Petani Miskin Negara Lemah
Indonesia adalah sebuah negara agraris yang tanahnya subur dan sumber daya alamnya kaya. Sebagian besar rakyatnya adalah petani yang 70% tinggal di desa. Tapi, ironisnya, masih terus mengimpor beras dan hasil pertanian lainnya. Sebab petaninya super-gurem, miskin, bahkan masih ada yang busung lapar. Negara “kaya raya” ini ternyata sangat lemah, karena petaninya miskin.
Syaykh Al-Zaytun Abdussalam Panji Gumilang menyikapi masalah ini sangat serius dan mendasar. Di lembaga pendidikan Al-Zaytun yang bersemangat pesantren dan bersistem modern, yang didirikan dan dipimpinnya, itu dia mencanangkan semboyan “Petani Kaya Negara Kuat”. Semboyan itu untuk menumbuhkan semangat pemuda (para santri dan mahasiswa) dalam hal pertanian. Supaya pemuda mau dan bangga bertani dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemuda yang mencintai pertanian sehingga mampu menjadi petani yang hakiki, bukan buruh tani atau petani super-gurem.
Di kampus terpadu itu dicanangkan dan diekspektasikan bahwa petani pun bisa kaya. Sebab menurut Syaykh Al-Zaytun, saat ini image di kalangan pemuda, termasuk pemuda anak petani, bertani berarti akan menjadi orang miskin, hina, tidak terhormat. Petani dianalogikan sebagai buruh tani, petani gurem, orang-orang miskin dan hina. Sehingga orang tua mereka juga berpesan : “Bersekolahlah, agar jangan menjadi petani seperti bapak.”
Image petani miskin inilah yang harus diubah menjadi petani yang makmur dan kaya serta terhormat. Untuk itu, menurut Syaykh Al-Zaytun, perlu ada penataan kembali masalah pertanian yang difasilitasi oleh negara. Negara atau pemerintah harus menjadi fasilitator yang mempu memberikan rangsangan-rangsangan bahwa bertani itu mulia, bahwa petani itu kaya. Sebab jika petani kaya, negara akan kuat.
Kekuatan suatu negara akan sangat kokoh bila petaninya kaya. “Kalau pedagang kaya, negara belum tentu kuat. Apalagi kalau pejabat dan pegawai negeri kaya, negara pasti tidak kuat. Tapi kalau petani kaya negara pasti kuat. Karena petani tidak korupsi dan tidak akan membawa modal dasarnya ke mana-mana kecuali di negaranya sendiri,” ujar Syaykh Al-Zaytun dalam beberapa kesempatan berdialog dengan penulis. Sebaliknya, bila petani miskin, kekuatan sesuatu negara akan sangat lemah.
Petani super-gurem
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Aburizal Bakrie di Padang (14/09/2006) mengatakan sekitar 70 persen petani miskin karena lahan yang terbatas serta rendahnya penerapan teknologi. “Selain itu, biaya produksi sangat besar, sedangkan mereka tidak menggunakan bibit unggul akibatnya hasil yang diraih sangat terbatas,”katanya.
Potret petani super-gurem Indonesia juga terlihat dari data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2001, luas lahan Indonesia 11,6 juta hektare, sedangkan jumlah populasi aktif di sektor ini sekitar 50 juta jiwa dari total populasi 201,9 juta. Jadi, seorang petani di Indonesia hanya mengelola lahan 500 meter persegi perkapita. Jauh lebih buruk dibandingkan dengan potret petani Thailand yang memiliki 1.850 meter persegi perkapita. Bandingkan pula dengan petani Amerika Serikat 10.000 meter persegi per kapita.
Belum lagi maslah terjadinya konversi besar-besaran lahan sawah ke lahan non pertanian. Selama tiga tahun saja terjadi konversi lahan sawah 676.000 hektar atau 225.000 hektar per tahun. Sementara itu, percetakan sawah hanya 441.700 hektar atau 147.000 hektar per tahun.
Ditambah lagi masalah kurang efisiennya tenaga kerja pertanian di Indonesia. Menurut Clifford Geerz dalam Involusi Pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar yakni 0,127 Kw/ha. Sedangkan di negara lain, seperti Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha dan jepang 0.014 Kw/ha. Tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia.
Di Amerika Serikat dan Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan seefisien mungkin dengan menggunakan perhitung yang tepat.
Barangkali, sangat baik jika digambarkan potret petani super-gurem Idonesia, dari pengalaman Suparno. Sekitar 25 tahun lalu Suparno datang dari Magelang, Jawa Tengah, ke Kabupaten Subang, Jawa Barat, dengan harapan akan lebih mencerahkan jalan hidup keluarganya.
Tapi, nasibnya tidak jauh berbeda. Sebab di Subang, yang terkenal sebagai lumbung beras, dia hanya mengolah sawah dengan sistem maro (mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil 2:1, dua untuk dia, satu untuk pemilik lahan). Benih, pupuk dan tenaga dia tanggung sendiri. Dia bersama istri (putri asli Subang yang juga tidak punya sebidang tanah) dan anak-anaknya mengolah lahan sekitar 7.500 meter milik juragan yang tinggal di Jakarta.
Suparno hanya petani penggarap. Dia memilih menggunakan benih padi jenis cihanjuang, karena harganya lebih murah. Setiap masa tanam tiba dia harus mengeluarkan uang untuk lima kilogram benih dan beberapa kilo pupuk yang totalnya kurang lebih Rp 700.000.
Setiap empat bulan sekali dia memanen 3,5 ton gabah. Sesuai perjanjian maro, dia hanya berhak atas 2,33 gabah. Sisanya, 1,17 toh harus diberikan kepada pemilik tanah. Dia pun dengan cepat menjual bagiannya 2.33 ton gabah itu masih dalam keadaan basah karena memerlukan uang untuk membayar utang dan membeli benih baru serta pupuk untuk masa tanam selanjutnya. Dia hanya mendapat uang sebesar Rp 2.300.000 – Rp 2.500.000. Karena di desanya, gabah dalam keadaan basa bisa laku sekitar Rp 100.000 – Rp 120.000 per kuintal. Biasanya dia hanya bisa panen dua kali setahun. Berarti penghasilan Suparno mencapai Rp 5 juta kotor atau rata-rata Rp 415.000 per bulan untuk membiayai kehidupan enam anggota keluarga. Itulah salah satu potret petani Indonesia. Potret petani sebuah negara agraris !
Bertani Bukan Kehinaan
Maka tak heran bila petani Indonesia sering disebut kelompok kelas bawah, kaum marjinal atau kaum kecil yang terpinggirkan. Image agas potret petani miskin itulah yang harus diubah. Sebab menurut Syaykh Al-Zaytun, petani itu miskin tidak lagi sekedar image di kalangan pemuda anak petani yang menyebabkan concern petani di bidang pertanian tidak konstan. Dan itu disebabkan banyak hal adan unsur yang menganggap petani itu tidak menjanjikan. Karena petani hanya dianalogikan dan disamakan sebagai buruh tani.
“Secara sadar dan sistematis harus ditumbuhkan keyakinan bahwa bertani bukan suatu simbol kehinaan. Tapi bertani adalah simbol kedigdayaan,”kata Syaykh. Untukitu harus ada penataan kembali sisi pertanian dengan sebaik-baiknya. Dengan sistem dan program pertanian yang ditata dan difasilitasi oleh negara. Sehingga pemuda ke depan mencintai pertanian dan mampu menjadi petani yang hakiki.
Menurutnya, pemerintah harus mampu menjadi fasilitator yang mampu memberikan rangsangan-rangsangan bahwa bertani itu mulia, bahwa petani kaya akan menghantarkan kepada negara kuat. Difasilitasi agar petani itu kaya. Sehingga dari kekayaan petani menimbulkan kekuatan negara. Baru nanti akan tumbuh rasa cinta pertanian. Jika kaum petani yang sekitar 70 persen tinggal di pedesaan diangkat kesejahteraannya menjadi kaum yang berdaya, niscaya Indonesia akan semakin kaya.
Di Al-Zaytun sendiri, Syaykh Panji Gumilang mencanangkan semboyan : “Petani Kaya Negara Kuat – Nong Fu Guo Qfang” Mandarin). Tapi dia menyebut Al-Zaytun bukanlah fasilitator, pemerintahlah seharusnya menjadi fasilitator. Pihaknya (Al-Zaytun) hanya berupaya menumbuhkan semangat pemuda (dalam hal ini pelajar dan mahasiswa) dalam hal pertanian.
Syaykh melihat perlu adanya konsep pendidikan yang bisa menumbuhkan para pelajar atau anak didik cinta terhadap pertanian. Sehingga ke depan para pemuda itu akan mampu dan mau bertani dengan keterampilan yang mumpuni. “Bagi yang spesifikasi pendidikannya di pertanian tentunya kita arahkan agar menjadi sarjana-sarjana pertanian cinta pertanian, itu inti. Sehingga nanti tumbuh dalam diri mereka satu keyakinan bahwa bertani bukan suatu simbol kehinaan. Tapi bertani adalah simbol kedigdayaan,” jelas Syaykh, sang pelopor pendidikan terpadu itu.
Menurut Syaykh Al-Zaytun dalam qobliah Jumat (02/12/2005), bahwa negara berbasis pertanian wajarnya adalah mengekspor hasil pertanian. Negara berbasis pertanian wajarnya adalah seluruh bangsanya concern terhadap pertanian. Bila zaman sudah modern bangsa ini harus mampu masuk pada dunia pertanian yang modern. Sehingga tidak ada lagi polemik ekspor-impor.
Sebab menurut Syaykh Panji Gumilang, ekspor-impor pangan adalah Indonesia sebagaimanan dirilis Majalah Al-Zaytun Edisi 42-2005.
Sekaligus Mengangkat Desa
Bertani itu, umumnya adanya di desa. Jadi mengelola pertanian dengan sebuah sistem juga berarti mengangkat desa. “Desa harus diangkat setinggi-tingginya dalam makna difasilitasi secukup-cukupnya. Berikan air, maknanya air jangan sampai menggenang di waktu hujan sehingga tidak menjadi banjir, dan lari sedemikian rupa diwaktu panas sehingga menjadi kekeringan. Maka fasilitas air sangat diperlukan, berikan desa itu fasilitas air. Sehingga identitas desa sebagai lahan pertanian itu bisa riil,” jelasnya.
Setelah itu berikan sarana-sarana infrasturktur dalam bentuk jalan, perbaikan jalan. Sehingga komunikasi antara desa dan kota menjadi selesai. Produk-produk pertanian menjadi gampang dipasarkan oleh petani sendiri melalui koperasi.
Kemudian berikan fasilitas penerangan listrik yang cukup. Sehingga produk pertanian itu tidak dijual hanya row material-nya saja, tapi pasca-panen petani masih bisa memproduk produksi pertanian yang lain karena ada tenaga listrik di kampung itu.
“Selain ketiga unsur itu yang harus diberikan kepada masyarakat desa, yang tidak kalah pentingnya dan menjadi basis semua itu, kalau diberikan sarana pendidikan yang cukup dan pertanian,” kata Syaykh. Dalam hal ini, menurut Syaykh, pemerintah sebenarnya hanya fasilitator, yang mesti action nyata adalah petani itu sendiri. Masalahnya, petani di Indonesia rata-rata buruh tani bukan petani. Banya orang masih belum concern pada pertanian. Yang masih concern pada pertanian hanya buruh tani dan petani super-gurem, bukan petani yang terdidik.
Mereka kelompok bawah termarjinalkan, terpinggirkan, kelompok warga yang tak berdaya hanya menjadi objek. Tidak berdaya dalam mekanisme sarana produksi dan mekanisme pasar.
Menurut Syaykh, hal ini yang harus diatasi dan ditingkatkan. Dalam masa 5-10 tahun ke depan, program negara harus pro petani, pro rakyat desa. Sehingga nanti terjembatanilah kemakmuran di desa dengan kebijakan yang strategis mengangkat petani, menjadi petani yang hakiki, sekaligus mengangkat masyarakat desa,” ujar Syaykh.
Perhatian fasilitator (pemerintah) terhadap pertanian harus lebih ditingkatkan. Peningkatan perhatian itu antara lain dibuktikan dengan peningkatan anggaran untuk pertanian. Kurangnya anggaran pertanian adalah bukti kurangnnya perhatian pemerintah selaku fasilitator.
Salah satu akibat dari kurangnya perhatian fasilitator juga terlihat dari kenyataan banyaknya sarjana lulusan pertanian beralih profesi ke bidang non-pertanian. Produk pendidikan pertanian itu tidak menjamin negara ini langsung menjadi baik bila fasilitatornya tidak meletakkan mereka pada posisi-posisi yang sebenarnya. “Mengapa seorang sarjana pertanian menjadi alih profesi, lari kepada tugas-tugas keuangan, tugas-tugas politik, tugas-tugas yang lain? Karena memang fasilitas pertanian menurut mereka dianggap tidak ada.”
Selain itu, menurut Syaykh, sistem pendidikannya sendiri tidak menciptakan satu keyakinan enterpreneurship bagi masing-masing manusia terdidik. “Akhirnya dia bergantung kepada kekuatan yang mau menggunakan dirinya. Yang pada gilirannya tidak profesional semuanya dan terjadilah kondisi negara seperti yang hari ini kita rasakan bersama,” tegas Syaykh.
Syaykh menambahkan bahwa keberhasilan pertanian itu bisa mengangkat kejayaan negara, dan itu bukan sekadar keyakinan, namun harus menjadi darah daging bangsa Indonesia. Karena tanpa itu Indonesia tidak bangkit. “Karena itu untuk membangkitkan Indonesia, pertanian mesi ditata secara wajar tidak seperti hari ini. Hari ini penataan pertanian tidak wajar,” katanya.
Padi Sumber Kaya
Indonesia sebagai salah satu negara agraris yang berpenduduk mayoritas petani, tetapi kebanyakan masih menggunakan cara tradisional mengikuti tradisi leluhur. Sehingga produksinya dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan yang signifikan, hanya berkutat di kisaran 4 ton per hektar. Sementara negara tetangga, Vietnam dan Malaysia telah mampu meningkatkan produktivitas padi 10 ton per hektar.
Kegagalan dan ketertinggalan Indonesia tersebut, menurut Syaykh, diakibatkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, banyaknya tenaga ahli pertanian yang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya. Juga rendahnya biaya untuk penelitian di samping adanya anggapan bahwa petani tidak akan pernah menjadi kaya.
Kondisi ini harus sesegera mungkin di atasi. Apalagi WTO telah mencanangkan tahun 2015 akan dibuka liberalisasi produk pertanian. Untuk menghadapi hal tersebut, kata Syaykh, persiapan harus maksimal. Karena kita siap atau tidak hal itu pasti berjalan.
Jadi, kata Syaykh, jangan menunggu semua siap. “Kita yang di masyarakat kecil ini harus berjalan. Tak perlu harus menunggu seluruh bangsa siap. Kalaumau memanen pisang jangan menunggu yang matang di pohon. Jadi satu pisang ada yang matang itu suah siap namanya. Jadi kita harus siap karena pasti datang.”
Dia berpesan kita tidak perlu takut dengan dibukanya liberalisasi produk pertanian, malah tambah bagus karena kita bisa punya partner yang banya dari mana-mana. “Kita bisa alih teknologi, kalau mau kita transfer pengalaman kita atau kita ambil dari pengalaman mereka, jadi nggak usah khawatir.”
Al-Zaytun sendiri, sebagai bukti cinta terhadap pertanian Indonesia, telah membentuk Kelompok Tani Terpadu yang terdiri dari para tenaga ahli dan diketuai langsung oleh Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang. Kelompok Tani Terpadu itu selalu berusaha mencari terobosan baru dibidang pertanian khususnya padi. Mereka selalu mengadakan penelitian, terlebih berhubungan dengan bibit unggul.
Pemburuan bibit unggul itu terus dilakukan, sejak awal Mei 2005 dengan menyilang dua varietas bibit unggul yang berbeda asal, menjadi varietas baru yang diharapkan dapat menyempurnakan sifat dari keunggulan tersebut. Hasil dari penelitian yang tak kenal lelah selama berbulan-bulan itu, pada awal Desember 2005, Al-Zaytun telah me-launching calon varietas baru yang diberi nama : Sumber Kaya, Sri Rejeki, KKO dan KKI.
Padi Sumber Kaya adalah keturunan pertama (F1) dari hasil persilangan dua varietas yang ebrasal dari Indonesia dan Malaysia. PTB (Fatmawati) asal Indonesia di silang dengan MRQ 74 asal Malaysia menghasilkan Sumber Kaya. Dan kebalikannya MRQ 74 disilang dengan PTB (Fatmawati), menghasilkan Sri Rejeki. Kemudian varietas lokal Indramayu biasa disebut Kebo disilang dengan Kowani asal Sulawesi Tenggara menghasilkan KKI, dan kebalikannya Konawi disilang dengan Kebo menghasilkan KKO. Krena masing-masing baru F1 tentunya belum dapat dikatakan sebagai unggul, tidak-lanjutnya adalah peningkatan kepada F2, F3, dan selanjutnya sampai menjadi bibit galur.
Namun dari tanda-tanda awal sangat dimungkinkan tujuan keunggulan akan dapat dicapai dengan beberapa alasan. Pertama, berbagai penyakit yang biasanya menyerang berbagai varietas tersebut, sperti kresek, tungro, wereng dan sudep tidak muncul selama dalam proses pertumbuhannya. Kedua, anakan produktif, jumlahnya relatif banyak, lebih dari 20 malai (melebihi induknya). Ketiga, keseragaman masa berbuah. Keempat, malai relatif landung berbulir di atas 150. Kelima, umur hampir bersamaan dengan induk asal antara 100-115 hari.
“Pengembangan lebih lanjut terus diusahakan sampai menjadi bibit galur dan tentunya bila semua tercapai dengan sukses akan menambah khazanah perbibitan pangan Indonesia,” harap Syaykh optimis. Dengan penelitan yang tak pernah lelah dan tak henti-henti, Syaykh optimis, akan menghasilkan produk pertanian yang gemilang.
Apalagi dengan berdirinya Universitas Al-Zaytun Indonesia, menurut Syaykh, akan merupakan jawaban untuk memadukan sistem pertanian yang modern dan tradisional. “Nanti Universitas Al-Zaytun kita harapkan mencampurkan usaha tradisional dan kontemporer untuk mewujudkan sesuatu yang adil dan manusiawi bagi masa depan,” kata Rektor Universitas Al-Zaytun Indonesia itu.
Dalam Qobliah saat melaunching (syukuran) lahirnya calon varietas bibit baru Padi Sumber Kaya (02/12/2005), Syaykh berkeyakinan produktifitas padi akan meningkat, akan berlimpah. “Kita harapkan dapat 12 ton padi, yang setiap tahun dan satu dekade harus terus meningkat. Panen dulu 8 ton, lalu ditambah seperempat lagi menjadi 10 dan terus 12 ton,” kata Syaykh.
Syaykh mengungkapkan bahwa Amerika, Mesir, dan Australia sudah 10 ton per hektare, sedangkan Indonesia masih rata-rata 4-4,5 ton per hektare. “Mudah-mudahan 12 ton dasn kita sebar semua di seluruh Indonesia bahkan kalau perlu Malaysia ambil dari sini,” harap Syaykh.
Food and Agriculture
Syaykh menjelaskan bahwa green revolution atau revolusi hijau yang telah berjasa banyak bagi kelangsungan hidup manusia. Pada saat green revolution, manusia baru berjumlah kurang dari tiga milyar, lahir satu kejutan dengan intensifikasi pengairan, bibit dan pupuk serta sarana produksi yang berhasil meningkatkan produktivitas dari 2 ton gabah menjadi 4-5 ton per hektar. Sehingga manusia menjadi tidak lost generation karena masih cukup makanan yang dimakan. “Seandainya revolusi hijau tidak ditempuh, mungkin manusia hari ini tinggal 500 juta dan kurus-kurus lagi bodoh karena kurang makan,” jelas Syaykh.
Namun, selanjutnya saat ini, jelas Syaykh green revolution sudah stagnan. Dalam satu hektar lahan pertanian hanya mampu diproduksi 3-4 ton beras paling tinggi. Hal ini akan menjadi bahaya keterbatasan pangan bagi manusia. “Kalu tidak dicari way out-nya akan ada bahaya,” ucap Syaykh. Dan jalan keluar dari bahaya kekurangan pangan pasca green revolution adalah dengan menata sistem pertanian moderen.
Pasca-stagnan-nya green revolution yang juga dituduh orang menyebabkan rusaknya ekosistem bumi, orang mulai beralih kepada doubly green revolution. Suatu upaya memperbaiki green revolution tersebut, dengan mengisi contain baru. Bagaiman supaya green revolution ini bisa sustainable , berjalan terus. Tapi kandungannya manusiawi dan lebih natural, lebih organik.
Menurut Syaykh, pada abad ini dunia masuk kepada gen revolution atau revolusi gen. Dengan didukung oleh revolution gen, maka terjadilah green revolution yang sustainable, sehingga food and agriculture itu sehat. Jadi food and agriculture harus sehat. Zero chemical, tidak punya kandungan kimia buatan sama sekali. Dan ini tidak serta merta terjadi, karena proses alam ini sudah terlalu lama terkontaminasi oleh kimia buatan.
“Kehidupan ini sangat bergantung pada tanah, sedangkan tanah sudah terkontaminasi pada green revolution yang lalu. Sekarang kita memperbaiki melalui organic agriculture. Organic agriculture itu memakan masa yang panjang. Satu contoh produk organik, pertanian organik itu baru dinyatakan 100% organik apabila satu lahan selama dua tahun tidak terkontaminasi oleh kimia buatan baik itu yang di tanah maupun di tanaman itu sendiri. Kemudian dua tahun di lingkungan itu tidak ada lingkungan chemical. Baru masuk, pada organik atau organic agriculture. Kegiatan-kegiatan yang lain berkaitan dengan organik baru produknya dinamakan produk organik. Itu kalau konsisten semua,” Syaykh menjelaskan.
Hal ini diperlukan manusia terdidik di pertanian yang mengerti efek chemical, mengerti lingkungan chemical, mengerti masa berlakunya chemical untuk tanah. Tanah, akibat green revolution ada terkena kanker teanah. Maka perlu perbaikan.
Green Revolution mulai tahun 60-an. Kemudian dinyatakan harus diubah tahun 90-an. Ini bermakna 30 tahun. Perbaikan juga 30 tahun. Tapi tatkala kita memperbaiki dalam asa 30 tahun tidak boleh stagnan. Bila stagnan maka manusia akan kelaparan kembali.
Sambil memperbaiki green revolution penemuan-penemuan baru masuk pada organik kemdian didukung dengan penemuan gen revolution., baru tumbuhlah satu kekuatan food and agriculture yang kokoh, sehat, dan manusia semakin sehat, produktif. Itu revolusi baru.
“Semua strategi sasarannya adalah food. Karena maslah food tidak bisa lagi ditawar-tawar. Ke depan food ini harus ehat. Sebenarnya yang lalu juga harus sehat, tapi dari pada mati pada umur 20 tahun lebih baik panjang umur,” kata Syaykh.
Sekarang, urai Syaykh, manusia sudah bisa hidup 60 tahun namun lebih baik bisa sehat dan mampu hidup 100 tahun. Nanti bisa sperti Nabi Nuh lagi. Mungkinkah? Hal ini sangat mungkin. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an (QS 2:96).
Ini berarti ada cita-cita manusia untuk diberi umur 1000 tahun. Itu bukan hal yang mustahil kalu manusia mempertahankan kesehatan dengan menjaga food and agriculture.
Menurut Syaykh, negara mana yang mampu menjaga food and agriculture-nya dengan baik maka akan mempu menjaga kesehatan bangsanya dengan baik dan itu negara kaya. Kita boleh tengok semua negara yang kaya dan kuat itu menjaga food dan agriculture. Kalau kita tidak percaya sudah tentu akan menjadi negara hina dina.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – 24/ 2006)
1 Comments:
petani terdidik. bagus sekali gagasannya.
memang pemerintah belum berpihak keapada petani
artikel ilmiah
Post a Comment
<< Home