementary) tahun 1 hingga tahun ke 6.
Kedua ; Tingkat Menengah (Secondary and Senior High School) tahun ke 7 hingga tahun ke 12, umur 13-18 tahun.
Ketiga ; Program S1 tahun ke 13 hingga tahun ke 15, umur 19-21 tahun.
Keempat ; Program s2 tahun ke 16 hingga tahun ke 17, umur 21-23 th.
Kelima ; Program S3 tahun ke 18 hingga tahun ke 19, umur 24-26 tahun.

Diharapkan dengan menempuh system pendidikan seperti ini kita akan mendapatkan kader-kader bangsa yang terdidik secara formal yang terprogram dengan baik, tidak terputus masa pembelajaran dan pendidikannya, sehingga dalam umur emasnya mereka telah mampu menyelesaikan pendidikan formal, dan karenanya usia produktif mereka dapat diabadikan kepada nusa dan bangsanya serta umat manusia pada umumnya denga penuh tanggung jawab, karena mereka telah memiliki kecerdasan yang terlatih, kebajikan dan kebijakan yang tinggi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni.

Sementara ini, yang sudah dapat ditempuh oleh Al-Zaytun adalah pelaksanaan mulai tingkat dasar (elementary), tingkat menengah pertama (secondary school), tingkat menengah atas (senior high school), serta tingkat S1. Setelah itu akan menyusul tingkat S2 dan S3.
(Sumber dari Majalah Berita Indonesia-11/2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home