Tuesday, June 27, 2006

Keseimbangan Hidup Peradaban dan Perdamaian
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Membangun adalah menciptakan. Maknanya penyingkapan kosmologi sepanjang waktu, untuk menciptakan kemajuan pada level personal maupun sosial, membangun personal-personal yang kuat dan masyarakat yang kuat, menjadi bangsa yang kuat.

Diawali dengan penyingkapan sesuatu budaya dan merealisasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan merealiasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan, jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka mereka bukan manusia (makhluk hidup).

Karenanya pembangunan adalah pemenuhan (pemuasan) progresif kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non manusia, dimulai dengan mereka yang paling membutuhkan. Pada makna yang lain pula pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, yang seharusnya tanpa mengorbankan siapapun. Sehingga tercipta perdamaian sebagai kondisi dalam ruang untuk pembangunan tanpa kekerasan.
Maka setting pembangunan adalah membangun suatu budaya. Budaya ingin maju, ingin kuat secara individual, masyarakat, dan bangsan, dilandasi oleh budaya dan peradaban yang kokoh masuk ke dalam realisasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan untuk umat manusia dan mahluk hidup lainnya yang non manusia, yang karenanya terciptalah pertumbuhan ekonomi yang merata dalam tataran individual, masyarakat maupun bangsa bahkan bangsa-bangsa di dunia, yang dapat memancarkan perdamaian internal dan eksternal dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan.
Indonesia Membangun dari Masa ke Masa
Bangsa Indonesia dari masa ke masa telah masuk ke dalam ruang pembangunan baik secara sadar maupun tidak sadar. Pembangunan secara modern telah diperkenalkan kepada rakyat. Cultuurstelsel sejak abad ke-19 (1830) telah diperkenalkan kepda rakyat, dengan regulasi yang sangat ringan dan menjanjikan, namun dalam pelaksanaannya menjadi penyengsaraan rakyat. Setting pembangunan dalam Cultuurstelsel tidak seperti yang diuraikan dalam pembukaan tadi yakni tidak dilandasi pembangunan budaya rakyat yang ingin maju, ingin kuat secara individual maupun masyarakat, dan bangsa yang pada gilirannya memancarkan perdamaian dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan, namun pembangunannya dilandasi keserakahan dan eksploitasi umat manusia terhadap sesamanya dan penuh kekerasan yang paripurna.
Dilihat dengan menggunakan kaca-mata pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sangat berhasil, karena pemerintah kolonial ketika itu dapat mengumpulkan devisa ribuan juta gulden sejak pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1877) dan Indonesia menjadi negara eksportir kelas 1 untuk hasil-hasil tropis.
Namun, jika dilihat dengan kaca-mata pembangunan untuk menciptakan kemajuan pada level personal dan social, pembangunan dalam konteks Cultuurstelsel menciptakan kesengsaraan rakyat secara missal yang tak terlukiskan dalam sejarah Indonesia, apalagi jika ditinjau dari segi hak-hak asasi manusia, pembangunan yang dilaksanakan dalam bentuk Cultuurstelsel itu merupakan potret pelanggaran hak asasi yang tiada tara, tercermin dalam berbagai pemaksaan dan kekerasan fisik dan non fisik dalam bentuk struktural maupun non struktural.
Hal itu terjadi karena orientasi dan filosofi pembangunan yang dianut pemerintah ketika itu adalah terfokus kepada pembangunan yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi an sich. Resminya pembangunan gaya Cultuurstelsel ini dihentikan, sekalipun dalam praktek masih terus berlanjut sampai dengan awal abad ke-20.
Selanjutnya, memasuki abad ke-20, tahun 1901 haluan politik baru berlaku di Indonesia sebagai tanah jajahan Belanda. Pemerintah (penjajah) merasa wajib untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi penduduk pribumi. Tujuan pokok politik baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian, secara teoritis merupakan koreksi terhadap perjalanan pembangunan masa lalu. "Sistem eksploitasi digantikan dengan politik pengajaran yang maju". Orientasi baru ini terkenal dengan politik etis.
Haluan politik baru ini akan menentukan arah pembangunan baru. Tumbuhnya haluan baru ini adalah akibat dari pergolakan politik dan perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Indonesia (Hindia Belanda), sekalipun perlawanan ini datangnya bukan dari anak negeri Indonesia, karena mereka belum mengenal bentuk pendidikan yang maju, namun perlawanan dan pergolakan tersebut dilakukan oleh bangsa penjajah yang memiliki kesadaran etika, oleh kaum intelektual yang merasa bertanggung jawab memperingatkan orang-orang sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di negara jajahan yang ada hubungannnya dengan eksploitasi dan kapitalisme yang mereka lakukan khususnya Cultuurstelsel. Orde Politik Etik ini membagi arah pembangunan kepada dua bagian yaitu, segi ekonomi dan segi sosial budaya. Dalam segi ekonomi, arahnya tidak beda dengan politik liberal. Bahwa modal swasta tetap diberi kesempatan luas untuk bergerak di negeri jajahan sedangkan pemerintah menjaimn keamanan dan ketenteraman dengan mengunakan pasukan-pasukan dan birokrasinya.
Adapun segi social budaya mengarah kepada peningkatan sosial budaya penduduk jajahan sejajar dengan peningkatan budaya orang Eropa. Dimana pemerintah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan meningkatkan nilai-nilai budaya daerah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Eropa (barat). Trilogi pembangunan di dalam orde ini adalah meliputi bidang irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Pembangunan dalam politik etis ini sangat mempengaruhi perkembangan rakyat dan masyarakat Indonesia dalam memasuki abad ke-20. Tindakan-tindakan pembangunan yang berakibat jauh dalam perkembangan masyarakat Indonesia adalah sistem pendidikan yang diciptakan pemerintah (penjajah). Sistem pendidikan ini mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru dalam masyarakat, suatu golongan yang terampil, karena dididik di sekolah-sekolah kejuruan, untuk menjalankan fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20, dalam bentuk pegawai negeri dalam dinas-dinas seperti pendidikan, pertanian, kehutanan, kesihatan, bank kredit, dan lain-lain, yang diusahakan untuk kemakmuran penduduk. Tindakan dalam politik etis pada awal dekade abad ke-20 ini sangat membawa arti dan lebih banyak nilainya dari pada dalam masa 300 tahun sebelumnya.
Pembangunan yang dilakukan dalam politik etis berarti politik penjajahan untuk menghilangkan jurang perbedaan antara penjajajh dan rakyat jajahan. Walau akhirnya justru karena kebijaksanaan politik etis ini banyak penduduk pribumi yang berkenalan dengan kebudayaan barat yang justru dipergunakan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah (penjajah).
Pemerintah dengan politik etis sepanjang kekuasaannya selama 42 tahun, menghantarkan Indonesia dan bangsanya mengenal kehidupan ekonomi dan pendidikan modern gaya Eropa, yang selanjutnya menjadi basis perkembangan pembangunan poleksosbud rakyat dan bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan di tahun 1945.
Pembangunan selanjutnya adalah pembangunan di masa pendudukan Jepang, sejak Maret 1942 sampai Agustus 1945. Pemerintah pendudukan Jepang menganut pola pembangunan satu ruang yaitu pembangunan kemiliteran, sedangkan yang lain-lainnya selalu merupakan eksploitasi dan kekerasan maupun kekejaman. Dari Jepang bangsa Indonesia mengenal kemiliteran dan kedisiplinannya, yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kemiliteran Indonesia di masa kemerdekaan.
Datangnya era kemerdekaan Indonesia tidak serta merta membawa bangsa ini masuk ke dalam situasi dan kondisi sejahtera. Mengingat seluruh perjalanan pembangunan yang terselenggara sebelumnya (Belanda maupun Jepang) diak dilandasi oleh suatu budaya ingin memajukan, menguatkan secara individual, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Di samping itu, selama perjuangan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan antara pemerintah penjajah dan rakyat terjajah dalam mewujudkan cita-cita pembangunan ketika itu.
Kekerasan, kekejaman, mendapatkan perlawanan dari rakyat dalam bentuk yang sama, di samping pula pendidikan rakyat yang belum merata, mengakibatkan sebagian besar hasil pembangunan yang dilakukan oleh Belanda selaku penjajah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal pada era kemerdekaan.
Euforia kemerdekaan berakibat terciptanya berbagai sikap yang tidak kondusif terhadap perkembangan Poleksosbud. Di bidang pemerintahan terjadi berbagai pergantian kabinet dengan masa kerja yang sangat singkat, dengan hanya hitungan bulan, diakibatkan oleh wujudnya multi partai yang selalu bersengketa. Di bidang ekonomi terjadi nasionalisasi berbagai industri dan perusahaan bekas penjajah tanpa dukungan tenaga yang mampu di bidangnya, yang pada gilirannnya membawa akibat mandeknya produksi (paling tidak merosot produktivitasnya).
Dan Indonesia merdeka, mulai membangun kembali di atas sisa-sisa peninggalan Belanda. Di bawa Presiden Soekarno, memulai pembangunan karakter bangsa. Dengan mengedepankan aspek politik sebagai panglima pembangunannya membangun keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Meskipun, dengan slogan pembangunan semesta berencana, namun pembangunan selama 20 tahun di bawah Presiden Soekarno belum menyeimbangkan pembangunan perekonomian rakyat, yang sejajar dengan pembangunan politik.
Politik yang dibangun pada periode ini belum sampai kepada cita-cita dan kehendak rakyat mencapai kehidupan politik yang demokratis, bahkan banyak rakyat Indonesia yang menyikapi Soekarno sebagai pemimpin yan tidak demokratis. Kesejahteraan rakyat yang disimbolkan denga pemerataan kesempatan pendidikan, kesihatan, dan kemampuan daya beli, juga belum dikerjakan dengan baik dalam periode pembangunan 1945-1967 ini.
Periode pembangunan dilanjutkan oleh pemeritah berikutnya, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pemerintahan Soeharto selama kurang lebih 30 tahun itu arah pembangunan menjurus kepada pembangunan ekonomi, dengan dukungan utama dari Negara-negara donor yang menganut paham kapitalis yaitu negara-negara Barat. Sepanjang perjalanan pemerintahan Soeharto negara-negara donor tak henti-hentinya memberikan dukungan dana (berupa hutang) bagi pelaksanaan pembangunan yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi secara ketat.
Mazhab pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Soeharto sama persis kehendak negara-negara donor Barat, bedanya dalam pelaksanaannya, masyarakat Barat telah terdidik dengan kebiasaan itu, sedangkan rakyat dan mayarakat Indonesia belum memiliki pengalaman dan pendidikan ke arah pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh Barat.
Pembangunan ekonomi yang berjalan sekian panjang dan dengan modal multi milyar dolar itu, jutru gagal total pada saat tahapan pembangunan sudah mencapai target waktu yang ditetapkan yaitu pada tahapan yang diistilahkan tinggal landas, yang semestinya menjadi lebih baik karena dasar-dasar tatanan ekonomi telah tersusun dan dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan yang telah dibuat. Cita-cita membangun demi kesejahteraan menjadi kocar-kacir bahkan membuahkan krisis dahsyat yang hamper menjadi "dilema".
Pembangunan Indonesia yang orientasinya menjuru kepada pertumbuhan ekonomi dengan waktu panjang itu justru tidak membawa lompatan besar dalam kemajuan ekonomi, namun membuahkan kesenjangan antara golongan kaya dan miskin serta antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Kesenjangan social ekonomi itu telah menimbulkan frustasi, keresahan, bahkan kerusuhan social. Indonesia diguncang oleh kerusuhan di berbagai tempat, bahkan ancaman disintegrasi di berbagai wilayah.
Membangun Indonesia selama lebih dari 30 tahun itu justru menyuburkan mental korup pejabat birokrasi pemerintahan maupun pelaksana pembangunan dari segala lapisan. Pemerintah pusat belum berusaha maksimal memberantas korupsi, praktek terus merebak dengan cara yang canggih maupun asal-asalan yang terselubung di balik system birokrasi yang rumit dan tidak terbuka.
Presiden Soeharto selam pemerintahannya telah menetapkan program pembangunan dan melaksanakannya, semua langkah berlabel pembangunan, kabinet dan kementeriannya bernama Kabinet Pembangunan. Namun karena ruang pembangunan yang dilaksanakan hanya terfokus kepada pertumbuhan ekonomi dengan control ketat dan pendekatan security approach dan kegagalan pembangunan selam periode pemerintahannyapun penyebabnya adalah mazab pembangunan yang dianutnya, yaitu pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi an sich.
Kini, masa dan periode pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto telah selesai dan digantikan oleh presiden-presiden penerusnya. Kita berharap, pengalaman pahit membangun Indonesia yang selama ini dilaksanakan sesungguhnya tidak harus terulang kembali melalui jalan kegagalan yang sama.
Enam tahun setelah pemerintahan Presiden Soeharto usai, Indonesia telah menampilkan 4 orang presiden. Kalau kita amati dengan cermat, tampak jelas, semangat reformasi yang menghantarkan tampilnya para presiden setelah Soeharto, belum masuk kepada reformasi mazab pembangunan Indonesia yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Soeharto yang gagal. Justru para presiden setelah Soeharto cenderung masih mem-pertahankan mazab pembangunan yang membawa kegagalan itu, yakni mazab pertumbuhan ekonomi.
Membangun Kembali di Masa Krisis
Pembangunan pada prinsipnya merupakan sebuah pendekatan holistik terhadap kondisi manusia, dan pendekatan dinamis, dengan selalu memperhatikan ruang alam, tempat bagi pembangunan itu sendiri, atau setidaknya merupakan keseimbangan yang menjadi landasan kondisi manusia. Juga memperhatikan ruang manusia yang merupakan inti dari pembangunan mental/spiritual. Serta aspek-aspek lain dari ruang sosial dan seluruh ruang dunia.
Pembangunan secara holistik dan dinamis mencakup berbagai ruang interaksi : alam, manusia, social, dan dunia, sebagai perubahan-perubahan menuju perbaikan kondisi umat manusia dan kehidupan lainnya. Karenanya holisme dan dinamisme harus menjadi kerangka dasar visi pembangunan.
Interaksi dengan ruang alam maknanya, pembangunan harus mampu mewujudkan aliran keseimbangan ekologi. Alam telah ada jauh lebih lama dari-pada manusia. Alam sebagai sumber pelajaran mengenai holisme, dinamisme, dan berkelanjutan.
Membangun dalam keadaan krisis lingkungan/alam seperti hari ini harus mengalokasikan program-program untuk menata kembali, paling tidak berusaha untuk menyeimbangkan keberadaan alam degnan kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya, agar tercipta aliran keseimbangan ekologi dan keberkelanjutan.
Membangun berakibat wujudnya aktivitas dinamis itu, harus mempunyai budaya pantang : Berpantang dari aksi yang berlawanan dengan alam, artinya juga berpantang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak (sibghah) segala sesuatu. Karenanya interaksi dengan alam terdapat dua jenis, aktivitas-aktivitas yang selaras dengan alam (eco-action) dan ada aktivitas-aktivitas yang berlawanan dengan arus alam (ego-action).
Semestinya pembangunan mengalokasikan program penyeimbangan alam itu sehingga menjadi suatu nikmat, dan bukan bencana. Sehingga mahluk hidup takkala aktivitas alam (dalam hal ini air) data, umat manusia dapat berkata, "terima kasih Tuhan, Engkau telah menurunkan rizki, kami mahluk hidup ini dapat menikmanti panen air tahun ini".
Sebaliknya takkala siklus pergerakan alam sampai kepada aktivitasnya yang mengakibatkan cuaca panas, banyak mahluk hidup terlanda kekeringan, merana, kehausan, kelaparan, paceklik, wabah penyakit, dan lain-lain.
Mestinya pelaku pembangunan mengalokasikan berbagai program untuk menyeimbangkan cuaca panas itu agar tidak menjadi bencana. Musim hujan yang ditunggu-tunggu justru menjadi bencana, dan musim panas yang diharap-harap juga menjadi bencana. Datangnya dua musim itu sudah dapat diketahui, ilmu dan teknologinya untuk berinteraksi dengan alam yang telah ada, kiranya dinamika suara jiwa yang belum tumbuh dalam batin pelaku pembangunan.
Modal yang hangus akibat kekeringan dan busuk oleh rendaman banjir, jauh lebih besar daripada menciptakan jalan keluar dari akibat aktivitas alam tersebut. Menghijaukan lingkungan, bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan, namun tidak banyak yang konsisten melakukannya, membuat cekungan-cekungan untuk menyimpan ari bukan sesuatu yang repot untuk dilakukan, namun tidak banyak yang mau memikirkan untuk itu, apalagi melakukannya.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia, untuk ini ada tradisi medis yang memfokuskan pada kesihatan somatic dan kesihatan mental dan seluruh tradisi religius yang memfokuskan kepada kesihatan dan penyelamatan spiritual. Ruang manusia mencakup tubuh pikiran dan jiwa. Pikiran sebagai pusat emosi, kemauan, dan kognisi, jiwa sebagai pusat refleksi diri, refleksi tentang kemampuan diri sendiri untuk melakukan refleksi (filosofi), kompleksitas inilah yang akan membentuk kepribadian.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia maknanya : usaha tanpa henti secara holistic dan dinamis membentuk kepribadian menyangkut dengan individu-individu, masyarakat-masyarakat, bangsa dan negara. Menyangkut Indonesia, kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang bangsa Indonesia yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Karenanya aktivitas dalam ruang ini adalah aktivitas pendidikan untuk mewujudkan kepribadian individu-individu, masyarakat-masyarakat bangsa Indonesia yang kuat dan sihat, sihat somatik, mental dan spiritual, cerdas, bajik dan bijak menguasai sains teknologi, cinta bangsa dan negaranya dan mampu bergaul antar bangsa dengan baik.
Kepribadian yang terbentuk melalui pendidikan seperti itulah yang akan dapat menghantarkan individu-individu, masyarakat-masyarakat dan bangsa berkemampuan merawat sistem dalam bentuk aktivitas yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Mudah dilihat betapa bergantungnya semua ini kepada alam. Alam adalah ruang di mana kita istirahat dan aktif. Alam memasok sebagian besar input yang sangat diperlukan, dan menerima (dan mengubah) sebagian output kita. Untuk dapat mengakomodasi, sebagai tuan rumah manusia, alam harus kuat (apalagi jika manusia bertindak sebagai parasit). Dan karena manusia adalah organisme biologis dengan kepribadian-kepribadian, manusia mempunyai kebutuhan lain selain kebutuhan bio. Yakni kebutuhan spiritual manusia.
Di dalamnya mencakup kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan. Dua jenis kebutuhan ini berkaitan secara dialektis. Kebutuhan identitas menuntut titik pasti, segala sesuatu yang di sekitar-nya menyebabkan individu dapat membangun dan memperluas persekutuan-persekutuan di atas dirinya sebagai mahluk hidup. Sedangkan kebutuhan akan kebebasan adalah kebuthan akan ruan, akan mobilitas somatik, psikologis, dan spiritual akan pilihan, kebutuhan untuk berserikat dan tidak berserikat.
Untuk memenuhi kebutuhan sebagai makluk hidup, berupa kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan kebutuhan akan kesejahteraan hidup maka pembangunan mesti memasuki tataran penghormatan atas pelaksanaan hak-hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi, dan politik yang selalu mengedepankan perdamaian dengan jalan tanpa kekerasan.
Kaitan pelaksanaan hak asasi manusia dengan demokrasi selalu imbal balik, karena semakin banyak hak asasi manusia yang diberikan dan dihormati oleh bangsa, semakin banyak tugas-tugas kemanusiaan yang dapat diminta dari penduduk, seperti untuk pajak dan tugas-tugas pertahanan negara.
Begitu juga, biasanya, makin demokratis suatu negara makin banyak hak-hak asasi manusia diimplementasikan, dan makin banyak HAM diimplementasikan, makin banyak pula tugas kemanusiaan dapat ditunaikan. Membangun pelaksanaan HAM dan demokrasi adalah upaya melembagakan mekanismenya, dan eksistensinya tidak tergantung hanya pada tingkah sesaat para pemimpin Negara / masyarakat.
Membangun demokrasi Indonesia dalam hal ini adalah mem-bangun kepribadian demokrasi Indonesia. Kita tidak harus khawatir dengan progresivitas dan dinamika demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini. Membangun kepribadian demokrasi Indonesia yang kita harapkan adalah membangun dan mewujudkan Indonesia yang demokratis dimana pembuatan keputusan-keputusan secara demokratis, dan semakin demokratis pembuatan keputusan, semakin jauh Indonesia dari sikap suka perang.
Demokrasi Indonesia yang kita harapkan bukan lah kekuatan demokrasi untuk memperbesar persaingan dalam negeri untuk saling merebut kekuasaan, karena semakin besar persaingan untuk merebut kekuasaan, makin besar godaan untuk memperoleh dukungan melalui agresi luar. Demokrasi Indonesia yang kita inginkan adalah Indonesia yang demokratis, yang kerenanya Indonesia menjadi Negara yang semakin surplus perdamaian dalam negeri, sehingga tersedia banyak kesempatan berdiplomasi antar bangsa. Kepribadian demokrasi Indonesia, bukan Negara demokrasi yang para pemimpinnya / rakyat-nya merasa benar sendiri, yang karena semakin merasa benar sendiri pemimpin/rakyat, makin suka berperanglah Negara itu, bukan itu kepribadian demokrasi kita.
Membangun kepribadian demokrasi (Indonesia) memang bukan suatu pekerjaan sekali jadi, memerlukan ketekunan dan kesabaran, memerlukan perlembagaan mekanisme dan sistem yang terus menerus disempurnakan. Semakin dalam kita memasuki kepribadian demokrasi, semakin banyak kita temukan ragam, semakin banyak ragam yang berinteraksi, semakin kokoh wujud kepribadian demokrasi itu. Dalam hal kepribadian demokrasi (Indonesia) ini, kita dapat saksikan betapa cepat peningkatan sikap otonomi rakyat Indonesia dalam merespon makna demokrasi.
Kendali elit politik hampir-hampir tidak dapat mengekang gerak otonomi mereka, ini adalah modal besar bagi pembangunan kepribadian demokrasi (Indonesia) kini dan mendatang. Dinamika perwujudan kepribadian demokrasi (Indonesia) saat ini juga dapat menimbulkan kekhawatiran sebagian orang, ada yang menganggap apa yang terjadi dalam kepribadian demokrasi (Indonesia) yang sedang berjalan ini dianggap menimbulkan kekalutan. Dan ia tiba kepada kesimpulan dan mengajak kembali saja ke UUD 1945 yang murni. Itu juga merupakan ragam berdemokrasi, sepertinya ajakan elit seperti itu wajar di dalam ruang demokrasi, namun rakyat selaku pemegang keputusan semakin mengerti dan paham dalam memposisikan otonomi dirinya.
Pembangunan secara holistik dan dinamis tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi. Namun pembangunan ekonomi ini tidak merupakan ukuran satu-satunya. Mestinya visi pembangunan ekonomi pada dewasa ini di Negara kita tidak terlalu berkiblat pada pertumbuhan, namun lebih menitik-beratkan kepada siklus otonomi local dengan melibatkan sebesar mungkin partisipasi rakyat yang semakin jelas sosok otonomi dirinya.
Berbasis dari otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi pemerintahan, maka ide dasar pembangunan ekonomi ini adalah mengandalkan pada kemampuan local, bahkan swadaya local, yang berarti konsumsi local atas apa yang diproduksi dan produksi lokal atas apa yang dikonsumsi, maka skala kecil, lebih horizontal, melibatkan dan mempersatukan banyak orang, mampu mewujudkan integrasi pekerjaan, rotasi pekerjaan dan rekontruksi pekerjaan.
Produksi untuk laba atau pemenuhan rencana bukanlah tujuan dalam dirinya (masyarakat mandiri). Unit produksi tipikal menjadi sebuah koperasi yang dikelola sendiri dengan dialog dan keputusan bersama semua orang yang terlibat, termasuk konsumen, produksi pada dasarnya untuk digunakan, bukan dipertukarkan, hubungan dengan mitra dagang bersifat kooperatif, dan hubungan dengan alam menjadi sangat harmonis.
Pembangunan alternative yang ditawarkan ini adalah sebagai jawaban untuk kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, kirannya dalam perjalanannya ke depan, takkala masyarakat Indonesia ini sudah mulai bangkit, rakyat sudah terlatih dalam kiprahnya sebagai pelaku pembangunan dan bukan sebagai penonton lagi. Kebudayaan umat manusia tidak pernah berhenti dalam sebuah titik besar, selamanya akan terus berkembang selaras dengan perkembangan umat manusia itu sendiri.
Karenanya kita selaku bangsa besar, tidak boleh berhenti dalam sebuah metoda tanpa evaluasi, sekalipun metoda itu telah membawa kegagalan. Alternatif pembangunan ekonomi (masyarakat mandiri) yang kita uraikan dalam kesempatan ini adalah hasil aplikasi sebuah teori yang sedang kita jalankan dalam lingkungan masyarakat Al-Zaytun, yang mungkin dapat dikembang-luaskan ke berbagai daerah, sebab selama masa krisis nasional Al-Zaytun tidak terkena imbas dari krisis itu.
Dan pembangunan seperti ini (masyarakat mandiri), sesungguhnya merupakan usaha memperkecil bahkan menghentikan segala utang luar negeri yang selama ini menyengsarakan dan menjadi beban rakyat yang menjadi penonton pembangunan.(Sumber Kutipan dari Majalah Berita Indonesia-15/2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home