Friday, September 22, 2006

Mutiara Pemikiran Syaykh Al-Zaytun (4)

Al-Zaytun Lembaga Pendidikan Terbuka
Oleh : Ch. Robin Manulang*)

Bentuk dan sistem pendidikan Al-Zaytun diletakkan pada landasan pokok : Pesantren Spirit but modern system. Lembaga pendidikan ini bersifat terbuka. Terbuka menerima dan mendidik santri dari semua penganut agama, untuk dididik memahami ajaran agamanya masing-masing dengan baik.

Al-Zaytun tampaknya dipersiapkan menjadi suatu monumen bersejuarah kehidupan beragama di Indonesia. Di sana vihara dan kuil, karena (saat) santrinya ada yang Muslim, Nasrani (Kristen, Protestan dan Katolik), Budha, Hindu dan Kong Hu Chu, kumpul bersama. Masing-masing santri dididik memahami agamanya masing-masing dengan baik. Sebab bagi AL-Zaytun mendidik dan membangun semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah sesuai agama yang diyakini santrinya.

Kapan hal ini terwujud (santri Nasrani, Budha, Hindu dan Khong Hu Chu belajar di Al-Zaytun)? Tentu sangat bergantung respon dari calon santri dan orang tua yang beragama Nasranai, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu. Sebab Al-Zaytun sendiri sudah mempersiapkan diri sebagai lembaga pendidikan terbuka yang bersifat global dan universal.

Syaykh Al-Zaytun Dr Abdussalam Panji Gumilang beberapa kali menegaskan hal itu dalam berbagai kesempatan. Satu di antaranya ketika menjawab pertanyaan Noor Huda Ismail, seorang peneliti dari Nanyang Technology University Singapura (24 April 2005), Syaykh Panji Gumilang menegaskan bahwa Al-Zaytun adalah lembaga pendidikan terbuka. “Kami mempersiapkan mulim yang baik, kalau mereka muslim. Bila nanti ada nasrani masuk ke sini, akan dididik menjadi nasranai yang baik. Karena di sini, pendidikan yang terbuka untuk manusia,” jelas pelopor pendidikan terpadu ini.

Ditambahkannya, bagi AL-Zaytun tidak ada istilah non muslim. “Manusialah yang diterima di sini. Manusia itu, macam-macam agamnya,” kata Syaykh menjawab Huda. (Kedatangan Huda ke AL-Zaytun berkenaan rencana penulisan tesis Huda, mengenai gerakan Islam di Indonesia dan penulisan feature tentang Al-Zaytun di Washington Post).

Kock bisa ya? “ Tanya Huda. “Lho Anda ini bagaimana? Pendidikan kok dipertanyakan bisa atau tidak?” jawab Syaykh. Huda tampak makin penasaran dan bertanya : “ Berarti, Al-Zaytun menerima non muslim untuk masuk ke sini?” Tidak ada istilah non muslim. Manusialah, yang diterima di sini. Manusia itu, macam-macam agamanya”, jelas Syaykh Al-Zaytun.

Dijawab seperti itu, Sang peneliti itu masih bertanya : “Nanti, kalau misalnya ada yang non Islam masuk sini diterima?” Syaykh menjawab: Jangan dikalaukan. Hantarkan saja ke sini, akan kami terima. Nanti, jika kalaunya tidak, ya tidak ada. Anda hantarkan ke sini dari Singapura, yang Budha juga kami terima. Tapi, jika masih kalau, jangan. Proses penerimaan calon santri ditutup pada setiap tanggal 31 Mei.”

Pendeta Rudolf Andreas Tendean, STh dari GPIB Koinonia, Jakarta juga mengungkapkan pengalaman yang tak terlupakan saat berkunjung ke Al-Zaytun, 31 Juli 2004. Dalam Percakapannya dengan Syaykh AS Panji Gumilang mengenai kemungkinan bisa tidaknya santri non-muslim sekolah di Al-Zaytun, bisakah persyaratan menghafal Juz-‘Amma “dikredit” dulu. Syaykh mengatakan, tidak usah menghafalkan Juz ‘Amma, karena itu milim umat muslim.

“Saya minta kepada Bapak Pendeta, Bibel apa yang harus dihafalkan, harus diketahui oleh pemuda-pemudi Protestan, seumur tertentu tatkala masuk ke Al-Zaytun. Maka nanti, bagi calon santri (siswa dan mahasiswa) Al-Zaytun yang beragama Protestan, Syaratnya harus mempunyai penguasaan Bibel surat apa sampai ayat berapa,” kata Syaykh tatkala mengungkapkan percakapannya dengan Pendeta Rudy di hadapan eksponen, dosen, guru, karyawan dan para santri Al-Zaytun dalam acara pelepasan rombongan jemaat GPIB Koinonia.

Lalu pada kesempatan itu, Syaykh meminta tanggapan eksponen dan sivitas Al-Zaytun, baik guru maupun perwakilan pelajar, tentang jawabannya kepada pendeta itu, kalau salah, salahkan, kalau betul acungkan jempol, betu. “Diacungi jempol atau tidak,” tanya Syaykh. Semua mengacungkan jempol dan menjawab betul.

“Ini Pak Pendeta. Ngacung jempol semua. Jadi, kaum liberal semua ini. Leberal itu cirinya adalah open minded dan toleran, especially in religion and politic. Ternyata anak-anak kita, guru kita liberal semua. Cuma pertanyaannya, apa ada, kapan, kami menunggu,”kata Syaykh seraya menoleh ke arah Pendeta Rudy dan rombongan yang menyambut denga tepuk tangan.

Kemudian Syaykh melanjutkan, “Bila saatnya nanti bulan Mei, karena pembukaan pendaftaran siswa itu bulan Mei, maka, kita harus membuat satu monumen bersejarah kehidupan beragama di Indonesia ini. Ternyata ada pesantren yang santrinya, ada yang Nasranai, ada yang Muslim, atu saat ada yang Budha, satu saat ada yang Hindu, satu saat ada yang Kong Hu Chu, kumpul semua. Disana ada geraja kecil, di sana ada kuil kecil, di sana masjid kecil. Terjadi di dalamnya yang kemudian memahami pelajaran-pelajaran agamanya, dan diajarkan seperti Sisdiknas.”

Sisdiknas menghendaki bahwa bagi pelajaran beragama tertentu diajar oleh guru beragama tertentu pula. “Maka kami nani, meminta guru pada Pak Pendeta. Sudah tidak usah ke Departemen Agam, cukup Pak Pendeta, kami ini perlu guru Protestan, cobalah kirim,” kata Syaykh yang selalu disambut tepuk tangan semua hadirin.

“Alangkah indahnya kalau itu terjadi,” kata Syaykh seraya menatap kembali kearah Pendeta Rudy. Dan, katanya, kalau sudah kita kalaukan, biasanya akan terjadi. “Sebab, kalaunya pendeta itu adalah doa, dan kalaunya pemangku pendidikan itu pun doa. Doanya pendeta, doanya pemangku pendidikan, doanya guru, doanya pelajar, doanya umat manusia, selalu didengar oleh Sang Pencipta,” kata Syaykh penuh keyakinan.

Dalam percakapan dengan sejumlah duta besar, di antaranya Dubes Palestina, Mozambique, Kenya, Afrika Selata, Lebanon, Jordania, Syiria, Mesir, Iran, Irak, Oman, Libya, Yaman, Sudan, dan Zimbabwe, pada saat peringatan Hari Nasional Saudi Arabia di Hotel Meredian, Jakarta, Jumat 23 September 2005, dan Hari Kemerdekaan ke-36 Libya beberapa hari sebelumnya di tempat yang sama, yang juga (keduanya) dihadiri Syaykh Al-Zaytun, Universitas Al-Zaytun menjadi salah satu topik perbincangan. Mereka membincangkan keunggulan Al-Zaytun.

Para Dubes itu, antara lain ingin tahu apa persyaratan masuk Universitas Al-Zaytun. Syakh menjelaskan, antara lain bagi umat Islam harus dapat membaca dan menghafal Al-Qur’an terutama Al-Baqarah dan Juz ‘Amma. “Lalu, bagaimana mahasiswa yang bukan Islam apakah bisa masuk ke UAZ?” tanya para duta besar itu. Syaykh menegaskan, tentu boleh, dengan syarat, bagi pemeluk agama lain harus memahami ayat sucinya masing-masing. Bagi pemeluk Nasrani, misalnya, harus menguasai Injil.

Al-Zaytun memang dipersiapkan sebagai pusat pembelajaran yang bersifaf universal. Pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Pusat pembelajaran hidup bersama walaupun berbeda bangsa, ras, budaya dan agama.

Sebuah lembaga pendidikan yang sejak dini mempersiapkan peserta didiknya menjadi agent of change and agency of change serta memahami interaksi sosial yang interdependensi (saling ketergantungan). Dalam hal menanamkan interaksi sosial interdependensi ini, Syaykh mengutip teori Ibnu Khaldun : “Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.”

Menurut Syaykh, bangsa Indonesia melalui pendidikan Indonesia modern harus mampu mengantarkan generasi produk pendidikan yang bercirikan abad 21 ini, yakni :
  1. Systems thinker (pemikir sistem-sistem) yang mampu menggabungkan antara isu, kejadian, dan data secara utuh dan terpadu;
  2. Change Agent (agen perubahan) berkemampuan mengembangkan pemahaman dan memiliki kompetensi tinggi dalam menciptakan dan mengelola perubahan (change) bagi kehidupan bangsa agar dapat bertahan hidup.
  3. Innovator and risk taker, yakni pembaharu dan berani mengambil risiko, terbuka terhadap perspektif yang luas dan kemungkinan-kemungkinan yang esensial dalam menentukan tren dan menggerakkkan pilihan.
  4. Servant and steward, kemampuan dan usaha untuk meningkatkan pelayanan kepada yang lain, pendekatan holistik untuk bekerja, memiliki a sense of community dan berkemampuan membuat keputusan bersama.
  5. Polychronic coordinator, yang mampu untuk dapat mengordinasikan banyak hal dalam waktu yang sama yang harus dapat bekerja bersama dengan orang lain.
  6. Instructur, Coach and Mentor, yang mampu tampil sebagai pembantu orang lain untuk belajar, menciptakan banyak pendekatan sebagai instruktur, pelatih dan mentor (penasihat yang bijak).
  7. Visionary and vision builder, yang mampu membantu membangun visi bangsa dan negaranya dan memberi inspirasi bagi segenap lapisan masyarakat yang diposisikan sebagai pelanggan dan kolega.

Ciri-ciri produk pendidikan seperti ini lah yang tengah diupayakan di Al-Zaytun. Upaya itu dilakukan dalam landasan pesantren spirit but modern system melalui manajemen pendidikan perspektif terpadu. Suatu manajemen yang bertitik tolak pada pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini, serta berorientasi ke masa depan dalam berbagai dimensi kehidupan secara terpadu.

Terpadu dalam pengertian menempatkan pendidikan sebagai poros yang ditunjang oleh berbagai faktor, termasuk faktor ekonomi secara mandiri. Selain itu sistem pendidikan terpadu (integrated education system) yang diterapkan di Al-Zaytun juga mengacu pada keberagaman suku, agama dan budaya bangsa ini. Hal mana integrated education system itu diterapkan di dalama multi faith dan a multi cultural society. Sistem ini merupakan pengejawantahan visi dan misi Al-Zaytun sebagai Pusat Pendidikan Budaya Toleransi dan Perdamaian.

Jika ditilik dari rekomendasi UNESCO tentang 5 pilar utama pendidikan abad 21 yaitu learning how to think (belajar bagaimana berpikir), learning how to do (belajar bagaimana berbuat), learning how to be (belajar bagaimana menjadi diri sendiri), learning how to learn (belajar bagaimana belajar), dan learning how to life together (belajar bagaimana hidup bersama), AL-Zaytun telah mengupayakan penerapannya. Sehingga Output-nya diyakini akan acceptable dan marketable bagi kebutuhan lokal dan global.

Kelima visi dan pilar pendidikan dunia abad ke-21 itu, bahkan telah dilaksanakan oleh Al-Zaytun ini jauh hari sebelum UNESCO merekomendasikannya ke seluruh dunia pada awal milenium ketiga ini. Sejak tahun 1993 para pimpinan Yayasan Pesantren Indonesia, pendiri AL-Zaytun, telah menggodok segala aspek yang ebrkaitan dengan kebutuhan pendidikan manusia abad ke-21 itu. Terlihat dari arah dan tujuan Al-Zaytun yang bervisi pada hidup bersama dengan penuh toleransi dan damai. Visi yang diletakkan pada asas berpikir, berbuat, menjadi diri sendiri dan memahami sejarah kemanusiaan sebagai pilar-pilar kehidupan yang diharapkan mampu membangun ata perdamaian dunia yang penduh dengan toleransi dan cinta kasih.

Semangat dan Sistem

Mengapa berbentuk dan bersemangat pesantren? Syaykh AS Panji Gumilang mengatakan bahwa kehidupan pesantren merupakan suatu lembaga (embrio) kehidupan masyarakat yang dapat mewujudkann kebersamaan, keterbukaan, kebebasan, tolong-menolong, saling hormat-menghormati, yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan berjiwa mandiri.

Dijelaskan, kehidupan pesantren selalu mencontoh dan contohi oleh kehidupan para pembimbing dan kiai dengan keteladanan yang baik dan tak henti-hentinya, sehingga akan menimbulkan suatu kebiasaan positif yang tak henti-hentinya dilaksanakan di perkampungan pesantren tersebut.

“Perkampungan pesantren yang dihuni para santri, dengan bimbingan para kiai yang diarahkan pada manhaj al dirasah (kurikulum pengajaran) yang pasti, dengan kesederhanaan dan kemandirian sudah tentu akan tercapai suatu spirit yang kokoh, itulah jiwa pesantren, “ katanya menjelaskan mengapa bentuk dan semangat pesantren dijadikan sebagai landasan pacu lembaga pendidikan ini.

Namun, semangat pesantren itu harus dipadukan dengan sistem modern. Sebab, menurutnya, untuk mencapai kurikulum yang komprehensif dan up to date di pendidikan pesantren ini, harus berani menempuh sikap modern, yakni sikap yang sanggup mengantisipasi perkembangan zaman yang selalu berkembang dan yang pasti dihadapi oleh setiap generasi. “Oleh sebab itu landasan yang dianut Al-Zaytun adalah pesantren spirit but modern system,” tegasnya.

Individu santri yang dijiwai dengan spirit berakhlak mulia, berpengetahuan luas, berpikiran bebas dan berbadan sihat. Insya Allah akan sanggup diarahkan kepada sistem modern dalam segala hal. Itulah kiranya yang melatar-belakangi Al-Zaytun.

Peletakan spirit pesantren dalam melaksanakan pencapian pendidikan di Al-Zaytun, juga dilatar-belakangi dunia pesantren pada zaman keemasannya yang memiliki dinamika intelektual sebagai tanda sistem pendidikannya. Maka Al-Zaytun selalu menampilkan semboyan pesantern spirit but modern system, dengan harapan agar pendidikan terpadu antara faktor sosial ekonomim teknik dan budaya, yang diterapkan dapat menghasilkan perkembangan ekonomi, intelektual, dan sosial budaya bagi umat dan bangsa.

Dalam hal menganut sistem modern itu, Syakh AL-Zaytun menegaskan banyak mengambil contoh dair negara-negara yang telah terlebih dahulu menapai kemajuannya, apakah itu negara Isalam (negara berbasis syariah Islam) atau bukan. Ia menyebut Singapura dan Amerika Serikat menjadi contoh pendidikan termaju di dunia. Pencapaian kemajuannya dimulai dari penataan pendidikan, sehingga ciri dan praktik masyarakat modern sangat jelas dalam aktivitas kehidupan.

Masyarakat Singapura selalu bergerak berdasarkan pengetahuan, berprogram jelas, berdisiplin tinggi, beretos kerja kuat, taat hukum dan menghormati kemampuan dan pencapaian individu dan lain-lain ciri modern lainnya. Semua itu ditempuh melalui pendidikan yang jelas. Singapura berjalan dengan sistem yang jelas, sehingga siapa pun yang berada di dalam masyarakat kota itu, terbawa oleh sistem yang telah mapan itu. Dalam kenyataan harian, orang Indonesia yang kurang berdisiplin pun jika masuk Singapura dapat menjadi lebih disiplin dari pada bangsa Singapura itu sendiri.

Menurutnya, dalam mengambil contoh pendidikan guna mempersiapkan dan menyongsong Indonesia 2020, kita tidak boleh apriori, hanya karena yang kita jadikan contoh bukan negara Islam (negara berbasis syariah Islam), juga bukan satu etnis kebangsaan. Masyarakat Singapura mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa (bukan Islam), Amerika Serikat adalah negara mayoritas Protestan terbesar di dunia, yang belakangan ini presidennya getol “menyerang” dan mengkritik berbagai pendidikan yang sedang dijalankan oleh negara-negara “Islam” di seluruh dunia.

Namun, kata Syaykh, kenyataan dalam kehidupan umat manusia, semangat piagam Madinah dapat berjalan di negara-negara yang kita sebut tadi. Juga semangat ayat Al-quran surat 106 ayat 3 dan 4 : “Makan hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” Bermakna, peribadatan terhadap sistem yang mampu mengangkat kesejahteraan hidup umat manusia terhidar dari kelaparan dan terlindungi dari rasa ketakutan.

“Memang, Ka’bah tidak berada di Singapura maupun di Amerika, namun semangat dan pesan pemilik Ka’bah dijalankan oleh Singapura dan Amerika. Sedangkan penjaga haramain, belum mampu mengamankan peribadatan tahunan yan dijalankan oleh umat manusia sedunia, karena sistem modern belum tampak dalam kehidupan di wilayah “penjaga” haramain. Tiap tahun terjadi kematian sia-sia yang dialami oleh umat Islam dengan dalih Ibadah dan mati syahid, karena kelemahan sistem pelaksanaannya,” jelas Syaykh.

Dalam kaitan ini, Syaykh mengatakan melaksanakan pendidikan dengan tujuan yang telah digariskan, kita tidak perlu mengkuatirkan terhadap penolakan dan kecurigaan yang tumbuh di masyarakat maupun pemimpin keagamaan, yang bersifat tradisional, seperti yang telah diuraikan tadi. “Memang seperti itulah risiko mendidik untuk membangun sikap dan budaya yang bermakna,” ujarnya.

Syaykh menegaskan, di Al-Zaytun, mendidik bukanlah mencetak kader melainkan membimbing manusia ke arah hidup yang lebih baik dan lebih bermakna. Oleh karena itu, Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan hanya menempatkan 0,01% pengajaran, 99,99% lainnya adalah pendidikan. Bermakna, bahwa pamong didik di Al-Zaytun dipersiapkan membimbing dan membiasakan proses pengembangan psikologi, intelektual, fisik dan etika anak didik dengan penuh disiplin selama 24 jam sehari.

Ditegaskan, Al-Zaytun sangat mendalami makna mendidik yang seluas-luasnya dan mampu memberi pendidikan secara netral. Bagi santri yang beragama Islam, Al-Zaytun memilki visi dan misi Islam (universial), dan tidak membawa kepentingan firqah-firqah ke arena pendidikan. Sehingga kelak lulusan Al-Zaytun diharapkan mampu merangkul semua mazhab, organisasi-organisasi Islam ke dalam satu wadah yakni Islam tanpa atribut sebagaimana yang dikenal bangsa Indonesia hingga hari ini.

Cita-cita mempersatukan umat Islam bangsa Indonesia agar menjadi umat yang ya’lu wa la yu’la ‘alaih ditempuh oleh Al-Zaytun melalui pendidikan yang berwawasan dan ber-setting internasional. Maka, dalam kaitan ini, salah satu yang patut digaris-bawahi bahwa santri Al-Zaytun, tanpa terkecuali sejak kelas 8 diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa arab dan Ingris, selain bahasa Indonesia.

Al-Zaytun bercita-cita dan bersungguh-sungguh memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan umat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Dalam kaitan itu, Al-Zaytun menganut (ingin merealisasikan) filosofi, sistem dan stratgi pemberdayaan pendidikan umat dan bangsa yang tepat zaman, yakni Pendidikan Ekonomi dan Ekonomi Pendidikan. Peserta didik dibimbing untuk menguasai sistem perekonomian Islam serta mampu memadukan kecerdasan dan keterampilan sumber daya manusia dengan pengolahan sumber daya alam yang berwawasan masa depan.

Di samping itu, para santri dan segenap eksponen Al-Zaytun dibimbing dan dipersyaratkan harus memahami esensi Piagam Madinah dan Declaration of Human Rights, yang merupakan landasan pengamalan motto Al-Zaytun sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian. Toleransi dan Perdamaian amat didambakan oleh umat manusia di muka bumi ini. Namun realisasinya nyaris masih tidak pernah didapatkan.

Pendidikan Indonesia Modern

Untuk membangun pendidikan Indonesia modern, menurut Syaykh, kita sebagai bangsa wajib mencari, menemukan dan menempuh jalan keluar yang rasional dan humanis. Syaykh melihat problem pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia tersimpul dalam tujuh hal, yakni (1) Keterpaduan Sistem, (2) Geografis, (3) Desa Kota, (4) Transportasi, (5) Sarana prasarana, (6) Kualitas pelaku didik, dan (7) Keseimbangan dana. Menurutnya, semua problem tersebut harus dicarikan jalan keluar yang humanis dan rasional.

Masih menurutnya, banyak jalan keluar sebagai solusi problem tersebut. Berpikir dan berusaha untuk kemajuan pendidikan Indonesia modern tidak boleh berhenti. Perihal keterpaduan sistem, menurutnya, sebagai bangsa Indonesia, kita bersyukur kepada Tuhan YME, telah mewujudkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20 Tahun 2003), sebagai follow up maupun rentetan dari undang-undang yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, semenjak bangsa Indonesia merdeka. Ia pun memaknai jiwa undang-undang itu, bahwa pendidikan adalah suatu suaha bertujuan mengarahkan kepada full development of personality, yakni membangun, membentuk watak maupun kepribadian yang utuh dalam sistem pengasuhan peserta didik yang berkelanjutan (tiada henti), sehingga terwujud sound in mind and body yang tercermin dalam pribadi bangsa yang cerdas (intelektual (IQ), emosional (EQ), spiritual (SQ), bangsa yang bijak dan bajik yang mau memosisikan diri dalam berbagai sikap, who love truth and justive, esteem individual values, respect labor, and have deep sense of responsibility.

Menjadi bangsa yang menguasai sains dan teknologi, bangsa yang sanggup mencintai negaranya dengan penuh tanggung jawab, mampu menciptakan perdamaian masyarakat dan negaranya. Bangsa yang sanggup bergaul dengan bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang tinggi.

Menurutnya, pencapaian pendidikan nasional seperti itu memerlukan keterpaduan sistem. Sehingga akan menjadi milik kita semua, milik bangsa Indonesia, bahkan akan menjadi milik umat manusia secara keseluruhan. Pendidikan yang dimilikinya secara bersama, bangsa, peserta didik, pelaku didik, masyarakat, pemerintah, dan sistem itu sendiri, semuanya menyatu dalam usaha mencapai cita-cita pendidikan nasional, dan keterpaduan seperti itulah yang harus diwujudkan dalam aktivitas pendidikan secara nyata.

Perihal geografis, Syaykh menyebut problem luasnya geografis dalam bentuk kepulauan yang menyebar, yang mewujudkan berbagai bentuk budaya dan bahasa, yang telah dihadapi dengan sistem pendidikan sentralistis, ternyata membuahkan hasil yang kini dituai oleh pendidikan nasional yakni : Sumber Daya Insani Indoensia yang belum mampu bangkit secara berarti. Kini, katanya, sikap keberanian mengadakan evaluasi telah tumbuh dalam kalangan bangsa Indonesia, terhadap jalanya pendidikan nasional kita. Kita telah berani masuk dalam perubahan-perubahan baik sikap maupun pola pikir menuju perbaikan. Otonomi pemerintahan daerah dan pendidikan telah dicanangkan. Pemerintah Daerah dan Kota telah mendapat wewenang luas dalam mengatur kebijakan pendidikan nasional.

Perihal masalah transportasi, menurutnya, jika tidak ditata dengan seksama, justru akan membawa efek yang sangat krusial dalam pelaksanaan pendidikan. Negara kepulauan memilki risiko yang sangat tinggi dalam hal transportasi. Transportasi yang dikelola dengan baik, akan sangat menjujang kesuksesan pendidikan. Sentra-sentra pendidikan dalam satu daerah mestinya mendapat perhatian khusus dari pemerintah berupa kemudahan transportasi bagi siapa saja yang mengadakan hubungan dengan setra pedidikan tersebut. Terkadang, perhatian pemerintah dalam hal tersebut masih belum berimbang.

Berbagai contoh nyata, betapa lemahnya visi pemerintah daerah tatkala berdiskusi tentang penggunaan jalan raya yang menghubungkan dari dan ke suatu tempat pendidikan, karena adanya tindakan pembatasan penggunaan oleh pemda tersebut, dengan tiada beban pimpinan daerah itu mengatakan : “Kasih tahu mereka yang akan datang berkunjung, agar menggunakan bus kecil”. Kejadian ini menimpa pada Manajemen Pendidikan Al-Zaytun, untuk Al-Zaytun berakidah toleransi dan perdamaian, sehingga mampu mengukur isi kepala orang mengucapkan kata-kata itu di zaman globalisasi ini, kita yang berperadaban ini menjadi malu sendiri mendengar ucapan tersebut. Mudah-mudahan tidak terjadi di lain daerah.

Sementara problem desa-kota, dijelaskan, distribusi penduduk, 57% tersebar di 70.000 desa, di dalam 6.850 kepulauan besar dan kecil, menjadi problem tersendiri bagi pelaksanaan pendidikan nasional. Tipe, kondisi, dan lokasi desa-desa sepert itu, mesti terjamah oleh program pemerataan kualitas pelaksanaan pendidikan nasional. Tipe, kondisi, dan lokasi desa-desa seperti itu, mesi terjamah oleh program pemerataan kualitas pelaksanaan pendidikan nasional secara sistematis. Warga pedesaan Indonesia menjadi penentu perubahan tampilan Indonesia masa depan dalam segala bidang, baik yang bersifat positif maupun sebaliknya.

Menurutnya, kesatuan dan persatuan keutuhan dan integritas, nasional masa depan sangat ditentukan oleh keberhasilan bangsa ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan di pedesaan. Jika kita berbicara kualitas pendidikan, sasarannya harus seutuhnya, yakni bagi seluruh masyarakat desa dan kota. Perbedaan yang selama ini sangat menonjol, harus dibuatkan jalan dan jembatan yang kokoh menuju persamaa. Program peningkatan kualitas pendidikan dan menciptakan pendidikan exellence adalah untuk seluruh bangsa, perkotaan mapun pedesaan. Execllence in education imperative to national survival. “itu yang kita simpulkan,” katanya.

Begitu pula masalah sarana prasarana. Lebih dari enam puluh tahun abngsa Indonesia dengan bebas menjalankan pendidikan nasional, bebas menentukan sistem, kurikulum, pendanaan dan lain-lain. UU sistem pendidikan pun telah datang silih berganti, semua bertujuan mencari solusi untuk mewujudkan kualitas pendidikan nasional. Namun, tegasnya, dalam aplikasi selama ini, sesuatu yang dicari dan didambakan masih belum kunjung wujud. Banyak hal memang yang menjadi penghalang.

Menurutnya, banyak penanggung jawab dan pelaku pendidikan yang masih mengganggap sepele kepada sarana dan prasarana pendidikan. Masih banyak yang menyimpulkan hal itu tidak merupaka problem krusial, sehingga perwujudannya tampak dan terasa sangat apa adanya, tidak mengikuti perkembangan hajat dan zaman. Sarana pendidikan, yakni segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan, yang selama ini pengadaannya di sekolah-sekolah Indonesia khususnya di pedesaan, sudah sangat kadaluarsa, justru dengan sarana yang ada itu, dapat melumpuhkan makna dan cita-cita pendidikan itu sendiri (dalam kata lain menciptakan kebodohan).

Sarana yang tersedia di sekolah-sekolah pedesaan (juga diperkotaan) tidak mencerminkan kesanggupan dan kesiapan bangsa Indonesia menyambut gegap gempitanya perubahan zaman. Zaman manual berubah kepada kecerdasan otak dan ilmu pengetahuan, namun sarana pengantar ke arah itu belum diekspos di dalam pembelajaran formal. Zaman yang serba bersih dan sihat, dan sekolah belum mempersiapkan sarana untuk membiasakan hidup bersih dan sihat. Zaman serba disiplin, sekolah juga belum menciptakan sarana yang dapat menunjang ke arah itu.

Juga prasana pendidikan, sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses pendidikan. Kita dapat mencermati keberadaannya. Bangunan-bangunan fisik sekolah khususnya di pedesaan terkesan rapuh, tidak bervisi pendidikan yang luas, lokasinya tidak strategis dalam pandangan pendidikan, asal-asalan. Bahkan banyak orang Indonesia berpandangan bahwa bangunan fisik pendidikan tidak menentukan hasil dan kualitas pendidikan. Jika pandangan itu dianut oleh banyak orang sudah barang pasti apa yang terjadi dan kita rasakan selama ini tentang terhambatnya kualitas pendidikan nasional kita akan terus abadi bercokol.

Syaykh yakin, bangunan fisik sekolah tetap punya peranan penting untuk mengantar pencapaian pelaksanaan pendidikan yang berkualitas. Fisik bangunan sekolah harus terprogram dengan baik, kokoh, dapat mewadahi visi pendidikan yang berjangkan panjang ke depan. Itulah sebabnya sarana dan prasarana dibangun selengkap mungkin di Al-Zaytun.

Di samping itu, perihal pelaku didik (guru) juga masih sarat masalah. Syaykh menguti Prof. Mahmud Yunus dalam buku panduan pendidikan (Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim) mengatakan : Sistem maupun metode lebih penting dari pada materi ajar, namun guru dan pendidik lebih penting dari keduanya. “Tidak siapapun yang mengerti pendidikan meletakkan guru sebagai unsur pendidikan yang tidak bermakna, dari zaman ke zaman guru menjadi pemegang peranan penting dalam proses pendidikan. Guru dapat mengantar suasana belajar menjadi favorable,” katanya.

Dia menekankan, guru mesti dihargai dan dihormati dalam arti seluas-luasnya. Namun, diingatkan, dalam menetapkan guru sebagai pelaku didik harus melalui proses seleksi yang jelas, berdasar cita-cita dan tujuan pendidikan. Sebab, kalau tidak, dari guru juga akan dapat menciptakan berbagai aktivitas yang kontra produktif terhadap makna dan tujuan pendidikan. Berbagai kejadian sering kita temukan dalam pengalaman mendidik keseharian dalam sekolah maupun kelas.

Guru dalam kegiatannya sebagai pelaku didik, akan meningkat kualitasnya jiga selalu tampil seabgai the facilitator dalam elemen dasar action learning, pada pembimbingan team (group peserta didik) dalam menghadapi problem belajar, menciptakan tim mampu bertanya dan berproses merefleksi problem, memfasilitasi tim untuk memiliki kebulatan tekad (resolusi) mengambil tindakan, dan memfasilitasi tim agar selalu memiliki komitmen belajar yang tinggi.

Belakangan ini, di zaman kebebasaan dan reformasi, guru justru dapat menciptakan suasana kontra-produktif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru dapat menciptakan libur total pada hari-hari yang mestinya untuk belajar, hanya karena dorongan kebebasan menyampaikan pendapat berbentuk demontrasi yang memakan waktu lama dan melibatkan seluruh guru dan murid dari segala lapisan yang ada dalam satu wilayah pemerintahan daerah.

Menurutnya, biasanya guru, dalam memecahkan problem, selalu tampil dengan metode pneididikan yang legan baik berupa tekanan maupun dukungan terhadap orang lain yang dihadapi, namun kenyataan yang berjalan di sebuah wilayah daerah di Indonesia yang sedang terjadi adalah pemogokan proses belajar mengajar, bahkan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang mestinya ikut menyelesaikan persoalan yang sedang terjadi. “Semoga semua itu dapat dijadikan pelajaran bagi semua pihak, dan “peradaban” the end justifies the means tidak merasuk ke dalam tataran kehidupan unsur pokok pengemban pendidikan,” katanya.

Masalah lainnya adalah, keseimbangan dana. Menuru Syaykh, dalam menghadapi Indonesia modern, tuntutan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat, dalam bentuk peningkatan anggaran pendidikan. Memang idealnya anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah harus setinggi mungkin. Namun jika itu dilaksanakan juga, akan menjadi satu dilema. Sebab untuk memenuhi anggaran belanja dan pendapatan, pemerintah belum siap memerintah tanpa utang luar negeri. Itu artinya semakin ditingkatkan berbagai macam anggaran perbelanjaan, semakin membengkak jumlah utang yang akan ditanggung oleh rakyat, dan semakin dalam jurang kemiskinan rakyat Indonesia.

Dalam hal ini, kata Syaykh, rakyat Indonesia pun terbagi menjadi berbagi sikap. Ada yang bersikap segala sesuatu mborongkerso apa yang telah disikapi oleh pemerintah. Ada pula yang bersikap segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah selalu tidak cocok bagi pemikirannya, namun tidak pernah menampilkan jalan keluar, atau jalan keluarnya hanya berbentuk kritiknya itu diserahkan kepadanya untuk melaksanakannya ini action juga tidak dapat dilakukannya.

Namun, kata Syaykh lebih lanjut, pasti ada sekelompok bangsa Indonesia yang sanggup dan dapat berbuat menggabungkan dua kelompok yang berbeda dalam dalam menghadapi problem pendanaan pendidikan Indonesia modern yang dicita-citakan bersama tersebut. Yakni membuat anggaran pendidikan yang seimbang dan belanja pendidikan yang seimbang : Yang tidak menyerahkan kepada utang luar negeri saja, tapi juga tidak hanya terus menerus menekan pemerintah untuk menaikan anggaran pendidikan dengan tanpa mau tahu apa yang diperbuat.

Syaykh mengutip nasihat tetua bangsa Indonesia dalam soal pendidikan kepada bangsanya agar mampu tampil : Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tutwuri handayani (Ki Hajar Dewantara). Menurut Syaykh, nasihat ini sepertinya diartikan dalam ruang lingkup sempit oleh bangsa Indonesia. Biasanya hanya dipergunakan dalam urusan guru, bahkan lebih sempit lagi untuk guru yang sedang mengajar dalam kelas.

Padahal katanya, kalau kita semua mencerna secara mendalam nasihat itu, cakupannya amat-sangat luas. Termasuk juga dalam urusan mencipta, menggerakkan, dan menata segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan pendidikan secara luas, etrmasuk di dalamnya adalah urusan pendanaan pendidikan. Menciptakan dana penuh kemandirian, menggerakkan dana pendidikan pada gerakan yang sihat dan tepat, dan menata serta mengelola dana pendidikan secara jujur dan tepat sasaran.

Di Indonesia ini, katanya, pasti masih banyak yang miskin, tapi tidak sedikit orang kaya, dan banyak juga warga bangsa yang memiliki jiwa mandiri dan bebas yang penuh semangat entrepreneurship.” Jika hal itu diseimbangkan dalam satu ikatan kebersamaan menghadapi problem pendidikan Indonesia modern, pasti akan dahsyat hasilnya.” Ujarnya.

“Kepada kelompok bebas, mandiri, dan berjiwa entrepreneur, mari kita mulai melangkah memberi keberpihakan berupa pertolongan yang real bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tergolong miskin agar mereka selamat dan terbebas dari kebodohan sebab jika itu tidak dapat dengan segera kita lakukan, sebagian kecil orang kaya Indonesia juga menjadi tidak selamat,” kata Syaykh.

Ia mengutip Presiden AS John F. Kennedy yang pernah mengingatkan bangsanya. “Jika kelompok masyarakat bebas tidak dapat menolong masyarakat bebas tidak dapat menolong sebagian besar orang miskin, maka mereka pun tidak dapat menyelamatkan sebagaian kecil orang kaya.”

Syaykh berkeyakinan bangsa ini dapat menjalankan berbagai pesan tokokh kemanusiaan yang telah disampaikan tadi, sekalipun kita bergelimang hidup di tengah-tengah zaman Indonesia yang serba nyungsang, yakni zaman : Ing ngarso mangun karso, ing madyo numpuk bondo, tutwuri hanjegali. Kalau dibahasakan dalam bahasa halusnya adalah zaman bid’ah dari pesan leluhurnya yang agung.

Image Sekolah Berkualitas.

Syaykh Al-Zaytun juga memberi gambaran tentang pendidikan (sekolah) Indonesia modern, sebagaimana dirintisnya di Al-Zaytun ini. Menurutnya, pendidikan dan sekolah akan sangat mempengaruhi pada pembentukan perilaku peserta didik dan jalannya proses pendidikan formal. Karenanya pendidikan (sekolah) Indonesia modern kini dan mendatang harus selalu up to date dan berkualitas, tidak boleh asal-asalan dalam segala segi. Sekolah Indonesia harus memiliki citra/image sebagaimana image yang dimilki oleh sekolah berkualitas antara bangsa.

Syaykh menyebut image sekolah yang berkualitas biasanya selalu menampilkan school-image seperti berikut : Pertama, School as a factory (sekolah laksana sekolahan). Metafor sekolah kasana perusahaan yang menekankan suatu image pada teori pendidikan dan praktik. Metafor perusahaan, karena sifatnya memproduksi massal, teknik jaringan pemasangan (assembly) dan quality control. Kepala Sekolah sebagai manajer, guru sebagai karyawan dan murid sebagai produk yang harus digerakkan dan dibentuk.

Kedua, School as a hospital (sekolah laksana rumah sihat). Metafor a hospital untuk sekolah adalah dalam membedakan manajemen dan putusan-putusan profesional, laksana hospital dalam pengajaran diagnosis perspektif, pengajaran individu dan sederet tes serta pendekatan yagn bersifat klinik.

Ketiga, school as a log (sekolah laksana log), mengacu kepada bentuk sekolah klasik di mana dasar-dasar yang ditekankan, guru diberi penghormatan dan status yang tinggi, diseleksi secara cermat dan ditunjang dengan materi dan sumber-sumber lainnya.

Keempat, School as a family (sekolah laksana keluarga), menunjukkan bahwa murid harus dilayani/diperlakukan sebagai individu yang utuh, seluruh anak didik, harus dididik dan mereka tidak dipaksa sebelum mereka siap. Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antara guru dan murid adalah paling penting dalam kegiatan pendidikan di sekolah.

Kelima, School as a war zone (sekolah laksana zona perang), metafor ini menggambarkan antara konflik dan damai dan aksi agresif merupakan baigan yang diharapkan dalam kehidupan sekolah dan kelas. Kalah dan menang lebih penting dari pada cooperation and accomodation.

Keenam, School as a knowledge work organization (sekoalh sebagai organisasi kerja ilmu pengetahuan). Sekolah sebagai tempat kerja merupakan pandangan yang paling banyak dianut. Dikuatkan dengan adanya berbagai pekerjaan tugas dari sekolah, berupa pekerjaan rumah, pekerjaan kelas, dan pekerjaan lainnya. Karenanya, sekolah sebagai organisasi kerja ilmu pengetahuan. Peserta didik kedepan akan menjadi pekerja ilmu pengetahuan (knowledge workers).

Mencipta dan mewujudkan image atau citra pendidikan Indonesia modern seperti yang diuraikan tadi, merupakan usaha besar yang wajib ditempuh oleh seluruh kekuatan warga bangsa Indonesia tanpa terkecuali, pemerintah, swasta, pemimpin, dan rakyat, kaya dan miskin. Dengan image pendidikan seperti itu maka sekolah dan pendidikan Indonesia modern merupakan proses pendidikan terbuka yang mudah dimasuki dan menerima ide-ide dan konsep-konsep baru yang selalu muncul.

Menurut Syaykh, sejarah pendidikan Indonesia selama ini belum mempersiapkan siswa untuk berpikir dan besikap mandiri yang kreatif, seperti image sekolah yang diuraikan tadi. Yang dikembangkan selalu mengarah kepada penguasaan sesuatu yang dipersiapkan untuk menajdi pegawai yang setia dan patuh, bukan pengembangan kecerdasan, kepekaan, dan kesadaran sebagai entrepreneur.

Syaykh berharap, mari semua itu kita jadikan masa lalu dan kita tinggalkan. Sebab bangsa yang tidak sanggup dan siap meninggalkan masa lalunya, itu merupakan pertanda bahwa bangsa tersebut tidak berkeinginan untuk menampilkan generasi yang kuatm berketahanan fisik, berkecerdasan pikir dan berkecepatan reaksi.

“Mari kita tinggalkan paradigma pendidikan Indonesia masa lalu, dan kita persiapkan bangsa ini melalui pendidikan, agar mereka mampu menjadi leader (pemimpin) yang sesuai dengan ciri kepemimpinan abad ini. Minimal untuk memimpin dirinya sendiri,” serunya.

Arah dan kurikulum

Arah dan tujuan Al-Zaytun adalah : Mempersiapkan peserta didik untuk berakidah yang kokok kuat terhadap Allah dan syari’at-Nya, menyatu di dalam tauhid, berakhlakul karimah, berilmu pengetahuan luas, berketerampilan tinggi yang tersimpul dalam “bashthotan fil ‘ilmi wal jismi’ sehingga sanggup siap dan mampu untuk hidup secara dinamis dilingkungan negara bangsanya dan masyarakat antar bangsa dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.

Dalam mencapai arah dan tujuan itu, bentuk kurikulum yang diberikan di Al-Zaytun ini adalah kurikulum pendidikan Islam (bagi santri muslim) umum secara komprehensif dan modern yang selalu sensitif dan tanggap terhadap perkembangan zaman. Spesifikasi dan ciri khasnya adalah penguasaan Al-qur’an secara mendalam, terampil berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa antar bangsa yang dominan, berpndekatan ilmu pengetahuan, berketerampilan teknologi dan fisik, berjiwa mandiri, penuh perhatian terhadap aspek dinamika kelompok dan bangsa, berdisiplin tinggi serta berkesenian yang memadai.

Sebagaimana dirasakan bahwa Indonesia secara realita masih tertinggal dari sisi ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Maka Al-Zaytun ini menitik-beratkan kurikulumnya kepada pencapaian ilmu dan teknologi yang dijiwai dengan iman dan taqwa.

Menurut Syaykh, menitik-beratkan kurikulum pada masalah ilmu pengetahuan, ekonomi, dan teknologi bagi Al-Zaytun adalah suatu keharusan. “Bila tidak, akan berkepanjangan kita ini menjadi pewaris kebodohan dan kemiskinan, yang menurut bahasa Allah dalam Al-qur’an generasi Dzurriyah Dli’afan, yang siapa pun akan merasa takut dan cemas bila itu terjadi,” kata Syaykh.

Dari aksentuasi kurikulum yang memadukan ilmu pengetahuan, teknologi, iman dan takwa kepada Allah, maka Al-Zaytun dirancang harus mampu berjalan di atas sistem yakni tidak boleh melangkah tanpa persiapan (moral-material) program yang jelas dan kontrol yang pasti. Tiga item ini harus berjalan menyatu menjadi satu kesatuan yang harus ditempuh. Tidak ada yang utama dan terutama dan jika salah satu dikesampingkan, gagallah pencapaiannya.

Untuk menjalani sistem ini, Al-Zaytun tidak berdiri sendiri atau bekerja sendirian melainkan selalu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan non-Islam yang telah ada dengan selalu mengacu pada bimbingan-bimbingan instansi terkait sehingga akan etrwujud kesamaan dan kebersamaan dalam menyikapi perbaikan mutu pendidikan di Indonesia.

Menurut Syaykh, menghadapi tantangan besar wajib dengan persiapan, sebab kerja besar tanpa dipersiapkan lebih cenderung gagal. “Kita sudah pahami bahwa tantangan besar itu wajib dihadapi dan diatasi. Maka persiapan untuk menghadapi itu menjadi wajib pula adanya,” katanya.

Untuk itu, di sisi persiapan moral-material, para perintis dan pendiri Al-Zaytun telah siap mora-spiritual, dengan selalu berpadu kepada petunjuk dan bimbingan Alllah serta bimbingan dan arahan dari para pimpinan serta cendekia-cendekia Indonesia maupun antar bangsa. Sebab mereka sadar sesadar-sadarnya keterbukaan moral-spiritual untuk menuju sesuatu yang besar itu merupakan landasan dari segala bangunan yang akan ditegakkan di atasnya.

Dari sisi persiapan material juga tidak kalah pentingnya harus ditempuh. Karena, kata Syaykh, bila kami hari ini mempersiapkan sarana pembelajaran, baik itu gedung-gedung untuk kepentingan kelas pembelajaran, asrama-asrama, perpustakaan dengan segala kelengkapannya, laboratorium, bengkel, sarana olahraga dan lahan-lahan praktikum, semuanya adalah hanya untuk menuju kepada perbaikan kualitas pendidikan umat Islam, bukan mengarah kepada kemewahan.

Juga bukan berarti Al-Zaytun akan menju kepada prinsip bisnis pendidikan atau komersialisasi pendidikan, yakni pendidikan biaya mahal yang pada akhirnya hanya dapat ditempuh oleh kelompok-kelompok elit, yakni kelompok yang berkemampuan saja. Sehingga cita-cita perbaikan kualitas pendidikan umat Islam akan menjadi lambat tercapainya.

“Insya Allah, sosialisasi Al-Zaytun ini tetap berorientasi kepada hakikat kemanusiaan, yang tidak membedakan, status sosial keadaan manusia itu sendiri, kaya, miskin, bodoh, pintar dan sebagainya. Semua input (santri) akan ditampung berdasarkan kebersamaan yang saling menjunjung tinggi dan memahami hakikat masing-masing, namun sudah sudah barang tentu akan ditempuh penyaringan-penyaringan secara wajar berdasarkan persiapan yang tersedia,” jelas Syaykh Al-Zayun.

Dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah digarikan, kata Syaykh, kita tidak boleh bersikap tradisional, yang selalu dengan serta merta menolak perkembangan (yang tidak terbendung). Sikap tradisional, yang selalu khawatir terhadap cepatnya perubahan dan kemajuan zaman, yang selalu membanding-bandingkan masa lalu yang serba lamban.

Syaykh berprinsip untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah digariskan itu, harus terampil memperbaharui secara berkelanjutan terhadap praktik-praktik lama yang telah kadaluarsa, yang selanjutnya perubahan dan pembaruan yang dilaksanakan itu dapat menghasilkan perkembangan sikap atau budaya yang bermakna.

Kurikulum Al-Zaytun menganut flexible and integrated curriculum (kurikulum yang fleksibel dan terintegrasi). Merupakan kurikulum pendidikan yang komprehensif, modern dan selalu sensitif serta tanggap terhadap perkembangan zaman, sehingga selalu up to date (‘ashry) adanya. Kurikulum tersebut dititik-beratkan kepada pencapaian ilmu dan teknologi yang dijiwai dengan iman dan takwa kepada Allah.

Sejak mula Al-Zaytun telah menerapkan kurikulum yang terintegrasi dan fleksibel. Terintegrasi bermakna mengadopsi keseluruhan kurikulum pendidikan nasional (Diknas tahun 1994) dan kurikulum Departemen Agama dan ditambah lagi dengan kurikulum muatan lokal seperti tahfidh Al-qur’an, pendalaman bahasa, pembahasan Kitab Kuning, jurnalistik dan metodik didaktik. Ketiga kurikulum yang terintegrasi itu diterapkan dengan menyesuaikan waktu yang tersedia serta pencapaian yang dikehendaki sesuai visi dan misi pendidikan Al-Zaytun.

Pertanyaan muncul, mampukahpeserta didik mengikuti 21 sampai 26 mata pelajaran setiap pekan? Ternyata dengan sistem berasrama, efektivitas waktu dapat dimaksimalkan dengan tidak mengesampingkan kesihatan dan jiwa berkesenian bagi peserta didik. Terbukti juga bahwa prestasi peserta didik juga cukup memuaskan. Belum lagi, hanya dalam beberapa tahun telah banya di antara peserta didik yang berhasil menghapal Al-qur’an 30 juz dari waktu enam tahun yang ditargetkan.

Sedangkan kurikulum fleksibel bermakna, bahwa kurikulum yang diterapkan menerima koreksi dan perubahan-perubahan sesuai dengan target yang akan dicapai. Dalam kaitan ini kurikulum dikombinasikan dengan kehidupan kepesantrenan yang selalu sensitif dan toleran dalam menyikapi berbagai perkembangan dan kemajuannya. Dalam hal ini para pelaku didik melakukan evaluasi setahun sekali melalui Sidang Litbang Al-Zaytun.

Sistem Pembelajaran

Sementara itu, sistem pembelajaran Al-Zaytun menganut sistem semester. Awal tahun pembelajaran adalah pada setiap 1 Juli, semester ganjil dihitung mulai 1 Juli sampai dengan akhir Desember dan mendapatkan libur belajar semester ganjil selama 1 bulan (30 hari). Lalu, semester genap dimulai pada Januari sampai dengan akhir Juni dan mendapatkan libur belajar semester genap selama 1 bulan penuh (30 hari).

Anggaran waktu pengajaran dengan sistem semester ini telah diperhitungkan degnan matang. Sistem semester ini membuat peserta didik lebih terkonsentrasi karena tidak banyak terganggu dengan banyaknya hari libur dan banyaknya ujian yang diikuti. Kalender pembelajaran pun telah ditetapkan enam tahun ke depan. Hari dan tanggal berapa peserta didik akan menamatkan sekolahnya pada akhir kelas VI pun telah dapat dilihat pada tahun pertama. Al-Zaytun tidak meliburkan muridnya pada bulan Ramadhan. Al-Zaytun berprinsip menjadikan bulan Ramadhan sebagai sarana untuk menempa mentalitas peserta didik.

Dirjen Dikdasmen, Dr. Indra Djati Sidi, ketika berkunjung ke Al-Zaytun pada tanggal 29 Juli 2000, mengatakan, performa kurikulum yang dikembangkan di Al-Zaytun sudah bagus, ditambah dukungan komunitas yang sudah siap. Komponen-komponen pendukungnya pun sudah ada di dalam kompleks Al-Zaytun sehingga menjadikan kinerja pelaksanaan program bertambah kuat. “Saya belajar banyak di sini. Saya kira apa yang sudah diterapkan di sini bisa ditiru di tempat lain. Saya sangat respek,” puji Dr.Indra Djati Sidi.

“Di sini langkah dan inisiatifnya luar biasa,” kata Dr. Indra Djati Sidi. Menurutnya, dengan kelebihan-kelebihan yang ada di Al-Zaytun bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa sistem, metode dan kurikulum yang saat ini sedang diterapkan akan diikuti oleh lembaga-lembaga lain. Atau bahkan, diadopsi negara. Al-Zaytun punya model dan sisetmatika yang khas. Model yang patut ditiru, dipelajari, disistematisasikan dan dikembangkan dengan mekanisasi yang berkelanjutan,” tegasnya.

Pengakuan atas keunggulan pendidikan di Al-Zaytun ini juga tercermin dari akreditasi yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama RI Provinsi Jawa Barat bagi jenjang Pendidikan Al-Tsanawi dengan status Akreditasi Diakui, tak sampai tiga tahun setelah Al-Zaytun beroperasi, tepatnya pada tanggal 04 Februari 2002 dengan Nomor : W1/1/PP.03.2/476/2002.

Jenjang Pendidikan

Di samping itu, Al-Zaytun menetapkan pendidikan formal dengan jenjang yang tak terputus untuk mencapai arah dan tujuan one pipe system education, yang diwujudkan dalam pelaksanaan pendidikan dari kelas satu hingga kelas dua puluh. Jenjang pendidikan itu dimulai pada : Pertama, tingkat dasar (elementary) yakni tahun pertama hingga tahun keenam, umur 6-12 tahun; Kedua, tingkat menengah (Secondary and Senior High School) yakni tahun ketujuh hingga tahun ke-12, umur 13-18 tahun; Ketiga, tingkat S1 yakni tahun ke 13 hingga tahun ke-15, umur 19-21 tahun; Keempat, tingkat S2 yakni tahun ke-16 hingga tahun ke-17, umur 21-23 tahun; dan Kelima, tingkat S3 yakni tahun ke-18 hingga tahun ke-19, umur 24-26 tahun.

Jenjang pendidikan tersebut antara lain: 1) Al-Ibtidai, 2) Al-‘Idadi, 3) Al-Tsanawi, 4) Al-Wustho, 5) Al-‘Ali dan 6) Al-Jami’ah. Bagi tingkat Tsanawi yang tidak mampu (dikarenakan keterbatasan kemampuan dan lain sebagainya) mencapai tingkat Al-Wustho, diarahkan kepada vocational, keterampilan, atau kejuruan. Sementara untuk jenjang Al-Jami’ah penyelenggaraannya berdasar prestasi selektif.

Diharapkan dengan menempuh sistem jenjang pendidikan seperti in, akan didapatkan kader-kader bangsa yang terdidik secara formal yang terprogram dengan baik, tidak terputus masa pembelajaran dan pendidikannya. Sehingga dalam umur emasnya mereka telah mampu menyelesaikan pendidikan formal dengan memiliki kecerdasan yang terlatih, kebajikan dan kebijakan yang tinggi serta ilmu pengetahuan dan teknologi mumpuni. Karenanya, pada usia produktif, mereka dapat mengabadikannya kepada nusa dan bangsanya serta umat manusia pada umumnya dengan penuh tanggung jawab.

Sementara, dalam penjabaran teknis sistem pendidikan nasional, siswa setingkat SLTA dijuruskan sesuai dengan minat dan kemampuannya yakni IPA dan IPS, begitu juga di Al-Zaytun. Namun untuk menentukan detail penjurusan itu di Al-Zaytun, dilakukan secara khusus oleh tim penyeleksi.

Ada beberapa pertimbangan yang dijadikan landasan penjurusan siswa-siswa tersebut, di antaranya, nilai akademis, keinginan (minat) santri, hasil penelitian tim seleksi tentang nilai akademis dan minat satri serta hasil penelitian tim yang dikonsultasikan kepada orang tua santri. Termasuk di dalamnya hasil tes IQ yang diujikan kepada santri kelas tertinggi oleh tim psikolog Al-Zaytun.

Selain itu diberi juga peluang kepada santri untuk menentukan pilihan jurusannya. Namun, pada akhirnya sercara bijak santri harus mengetahui kemampuannya yang dimilikinya. Walaupun kata Syaykh dalam taushiyahnya tentang penjurusan, dalam penentuan penjurusan ini tidak terlalu terpaku hanya pada nilai akademik yang dicapai oleh santri, meskipun tidak bisa juga berpaling dari nilai akademik itu. Menurutnya, nilai merupakan indikator seseorang bisa masuk ke bidang studi yang disukainya, indikasinya terlihat dari pencapaian nilai akademik.

Penjurusan dan Klasifikasi

Sementara itu, penjurusan dimulai secara bertahap dari kelas 10 dan 11, setara dengan kelas I di tingkat SMU atau Madrasah Aliyah. Penjurusan pada kelas IV masih bersifat semi penjurusan. Pada kelas V bersifa penjurusan sepenuhnya. Penjurusan disesuaikan dengan perkembangan kurikulum nasional. Jadi, walaupun akreditasi diberikan oleh Departemen Agama, perihal penjurusan menyesuaikan kurikulum tingkat Aliyah dengan pengayaan khas Al-Zaytun.

Selain sistem penjurusan, juga dikenal pengklasifikasian santri atas 5 (lima) grade berdasarkan nilai akademis yang diperolehnya yaitu kelas Khusus (Kelas B) dengan nilai rata-rata lebih besar atau sama dengan 9: Kelas Baik (kelas C) dengan nilai rata-rata 8 hingga 8.99; Kelas Sedang (kelas D) dengan rata-rata 7 hingga 7,99; Kelas Cukup (kelas E) dengan nilai rata-rata 6 hingga 6,99 dan Kelas Kurang (kelas F) dengan nilai lebih kecil atau sama dengan 6 (yang kini telah berubah, kelas F ditiadakan dan sekarang menganut sistim tinggal kelas /tidak naik kelas).

Pengklasifikasian ini merupakan bagian upaya untuk meningkatkan kualitas akademik para santri secara optimal. Dalam rangka pengklasifikasian ini, penempatan kamar di asrama pun diperhatikan. Sistem klasifikasi penghuni kamar juga disesuaikan dengan klasifikasi kelas, namun faktor keberagaman asal daerah tetap menjadi pertimbangan. Cara ini memudahkan pembinaan akademis pada saat belajar di kamar yang dilakukan pada pukul 20.00 hingga 22.00. (Sumber Majalah Berita Indonesia – 21/ 2006)

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Assalammualaikum Wr Wb,

Saya sudah sering datang ke pesantren ini dan kebetulan banyak dari saudara saudara saya yang menyekolahkan anaknya di tempat ini, saya amat tertarik dengan program yang ditawarkan dikarenakan tempo hari saya mengunjungi sekolah ini namun tampaknya masih libur sekolah, apabila diperkenankan mohon kiranya diberikan informasi secara brosur atau imel kepada saya untuk lebih jelas lagi karena renacanya anak saya yang pertama insyallah kalau sudah selesai pre elementary nya ada rencana untuk bersekolah di Mahad Al Zaytun.
Wassalam Wr Wb.
Ibu Tsabitah

7:30 PM  

Post a Comment

<< Home