Saturday, August 05, 2006

Mutiara Pemikiran Syaykh Al-Zaytun (1)

Aplikasi dan Transformasi Toleransi
Oleh : Ch. Robin Manulang*)


Mulai edisi ke 18 Majalah Berita Indonesia ini, secara berturut kami menyajikan pemikiran, visi dan misi Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, seorang tokoh yang merupakan personifikasi dari Al Zaytun, dalam rangka kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Serta aplikasinya dalam proses belajar di Al-Zaytun dan dalam interaksi social di tengah masyarakat. Kami memberi judul utama : Mutiara Pemikiran Syakh Al-Zaytun. Tulisan ini merupakan bentuk pengenalan dan apresiasi kami, selaku wartawan Tokoh Indonesia (yang menganut jurnalisme damai) kepada Al-Zaytun, yang mudah-mudahan berguna bagi pembaca dan keluarga besar Al-Zaytun. Amin.
Sangat banyak tokoh, pemikir dan pemimpin yang mencetuskan dan mewacanakan pemikiran, pemahaman dan pemaknaan ajaran agama dengan cerdas dan cemerlang. Namun tidak semua mereka mampu mentransformasi sekaligus mengaplikasikannya, baik dalam suatu sistem pendidikan terpadu maupun dalam interaksi sosial.

Salah seorang tokoh yang tidak hanya cerdas mewacanakan pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus mengaplikasikannya secara nyata, baik dalam suatu system pendidikan terapdu maupun dalam interaksi sosial itu adalah Syaykh Al-Zaytun, Dr. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.

Namanya baru mencuat ke puncak tataran publik setelah di wujudkan impian mendirikan kampus terpadu Al-Zaytun (pesantren spirit but modern system), yang awal pembelajarannya dimulai 1 juli 1996. Sebuah pondok pesantren modern (kampus) yang bermotto : Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian.

Syaykh Abdussalam Panji Gumilang mewujudkan impian mendirikan dan mengelola Al-Zaytun dalam kebersamaan dengan beberapa sahabat. Namun sebagaimana kelaziman dalam semangat kepesantrenan, Panji Gumilang sebagai pendiri, pemimpin, Syaykh adalah persnoifikasi Al-Zaytun. Dalam hal ini bermakna, pemikiran Al-Zaytun adalah wujud dari pemikiran Syaykh Panji Gumilang.

Kehadiran Al-Zaytun yang diresmikan Presiden RI BJ Habibie, 27 Agustus 1999, itu tampak sangat mengejutkan beberapa kalangan, Kampus Terpadu (modern) bersemangat pondok pesantren ini benar-benar mrubah paradigma berpikir khalayak ramai dari anggapan bahwa pondok pesantren itu kumuh menjadi pesantren itu bersih, megah, gagah dan modern.

Kampus ini tidak hanya megah dan modern secara fisik (sarana dan prasarana) tetapi juga gagah, cerdas dan modern bahkan pionir dalam konsep dan aplikasinya. Inilah lembaga pendidikan terpadu pertama yang menganut sistem pendidikan satu pipa (one pipe education system), mulai dari tingkat sekolah dasar sampai strata 3.

Kehadiran Al-Zaytun yang sudah diimpikan pendirinya sejak berpuluh tahun, terasa seperti muncul tiba-tiba saat negeri ini mengalami krisis moneter yang berlanjut pada krisis multi-dimensional. Ia muncul laksana pohon raksasa berdaun ribun lebat di tengah hutan ilalang yang dilanda kemarau kekeringan. Tiupan angin pun mengempas dari berbagai penjuru. Bagi sementara pihak, tampaknya ia seperti barang asing dan aneh, baik secara fisik maupun gagasan dan sistem.

Kehadirannya diperdebatkan, terutama saat-saat menjelang penerimaan santri (siswa-mahasiswa). Ada yang bertanya, darimana dananya? Ada juga yang berprasangka : Jangan-jangan ajarannya sesat? Ada juga yang mengklaim bahwa itu milik NII (Negara Islam Indonesia). Bahkan ada majalah mengisukan bahwa Osama bin Laden ada di sana.

Namun berbagai perdebatan, prasangka, klaim dan isu itu, tidak menyurutkan perkembangannya. Bahkan lembaga pendidikan Islam modern itu makin berkembang pesat, yang ditandai semakin banyaknya jumlah santri setiap tahun dan resmi berdirinya Universitas Al-Zaytun Indonesia, mengenapi sistem pendidikan satu pipa yang dianutnya.

Al-Zaytun ! Kehadirannya saja sudah merupakan fenomena yang menarik. Apalagi setelah beberapa kali berkunjung dan berdialog di sana, sehingga dapat mengenalnya lebih dekat dan lebih dalam, tidak hanya secara penampilan fisik, tetapi juga pemikiran, visi dan misi serta aplikasinya, fenomena Al-Zaytun bertambah menarik dan bermakna.

Pertama kali berkunjung ke sana, kami memperkenalkan diri sebagai orang berbeda aliran agama. Kami seorang kristiani ¡ Perkenalan kami itu langsung direspon dengan jawaban bersahabat oleh Syaykh Al-Zaytun. Petikannya : “ Sebagai suatu bangsa Indonesia, kita sudah punya keyakinan, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dan kejayaan kita ini justru ada kebhinekaan. Ini yang harus kita syukuri. Jadi kami tidak merasa berbeda.”
Kemudian pada bagian akhir, Syaykh Al-Zaytun mengatakan : “Terima kasih, Anda sudah sudi datang ke mari, tapi saya minta jangan mengatakan beda aliran. Tuhan kita sama. Anda beriman, kita beriman, itu kesamaannya. Nggak usah dikatakan benar tidak benar. Yang tahu benar itu Cuma yang di atas sana (Tuhan). Yang penting kita praktekan kebenaran, kita berjalan pada nilai-nilai kebenaranm nanti yang di atas sana yang menilainya. Indonesia kalau sudah begitu, udah beres. Karena kita majemuk ¡.”
Jawaban spontan ini cukup bermakna bagi kami untuk ingin lebih jauh mengenal dan mendalami pemikiran, visi dan misi Al-Zaytun. Kemudian, menulis apa yang kami lihat, dengar dan rasakan setiap kali berkunjung dan berdialog mengenai berbagai hal, terutama dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sampai kami tidak dalam suatu pengenalan bahwa dia (Syaykh Al-Zaytun) seorang pelopor pendidika terpadu (kampus peradaban)2), yang mampu mentransformasi dan mengaplikasikan toleransi dan perdamaian dalam proses belajar sejak dini di lingkungan kampus maupun dalam interaksi sosial di luar kampus (masyarakat). Dia seorang pembawa damai ¡ Bukan untuk tujuan politik praktis kepentingan jangka pendek (the next position), tetapi tujuan damai berjangka panjang (the next generation). Dia sunggu mengaplikasikan ajaran agama Islam yang rahmatan lil a’alamin.

Alumni Ponpes Gontor dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sekarang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, itu seorang pemangku pendidikan yang memiliki wawasan jauh ke depan (visioner) menembus abad dan milenium, menembus sekat, golongan, suku, agama, bangsa dan negara. Berpengetahuan luas berwibawa, tegas, kebapakan, cerdas, serta memiliki sifat dan sikap lainnya yang layak dimiliki oleh seorang pemimpin dan pemangku pendidikan.

Patutlah di dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa bidang Management Education and Human Resources oleh IMCA (International Management Centres Association) Revans University, sebuah universitas action learning yang berbasis di Buckingham, Inggris dan Amerika Serikat.

Dr. Antony Hii selaku Regional Director and associate Professor IMCA menyebut beberapa pertimbangan penganugerahan gelar tersebut, antara lain, karena Syaykh AS Panji Gumilang dianggap berjasa melakukan perubahan besar dalam transformasi kependidikan di Indonesia. Dia dinilai telah sukses mewujudkan ide baru dalam sebuah paradigma baru pendidikan Islam melalui Al-Zaytun. 3)

Menurut Dr. Antony Hii, Syaykh Panji Gumilang adalah seorang yang senantiasa sungguh-sungguh belajar sambil mengambil aksi agung dalam rancangannya. “Tak ada kata tak bisa. He is a man with great of action learning,” puji Dr. Antony Hii, lalu menyebut serangkaian partisipasi Syaykh Al-Zaytun di bidang pendidikan dan manajemen sumber daya manusia seperti sebagai anggota komisaris Akademi Arab di Kairo, sebagai anggota Organisasi Asosiasi Perdamaian Taiwan, Ketua Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Ketua Masyarakat Ekonomi Pesantren Indonesia.

Lalu, dengan penganugerahan gelar doktor itu, Syaykh Al-Zaytun pun menjadi anggota Dewan Kehormatan IMCA bersama para peraih penghargaan sebelumnya seperti duet inovator di bidang kependidikan Charles Handy dan John Kotter, pengusaha multi-nasional seperti Richard Branson dan John Harvey-Jones.

Pria kelahiran, Gresik 30 Juli 1946 ini, telah berhasil mewujudkan ide agung pendidikan terpadi Al-Zaytun. Di pondok pesantren modern ini, dia mewujudkan sistem pendidikan satu pipa dan pendidikan terpadu yang disimpulkan pada pendidikan-ekonomi dan ekonomi-pendidikan, di mana pendidikan harus diciptakan sebagai gula dan ekonomi sebagai semutnya.

Jangan malah ekonomi yang diciptakan sebagai gula dan pendidikan (rakyat) jadi semutnya. Bila pendidikan sebagai gula dan ekonomi sebagai semut, makan semut (ekonomi) akan mendatangi orang yang terdidik. Karena semut adalah makhluk yang mengerti kualitas dirinya terhadap gula, sehingga semut tidak akan terkena sakit gula.

Itulah prinsip dasar dalam pendidikan terpadu yang diwujudkannya di Al-Zaytun, sebuah kampus peradaban milenium ketiga sebagai pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Lembaga pendidikan sekaligus lembaga ekonomi mandiri yang diimpikannya seja belia.

Bersifat Universal

Dalam beberapa kali percakapan dengan Syaykh Al-Zaytun, terpancar pemahaman bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil a’lamiin, bersifa universal artinya berlaku menyeluruh untuk semua bangsa, keadaan dan waktu, serta memiliki watak shalih li kulli zamanin wa makanin (kontekstual di setiap zaman dan tempat).

Syaykh Al-Zaytun juga mengaplikasi pemahaman agama tidak hanya dari sudut pandang normatif. Memahami dan memaknai agama dapat pula didekati dari sudut pandang kesejarahan. Dari khotbanya bertajuk : Toleransi Akidah dalam Beragama 4), tersirat pengertian adalah ahistoris memahami agama hanya pendekatan normatif atau hanya dari sudut pandang dokrinal. Pendekatan agama yang ahistoris justru akan menjauhkan agama dari misi kemanusiannya.

Sejarah agama menunjukkan sesungguhnya agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, berasal dari satu rumpun agama Semitik. Sama-sama mempercayai dan memuliakan Allah yang dimuliakan Ibrahim (Abraham). Namun sejarah menunjukkan justru konflik sering muncul di antara penganut agama yang berasal dari satu rumpun Semitik itu.

Dalam hal ini, pengalaman sejarah sebagai guru yang baik, juga mengajak kita memahami realitas empiris sejarah agama itu sendiri. Bahwa terjadinya kekerasan, dan konflik atas nama agama, harus diletakkan secara proporsional sebagai kenyataan sejarah agama dan bukanlah doktrin agama itu sendiri. Sebab doktrin agama tidak menolerir kekerasan dan penindasan. Mengutip Prof. Dr. Komaruddin Hidayat 5), dalah keliru bila doktrin agama disamakan dengan sejarah agama. Kendati juga harus kita pahami bahwa agama adalah wahyu yang membumi atau menyejarah.

Memang, adalah kenyataan sejarah juga yang menunjukan agama (wahyu yang membumi, menyejarah)n telah melahirkan dinamika dan aneka penafsiran para pemeluknya, yang pada kurun waktu dan tempat tertentu, kadang kala sampai memicu konflik dan kekerasan.

Dalam konteks ini, Syaykh Al-Zaytun mengajak umat beragama memaknai (belajar dari sejarah) dengan kembali kepada fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.

Itu maknanya, pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualsisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Menurutnya, toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Dia menegaskan, toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.

Dalam kaitan ini, Syaykh Al-Zaytun mengutip pesan Tuhan yang bersifa universal kepada umat manusia dalam Q.S. 42 (Asy Syuuraa) Ayat 13 : “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiakan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.”

Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 (Ali Imraan) Ayat 103 : „Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”

Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama utuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.

Tegakkanlah agama dan jangan berpecah-belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama. Estándar yang bersifa universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan kapanpun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antar-agama wajib mengutamakan standar universal ini.

Tegakkkan agama dan jangan berpecah-belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.

Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan. Menurut Syaykh Al-Zaytun , ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecawaan, atau dalam makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka pendek.

Sedangkan elemen lainnya adalah Orientasi nilai. Orientasi nilai menunjuk kepada standar-standar normatif yagn memengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Walhasil, kata Syaykh AL-Zaytun, kebebasan individu dalam bertindak dibatasi oleh standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan hanya berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki oleh selainnya.

“Itu berarti bahwa setiap umat beragama dalam interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi, minimal saling singgung. Sebab strategi, metode dan teknik interaksi masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun non-prinsip,“ jelas Syaykh Panji Guminga.

Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.

Aplikasi Toleransi

Pertanyaan kepada setiap diri individu penganut agama, bagaimana dia mengaplikasikan ajaran agama yang dianutnya. Apakah menjadi kekuatan yang mempersatukan atau sebaliknya menjadi kekuatan yang mencerai-beraikan? Dalam konteks ini, Syaykh Al-Zaytun selalu menyuarakan dan mengaplikasikan pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 (Ali Imraan) Ayat 103 : „Dan bepegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.“

Salah satu contoh aplikasi nyata, Hari sabtu 31 Juli 2004, kami menyaksikan sebuah prosesi toleransi dan perdamaian nyata di Al-Zaytun. Suatu prosesi persahabatan monumental, pertama kali, telah terjadi dalam sejarah kehidupan keberagamaan di Indonesia.“

Sebuah peristiwa aplikasi toleransi nyata terjadi di sebuah pondok pesantren di Indonesia, sejumlah umat Kristen dan umat Islam berkumpul bersama, saling mendoakan, makan bersama, berolah-raga bersama, bahkan bernyanyi sambil bergandengan tangan untuk menyatakan bahwa mereka adalah satu kasih, bersahabat dan bersaudara.

Mereka berjumpa dan bersuka-cita membuka hati dalam kebersamaan dan persaudaraan tanpa melihat perbedaan. Mereka saling memberi dan saling mendoakan sesuai iman dan kepercayaan masing-masing.

Hari itu, laksana satelit mengorbit memancarkan sinyal pesan damai dan toleransi ke seluruh penjuru bumi. Syaykh AS Panji Gumilang dan segenap eksponen, gurum karyawan, dan santri Al-Zaytun menyambut hangat dan mesra kedangan Pdt Rudolf Andreas Tendean, Ketua Majelis Jemaat Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Koinonia Jakarta, bersama rombongan jamaat sebanyak kurang lebih 200 orang.

Al-Zaytun membuktikan memang benar-benar di-setting sebagai laboratorium toleransi dan perdamaian. Para pendiri, eksponen, guru dan segenap santri dipersiapkan menjadi teladan dalam aplikasi toleransi dan persaudaraan tanpa memandang latar belakang dan perbedaan lainnya. Mereka menghendaki bangsa Indonesia bangkit dalam zona damai dan demokrasi (zone of peace and democracy).

Mereka bekehendak kuat mengimplementasikan cita-cita para pendiri bangsa untuk bangkitnya sebuah bangsa besar dan negara besar, Republik Indonesia, yang bertujuan : Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ; Kedua, memajukan kesejahteraan umum; Ketiga, mencerdaskan kehidupan berbangsa; dan keempat, ikut serta menjamin perdamaian dunia yang adil dan beradab.

Sementara, bila kita berkaca pada kondisi riil Indonesia kini, agaknya masih sangat tidak memadai untuk mengklaim diri bahwa kita telah mewujudkan kerinduan para founding fathers itu, sebagai bangsa besar. Bahkan ironisnya, pertanyaan yang pantas mengemuka justru : Mampukah bangsa Indonesia mempertahankan eksistensinya?

Syaykh Al-Zaytun berprinsip teguh bahwa jawaban utama ada dalam bidang pendidikan. Dan, tampaknya itulah yang ingin dijawab oleh Al-Zaytun yang kini tengah menapaki langkah menjadi pilar dan simbul kekuatan kebangkitan peradaban bangsa ini.


(Footnotes)

1. Zone of Peace and Democracy, Wawancara Wartawan Tokoh Indonesia dengan Syaykh Panji Gumilang, Kamis malam 19 Februari 2004.

2. Pelopor Pendidikan Terpadu, Tokoh Utama Majalah Tokoh Indonesia Edisi 08.

3. Sambutan pada acara penganugerahanDoctor Of Managemen in Education anda Human Resources Development dari International Management Centres Association (IMCA) Buckingham, United Kingdom & Revans University, The University of Action Learning at Boulder Colorado, Unite States of America kepada Abdussalam Panji Gumilang – Syaykh Al-Zaytun, di Kampus Al-Zaytun, Sabtu, 24 Mei 2003M -23 Rabi’al-Awwal 1424H

4. Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, Toleransi Akidah dalam Beragama, Khotbah Idul-Fitri 1424H/2003M di Al-Zaytun, pada tanggal 1 Syawal 1424H / 25 November 2003M

5. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi Doktrin dan Peradaban Isalam di Panggung Sejarah, Paramadina Cetakan I, 2003

6. Al-Zaytun Pancarkan Toleransi, Majalah Tokoh Indonesia, Edisi Khusus, Volume 18

(Sumber Majalah Berita Indonesia – 18/ 2006)


0 Comments:

Post a Comment

<< Home