Friday, July 21, 2006

Indonesia yang Cerdas, Toleran dan Damai
Oleh : Dr. AS Panji Gumilang

Bangsa yang arif akan memilih jalan perbaikan pendidikan secara mutlak bagi bangsanya. Sebab bangsa yang terdidik pasti akan menjadi bangsa yang kaya dan sejahtera, bangsa yang amanah dan terhormat, dan bangsa yang dapat menyumangkan ilmu pengetahuan bagi pencerahan dunia masa depan. Karena mereka sanggup mensyukuri nikmat Tuhan yang selalu diberikan kepadanya. Itulah budaya baru Indonesia yang harus diwujudkan dan itu juga yang kita maksudkan dengan kontra-budaya. Yakni melalui pendidikan kita wujudkan ; Indonesia yang Cerdas, Indonesia yang Toleran, Indonesia Damai, dan Indonesia Cinta Hukum.

Saatnya Indonesia bangkit

Kebangkitan yang dicita-citakan adalah bangkit untuk ikut menata dunia bersama masyarakat lainnya menjuju tercapainya kesejahteraan dan perdamaian dunia. Bangkit menata masyarakat adalah mengerahkan daya dan upaya untuk terus berpikir dan berbuat bagaimana mengembangkan diri dan membawa anggota masyarakat menjadi warga masyarakat menjadi warga masyarakat dunia yang cerdas, dengan kecerdasannya mereka mampu menguasai sains dan teknologi yang terus berkembang maju tanpa berhenti.

Indonesia yang luas daratannya 1.992.570 Km2 (16 besar) berpenduduk sekitar 240 juta jiwa. Dengan petensi ini, kita dapat meletakkan visi untuk Indonesia masa depan agar dapat bangkit, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di tataran dunia antar bangsa. Membangkitkan Indonesia dari keterpurukan adalah diterobos mutlak melalui perbaikan kualitas bangsa, tak ada jalan lain hanya melalui peningkatan pendidikan.

Jumlah sumber daya insani yang harus mendapatkan perhatian serius ternyata sangat signifikan jumlahnya, mencapai hampir 65 (Persentase pembagian umur (sensus 1990): 0-14=36,6% ; 15-29=28,3%; 30-44=18,1%; 45-59=10,6%; 60-74=5,2%; >75=1,1%), Jika Indonesia GAGAL menata generasi angkatan pertama dan dua ini (0-14 tahun dan 15-25 tahun), sudah barang pasti 20 tahun mendatang nasib bangsa Indonesia tidak dapat dibayangkan betapa nistanya di pergaulan antar bangsa, atau mungkin Indonesia hanya akan menjadi kenangan. Namun jika ditangani pendidikannya secara tepat dan serius, maka kegemilangan Indonesia akan menjadi kenyataan.

Melalui pendidikan yang benar dan tepat, budaya baru Indonesia dapat ditumbuhkan. Budaya Indonesia hari ini cenderung tidak dapat bersatu, tidak mempunyai etos kerja yang tinggi, tidak mandiri dalam membangun diri, kurang beroritentasi pada ilmu pengetahuan, sumber daya tenaga kerja lemah dan rendah, tidak produktif, dan lain-lain lagi. Semuanya itu merupakan indikator kemunduran kualitas bangsa (umat). Karenanya, harus diciptakan kontra budaya, dan sekali lagi jalan satu-satunya adalah pendidikan.

Bangsa Indonesia harus sanggup menyisihkan segala yang dimiliki untuk mendidik bangsa. Memang terasa aneh, berbangsa dan bernegara kok hanya bicara pendidikan. Bagi kelompok yang berpikir instant, memang hal itu merupakan keanehan, namun bagi bangsa yang berpikir kebaikan masa depan bangsanya yang hari ini sedang sengsara dilanda keterpurukan, maka perkara itu bukan merupakan hal yang aneh.

Bangsa yang arif akan memilih jalan perbaikan pendidikan secara mutlak bagi bangsanya, sekalipun hasil yang akan diraihnya menunggu waktu yang sangat lama. Namun bila dilaksanakan dengan tekun dan penuh kesabaran, hasil yang diidam-idamkan, yakni kesejahteraan dan perubahan budaya dari budaya negatif menjadi budaya positif sudah pasti akan dirasakan. Masa 20 tahun memang panjang, namun masa menunggu perubahan budaya yang diakibatkan perbaikan pendidikan akan dapat dirasakan walau sebelum 20 tahun.

Kelak jika pendidikan dibangun dengan serius, budaya bangsa Indonesia akan menjadi cinta kesatuan dan persatuan karena manusia terdidik yang baik akan mendahulukan urusan kebersamaan (kekitaan) dari pada urusan pribadi dan golongannya. Manusia terdidik dengan baik akan bersikap mendahulukan kepentingan bangsa dan negaranya. Bangsa yang terdidik individu-individunya akan mempunyai etos kerja yang tinggi, karena semua yang mereka lakukan berdasar kalkulasi riil. Bangsa yang terdidik dengan baik akan menjadi bangsa yang mandiri.

Maknanya tatkala mereka berkepentingan dengan bangsa lain, mereka akan mampu merumuskan dengan produk yang mereka hasilkan dan bukan mengandalkan utang, karena sesungguhnya kehidupan ini saling ketergantungan.

Bangsa yang terdidik dengan baik akan dapat menyumbangkan ilmu pengetahuan bagi pencerahan dunia masa depan, bersama-sama bangsa-bangsa dunia lainnya, sehingga mampu berinteraksi ilmu pengetahuan dan teknologi di tataran antar bangsa. Bangsa yang terdidik akan mempunyai tenaga kerja yang kuat dan produktif, karena lapisan dasar tenaga kerjanya terdiri dari sumber daya yang pengetahuannya sesuai dengan pekerjaannya.

Bangsa yang terdidik dengan baik, akan menjadi bangsa yang amanah dan terhormat sehingga tanpa diminta, bangsa lain akan menghormatinya, dan mereka akan berhitung seribu kali jika akan mengambil kebijakan yang tidak tepat kepadanya, apalagi menghinanya. Bangsa yang terdidik dengan baik pasti akan menjadi bangsa yang kaya dan sejahtera, karena mereka sanggup mensyukuri nikmat Tuhan yang selalu diberikan kepadanya. Itulah budaya baru Indonesia yang harus diwujudkan dan itu juga yang kita maksudkan dengan kontra budaya itu. Indonesia Cerdas, Indonesia Toleran, Indonesia Damai, dan Indonesia yang Cinta Hukum.

Jika seperti itu kontra-budaya yang kita ciptakan melalui budaya baru Indonesia, maka kebangkitan bangsa melalui dan dimulai dari Indonesia (kata banyak orang) bukan merupakan hal yang mustahil. Oleh karenanya, kita sebagian kecil dari bangsa Indonesia memulai kearah itu. Kita katakan dengan bahasa lisan, kita mulai melangkah membangun dan merealisir visi budaya baru Indonesia (kontra-budaya).

Dari desa yang sunyi, kita ubah suatu paradigma bahwa : " hanya kotalah yang mampu mewujudkan fasilitas pendidikan yang memadai". Ternyata desa jika ditata dan di-manage dengan amanah dan jujur perkembangannya jauh lebih cepat dari pada kota yang tidak berbudaya.

Membangun pendidikan yang baik berarti mendidik berorientasi masa kini dan masa depan. Itu pula yang dinamakan modern. Karenanya pendidikan modern tidak dapat difasilitasi denga fasilitas yang tidak mempunyai kekinian. Fasilitas modern bukan terbatas hanya dalam bidang fisik, namun segala yang memenuhi persyaratan modern.

Modern bermakna visioner, karenanya visi pendidikan mesti diarahkan kepada kebangkitan Indonesia yang dapat berdiri sama tinggi duduk sama rendah di tataran antar-bangsa.

Pendidikan modern bermakna pendidikan yang berprogram jelas. Program pencapaian pendidikan Indonesia harus diarahkan membangkitkan bangsa Indonesia menjadi setara dengan bangsa-bangsa lain dalam segala bidang dan aspek kemajuan dan perkembangan bangsa-bangsa menjadi bangsa yang arah berpikirnya berwawasan antar-bangsa. Pendidikan modern mesti berorientasi pada dunia ilmu pengetahuan dan perkembangannya.

Budaya Indonesia ke depan adalah ditentukan oleh hasil pendidikan yang beroritentasi ilmu pengetahuan yang tak kunjung henti, ilmu pengetahuan yang tidak pernah kenal titik berhenti.

Pendidikan modern harus mempunyai saran disiplin. Dalam kehidupan modern, disiplin merupakan sesuatu yang mesti diwujudkan. Disiplin bukan milik kalangan militer atau sipil, semua bangsa modern pasti konsisten dengan disiplin. Bangsa akan hancur jika disiplin disepelekan dalam kehidupan kesehariannya.

Disiplin inilah yang akan mengantarkan suatu bangsa akan kenal prosedur hidup bermasyarakat dan berbangsa. Disiplin pula yang akan membawa bangsa akan mencintai kehidupan bertata hukum yang rapi. Masyarakat atau bangsa yang berdisiplin sebagai cermin masyarakat yang dapat menghormati hukum dan menegakkannya dalam tatanan hidup kesehariannya, baik untuk dirinya maupun masyarakat dan negaranya.

Dalam kehidupan pendidikan modern, diperlukan sarana yang dapat membawa kepada tingkatan hidup yang mengarah kepada etos kerja yang tinggi. Tanda masyarakat modern adalah mempunyai etos kerja tinggi dan bertanggung-jawab terhadap pekerjaannya.

Karenanya, semua sarana yang diperlukan untuk menunjang kehidupan pendidikan modern seperti itu harus kita adakan jika kita menginginkan Indonesia ini menjadi bangsa yang maju dan modern di masa kini dan mendatang.

Tatkala bangsa Indonesia sudah memasuki era pendidikan modern seperti yang telah diuraikan tadi, tentu bangsa ini akan tampil dengan gagah, bangga menjadi bangsa Indonesia dengan kebanggaan yang beralasan. Bangsa Indonesia akan menjadi cinta persatuan dan kesatuan, sebab pikirannya sudah menjadi cerdas, wawasannya menerobos cakrawala yang tak terbatas oleh kekangan-kekangan tetek bengek yang mematikan makna persatuan dan kesatuan bangsa.

Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sanggup hidup berdampingan dengan sesama bangsanya dan bangsa-bangsa dunia lainnya. Solidaritasnya tak terbatas hanya oleh kepicikan isme-isme dan madzhab-madzhab yang membelenggu kehidupan. Bangsa Indonesia yang terdidik ini akan menjadi bangsa yang sanggup berkorban demi kemajuan bangsa dan umat manusia secara keseluruhan.

Tentang pengorbanan, bangsa di dunia manapun pada taraf kehidupan apapun, di negara maju pun, mereka masih tetap dituntut untuk mempunyai jiwa pengorbanan yang tinggi terhadap perjuangannya. Dalam kesempatan mengisi dan memaknai perjalanan abad kebangkitan ini, kita sekelompok bangsa-bangsa yang sadar akan hakikat masa depan, kita sedang mengasah terus jiwa kesadaran kita terhadap makna pengorbanan itu di tengah-tengah keadaan yang serba terbatas, kita memberanikan diri untuk tampil menata kehidupan pendidikan bangsa dan umat.

Ini adalah manifestasi dan bentuk sebuah pengorbanan. Pengorbanan kita ini tak akan berbatas dengan suatu titik pencapaian. Katakanlah dengan izin Allah kita dapat menyelesaikan proyek pembangunan pendidikan di suatu tempat, maka kita akan melangkah ke berbagai tempat sesuai dengan program yang telah kita tentukan bersama.

Untuk itu ada baiknya jika pada kesempatan ini kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Sudah lelahkah kita untuk berkorban demi kejayaan dan kebangkitan pendidikan dan kemajuan bangsa? Bila kita tidak merasa lelah apa yang dapat kita buktikan untuk itu semua? Bangsa yang selalu siap dengan pengorbanan, itu tandanya bahwa umur bangsa ini akan menjadi panjang dan tak terbatas. Selanjutnya melalui artikel ini, kepada umat Islam bangsa Indonesia dan segenap warga bangsa lainnya, kami bertanya : Sanggupkah kita dengan segala daya dan upaya kita berperan aktif membangun bangsa Indonesia, demi kejayaan dan kegemilangan masa depan? Sanggupkah kita mendanai tanpa utang luar negeri untuk program pembangunan pendidikan bangsa dan umat?

Baiklah ini menjadi statement dan pernyataan kita, itu adalah program yang harus kita lakukan secara konsekuen. Sekali lagi kita berdo'a, semoga kita dapat mengabdikan diri demi kebangkitan kembali bangsa dari keterpurukan dan semoga dengan tekad dan kesanggupan kita untuk berbuat ini Allah melapangkan segala cita-cita kebangkitan bangsa Indonesia yang penuh toleransi dan perdamaian yang dapat dirasakan oleh segala lapisan umat manusia tanpa terkecuali.

Posisi Indonesia

Hampir seluruh Muslim di Asia Tenggara membentuk bagian dari wilayah budaya Melayu. Komunitas Muslim di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia, tersebar di Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Singapura, dan Brunai Darussalam, jumlahnya tidak kurang dari 206.584.000 orang = 17,11% dari jumlah umat Islam sedunia. Benang Merah yang menghubungkan praktik dan keyakinan keagamaan mereka di wilayah ini adalah ungkapan budaya yang dimiliki bersama termasuk penggunaan bahasa Indonesia maupun Melayu yang dapat dipergunakan sebagai bahasa komunikasi keagamaan.

Dalam menegakkan kehidupan keagamaan yang cerdas, toleran dan damai di muka bumi ini, peranan Muslim Asia dimotori oleh Indonesia, mestinya dapat lebih mewarnai Dunia Islam Kontemporer. Berbagai syarat untuk itu ada dalam lingkungan wilayah ini baik berupa bahasa, budaya dan adat kebiasaan yang dimiliki oleh Muslim di wilayah ini. Pengembangan dan pembentukan diri bagi Muslim di wilayah ini tidak lagi harus tergantung pada wilayah tempat asal mula munculnya agama Islam (Timur Tengah).

Kemampuan untuk berkembang membentuk diri untuk tampil sebagai umat beragama yang toleran dapat ditunjang oleh kemampuan Muslim di wilayah ini, sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia yang semakin maju yang dapat diakses oleh setiap Muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Untuk menuju kea rah itu, kita sebagai masyarakat (kelompok sosial) ini harus menanamkanvisi pada diri kita masing-masing, kiranya dengan aktivitas yang selama ini kita tekuni sebagai masyarakat pendidikan, terus bergerak ke arah kehidupan beragama atau kegiatan lainnya selalu mengedepankan sikap toleran dan damai. Ini maknanya, lingkungan kita harus sanggup menjadi wahana pengkaderan bangsa dan umat yang orientasinya adalah terciptanya sekiap toleran dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kita harus yakin bahwa penanaman sikap toleran ini akan tercapai dengan seksama hanya melalui pendidikan, dalam artian pembiasaan yang tiada hentinya, sampai sikap itu menjadi darah daging yang tak terpisahkan (akidah).

Dari tempat yang kita wujudkan bersama ini (Al-Zaytun) pasti akan tumbuh kader-kader bangsa, yang akan membawa kehidupan bangsa dan seluruh warga serantau Asia Tenggara ii menjadi bangsa warga dunia pelopor kehidupan penuh toleran dan damai. Berbahagialah bangsa yang mencita-citakan kehidupan yang dicita-citakan oleh seluruh warga dunia, yaitu kehidupan yang toleran dan damai.

Saatnya kita Bangkit

Kebangkitan seperti apa yang dicita-citakan itu? Belajar dari sejarah perjalanan panjang umat manusia, kebangkitan itu harus diberi pigura yang jelas. Kebangkitan yang dicita-citakan adalah bangkit untuk ituk menata dunia bersama masyarakat lainnya menuju tercapainya kesejahteraan dan perdamaian dunia. Bangkit menata masyarakat adalah mengerahkan daya dan upaya untuk terus berpikir dan ebrbuat bagaimana mengembangkan diri dan membawa anggota masyarakat menjadi warga masyarakat dunia yang cerdas, dengan kecerdasannya mereka mampu menguasai sains dan teknologi yang terus berkembang maju tanpa berhenti.

Berpikir dan berbuat tanpa henti untuk meningkatkan produk yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat dunia, sehingga dapat memiliki andil dalam kebersamaan meminimalkan beban akibat kemiskinan. Berpikir dan berbuat tanpa henti untuk mewujudkan kebajikan dan kebijakan politik yang mampu menyejahterakan tatanan kehidupan umat manusia. Kebangkitan seperti itulah yang harus dijadikan ukurannya. Selalu ada suatu optimisme (yang beralasan), sedikitnya dunia Islam telah menorehkan kesadaran bahwa abad ini disikapi sebagai abad kebangkitan, paling tidak, sikap dan kesadaran itu dapat mendorongnya menuju kebangkitan yang dicita-citakan.

Kejayaan Islam tercatat sampai dengan tahun 1550 M, yakni selama lebih delapan abad, khilafah Islam menyumbangkan pengejawantahan Islam secara politis adalah Negara (kekhilafahan) "adidaya" dunia di setiap gelanggang : politik, militer, ekonomi, ilmu pengetahuan dan budaya. Hingga 1550 M, berada di puncak kekuasaan. Setelah itu, ke depannya, mengalami kemandekan, menjadi introvert (ananiyah), menjadi senantiasa defensive. Sedangkan dunia Barat berbagai lembaga pendidikan menjadi sangat progresif, dan menjadi motor kemajuan di segala bidang. Sedangkan di dunia Islam sebaliknya menjadi mandek.

Sekarang, pertanyaannya adalah dari mana kita memulainya? Tentunya, sebagai jawabannya adalah kita mulai dari diri kita sendiri. Kita adalah warga masyarakat dunia yang bermustautin di sebuah Negara. Negara yang kita berada di dalamnya dapat dinamakan Indonesia, Malaysia, dan lain sebagainya. Sebagai warga negara, kita harus memulai semua itu dari titik Negara Indonesia. Kita mempersiapkan semua bentuk kebangkitan yang dicita-citakan adalah dari Indonesia. Artinya, sebagai umat Islam bangsa Indonesia, kita harus berani mereformasi diri dalam arti kata yang sebenar-benarnya dan seluas-luasnya. Dimaknai bahwa lembaga kita (Islam) adalah merupakan spirit dan kekuatan yang harus diwujudkan dalam sebuah tatanan hidup yang practicable untuk setiap zaman dan tempat.

Mereformasi diri yang kita maksudkan adalah suatu reformasi diri yang aktual, yaitu suatu pengakuan yakni kesediaan mengakui bahwa pencapaian Barat atau kekuatan lainnya (dalam berbagai aspek kehidupan) telah jauh meninggalkan kita. Mestinya kita tidak meletakkan Barat sebagai momok yang harus kita jauhi, hanay karena kita berkeyakinan bahwa kita sebagai manusia Timur. Bukankah ajaran yang telah sampai kepada kita bahwa lembaga kita (Islam) adalah buka Kebaratan dan juga bukan Ketimuran (QS.24/35, QS.2/177, QS.21/107).

Mereformasi diri juga berkenaan dengan sikap mental yang selama ini kita bersikokoh untuk bersikap dependent dalam mengurus dan mendanai perjalanan perjuangan bangsa (membangun). Mereformasi diri dari sisi etos kerja yang selama ini kita menjadi kelompok bangsa yang etos kerjanya sangat rendah.

Jika kita berbicara penataan kembali dunia Islam dan memulainyan dari Indonesia, bukan hanya karena kita adalah orang Indonesia, namun ada juga alas an yang lain, bahwa Indonesia adalah anggota masyarakat dunia Islam yang terbesar jumlah penduduknya (hampir 25% penduduk negara-negara OKI tinggal di Indonesia), dan juga karena sumber daya yang tersimpan di bumi Indonesia adalah merupakan kekayaan yang sangat mungkin dapat menjadi sumbangsih bagi masyarakat dunia Islam dan seluruh dunia pada umumnya sebagai kebajikan bangsa Indonesia bagi umat manusia kelak. Karenanya, menata Indonesia menjadi negara yang stabil dalam segala bidang kehidupan, menjadi bangsa yang cerdas, toleran dan damai, akan mengangkat harkat dan martabat bangsa. Sebagai catatan, jumlah penduduk dunia yang beragama Islam, tidak kurang dari 1.188.242.000 jiwa. Sedangkan penduduk Muslim Indonesia berjumlah tidak kurang dari 16% dari semua jumlah Muslim sedunia. (Sumber Berita Indonesia, 17/ 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Wednesday, July 05, 2006

Tiga Tantangan Zaman Modern

Oleh : Prof. Dr. Robert W Hefner

Kita tinggal di dunia yang penuh godaan, tantangan dan kesempatan. Kita sebagai sesama manusia selalu menghadapi semua hal itu. Pada zaman modern ini, entah itu sebagai Kristen, Muslim atau Hindu, kita sebagai manusia pada zaman yang sama tentu saja menghadapi tantangan yang sama.

Dari situlah asal visi, misi dan ambisi yang saya sempat amati di Al-Zaytun : bahwa ada upaya mendirikan fasilitas pendidikan modern yang maju dan canggih dan terbuka, tapi di dalamnya ada visi dan misi moral yang sesuai dengan tantangan modern.
Ada tiga tantangan yang saya kira merupakan bagian dari zaman modern yang ingin saya utarakan secara singkat pada kesempatan ini. Tapi hanya seadanya, " Sa'mene wae. Matur numun lan nuwun sewu boso Jawa kula mboten alus maneh " (hanya seadanya, terima kasih dan minta maaf bahasa Jawa saya tidak bagus lagi). Sudah terlalu lama saya tidak lagi berbahasa Jawa tapi kalau saya dengan lagu dan musik Jawa, saya selalu ingat pada saat saya di Malang dan Yogya, karena begitu manis buat saya. Ketiga tantangan itu adalah modernisasi,
pluralisme dan pendidikan.
Tesis sekulerisme penghapusan agama (bahwa semakin modern masyarakat semakin sekuleris) itu salah. Justru sebenarnya, agama itu malah suatu kebutuhan di zaman modern ini. Pluralisme merupakan satu ciri pokok dari dunia kita. Pluralisme merupakan satu cirri pokok dari dunia kita. Pluralisme tidak hanya menyangkut isu etnis dan agama tapi menyangkut seluruh kehidupan kita. Dan yang paling punya makna dalam menhadapi pluralisme dalam artian luas adalah pendidikan.
Modernisasi Sekuleris
Pertama, tantangan modern. Tantangan yang sering dibicarakan sejak abad XIX baik di dunia Barat maupun dunia Muslim. Salah satu cirri zaman modern itu, pada suatu ketika, selama beberapa dasawarsa di Barat terutama ada kesan, kesimpulan yang menegaskan bahwa semakin modern masyarakat semakin sekuleris. Tapi bukan sekuler yang sesuai dengan pengertian Cak Nur. Ketika saya belajar dari Nurcholis Majid dalam kata dan gagasan itu, ada pendekatan semacam yang sangat tepat bahwa sekuler tidak sama dengan sekuleris yang diramalkan oleh sebagian pemikir Barat.
Pada akhir abad XIX dan awal XX mereka mengatakan bahwa kalau mau modern harus tidak beragama. Paling sedikit imanmu harus berkurang, harus dijadikan menjadi tidak signifikan, tidak begitu bermakna untuk kehidupan umum, bersama dan untuk kehidupan sebagai muamalah, Dalam hal itu, saya termasuk orang yang sejak dulu dibersarkan di kalangan agamis, saya selalu punya kesan yang sedikit tidak enak dengan tesis sekulerisasi itu. Tapi pada suatu ketika, walaupun saya tidak setuju dengan tesis itu, mungkin itu betul dan mungkin sejarah beralih seperti itu, beratri semakin modern kita semakin tidak agamis.
Dalam hal ini saya kembali kepada tantangan modern yang kita hadapi sebagai salah satu pelajaran. Dari pelajaran yang kita peroleh dari dunia modern Muslim, kalau ada daerah atau wilayah dan peradaban di dunia ini yang modern dan membuktikan bahwa modern itu tidak sama dengan sekulerisme (dalam arti pengurangan atau penghapusan agama). Kalau ada peradaban yang membuktikan bahwa tesis itu salah, ada orang seperti kolega saya yang saya kenal baik yaitu Samuel Huntington, suatu ketika menarik kesimpulan bahwa "mungkin itu betu : bahwa semakin modern dunia Muslim tidak semakin sekuleris." Tapi dalah hal ini dunia Muslim dalam perkecualian dan perkecualian itu sangat bertentangan dengan modernitas toleran, democrat, mau menerima orang-orang yang lain. Menurut dia, modernitas Muslim itu modernitas yang penuh dengan kekerasan, kebenciaan, permusuhan dan konflik.
Saya selama satu tauhn setengah pernah duduk bersama-sama satu meja dengan Samuel Hutington sebagai tamu yang diundang karena saya dianggap sebagai orang yang harus ikut seminar yang dia pimpin karena saya dianggap sebagai orang yang salah karena menganggap bahwa dunia itu tidak seperti itu dan dunia Islma itu tidak seperti itu. Saya dianggap orang yang menolak tesis itu.
Saya kira tesis itu (memang) salah dan untuk kembali ke isu sekulerisme, setelah kita bangkitnya Islam tidak hanya di Indonesia tapi di Negara Muslim lainnya, salam satu kenyataan yang jelas, tidak hanya untuk non-muslim tapi juga untuk seluruh umat manusia walaupun dunia Muslim dalam hal ini adalah perintis anti sekulersime, sebetulnya kami yang non muslim bisa mengambil manfaat dari pengalaman peradaban Muslim. Dan juga bermanfaat, dalam arti mempunyai implikasi keilmuan, setelah kita melihat di dunia Muslim dengan bangkitnya Islam, bukan berarti benturan peradaban tapi ada suatu yang lebih dinamis.
Setelah kita mengamati kejadian di dunai Islam, kita bisa lebih melihat secara teliti di Barat, India (Hindu), China yang atheis tapi belakangan ini beralih kepada yang lain. Setelah belajar dari dunia Islam kita cenderung lebih terdetail di seluruh dunia dan semakin yakin bahwa apa yang terjadi di dunia Islam mungkin mempunyai cirri yang begitu istimewa.
Tapi di daerah lain juga tidak seperti yang diramalkan para pemikir abad ke XIX. Buktinya adama masih bertahan, masih jalan, masih dibutuhkan karena sebagaian besar dari umat manusia merasa seolah-olah kehidupan itu tidak punya makna, tidak punya pedoman dan mungkin kehiilangan moralitas tanpa agama. Ini merupakan pelajaran pertama dari Islam. Itulah mengapa banyak non-muslim belajar dari Islam. Samuel juga harus belajar dari Islam, jangan memakai konsep yang terlalu abstrak, yang diciptakan tanpa melihat yang ada di dunia ini. Ada fenomena yang jauh lebih menarik, kompleks, lebih kaya dari pada yang dibayangkan orang semacam dia, walaupun dia bukan musuh karena kita tidak perlu bermusuhan.
Saya kira Al-Zaytun dalam hal ini memberikan suatu pelajaran yang cukup bermakna " "walaupun bertentangan jangan bermusuhan". Itu merupakan salah satu sumbangan dari Syaykh AS Panji Gumilang pada negara ini. Jadi kesimpulan pertama, bahwa tesis sekulerisme penghapusan agama itu salah. Justru yang sebenarnya, agama itu malah suatu kebutuhan di zaman modern ini.
Pluralisme
Tantangan Kedua, kemajemukan, pluralisme. Sedikit back-ground, kadang-kadang orang Barat itu mempunyai kesan yang salah bahwa merekalah yang menemukan masyarakat majemuk. Sebelum Barat tidak ada masyakat yang majemuk. Masyarakat majemuk hanya di Barat. Ternyata kemudian ada satu gagasan baru dan kami harus menyesuaikan diri dengan itu. Tentang masyarakat majemuk, karena kita membandingkan antara dunia Barat dan dunia Muslim, apalagi dengan Indonesia, kita lihat bahwa asumsi itu sangat keliru.
Pluralisme pada zaman modern semakin berkembang. Tapi itu tidak diawali di Barat dan baru kemudian Negara Muslim, apalagi Indonesia. Negara Barat seperti Jerman, Prancis itu homogen: hanya satu, dua etnis saja. Kemajemukan etnis dan agama itu pun sulit diterima sampai kini. Orang Muslim di Prancis mau berjilbab? Di sana tidak ada toleransi karena jilbab tidak boleh ada di sekolah dan di tempat umum. Jadi di Prancis pun masih ada problem dengan pluralisme. Padahal, pluralisme itu adalah cirri umu pada zaman modern. Zaman modern semakin pluralis, semakin ada gaya hidup, gagasan, dan ilmu baru yang harus diteliti dan berkembang terus.
Jika kita masih pegang keimanan itu dan harus kita terapkan secara praktis dan teliti maka kita harus bisa belajar dengan menggunakan ilmu bagaimana cara menghadapi pluralisme secara benar. Untuk itu kita harus memperbaharui kultur kita, dalam artian kita tidak mengganti agama tapi tafsiran, praktinya. Dan itu harus (dilakukan) terus menerus karena semakin modern, semakin pluralis dunia, bukan hanya masalah agama dan etnis saja tapi juga seluruh cirri kehidupan sosal.
Maka perlu disimpulkan bahwa pluralisme merupakan satu cirri pokok dari dunia kita. Dan mungkin, pluralisme tidak hanya menyangkut isu yang gampang seperti etnis dan agama tapi seluruh apa yang menyangkut kehidupan kita. Dan untuk menghadapi pluralisme itu kita tidak bisa kembali kepada bahasa baku atau mapan, tapi harus mengembangkan ilmu pengetahuan baik di kehidupan sehari-hari maupun di meja belajar, kita terus gali tradisi agama di lingkungan masing-masing, menemukan dan menciptakan tafsiran yang betul dan mampu menghadapi pluralisme yang sedemikian rumit.
Pendidikan
Ketiga, menyangkut pendidikan. Jika tadi saya jelaskan tentang pluralisme yang merupakan tantangan yang paling berat untuk masyarakat modern. Hal ketiga yang paling layak, efisien, dan paling punya makna dalam menghadapi pluralisme dalam artian luas adalah pendidikan.
Dalam hal ini, kita sebagai umat manusia harus diingatkan, belajar dari sesame manusia. Kalau orang Muslim, mungkin dalam "tanda kutip" disebut sebagai orang Muslim modern, kadang-kadang tidak diterima di luar Indonesia, seperti di Mesir yang mungkin punya konotasi yang berbeda. Tapi tidak apa-apa, yang penting ciri-ciri modernis muslim Indonesia adalah adanya suatu keberanian untukbelajar dari pengalaman-pengalaman dan peradaban lain. Hal itu tidak berarti meniru atau menerima begitu saja, tapi diambil yang baik dan menolak yang tidak baik.
Dalam hal ini, saat ini, yang paling berkesan adalah di Al-Zaytun. Menyangkut isu Al-Zaytun, kita melihat suatu percobaan meneruskan jiwa, semangat dan perjaungan klasik modernis. Hal itu malah mungkin (bisa) menyegarkan jiwa modernisme karena bisa dalam berbagai hal. Di mana-mana, baik modernisme di Barat maupun modernisme Islam itu bisa beku, menjadi tradisional bahkan bisa sedikit lelah karena seperti manusia kalau menjadi tua, sudah capek tidak mau menggali dan mengembangkan gagasannya lagi. Tapi di Al-Zaytun, yang saya amati, khususnya Syaykh AS Panji Gumilang : hal yang betul-betul menggembirakan adalah bahwa jiwa modernis itu diperbaharui, diperbesar dan diterapkan di bidang yang mungkin untuk orang lain baik muslim maupun non-muslim agak mengherankan saya. Kok ada peternakan yang mencoba mengembangkan teknologi yang canggih tapi ada upaya yang menyangkut upaya untuk membentuk suatu kultur yang damai,yang sesuai dengan tantangan pokok pada zaman ini.
Di negara-negara di dunia, tantangan pluralisme itu sejak dulu sudah ada. Di peradaban Islam ada ajaran toleransi, tetapi belum berarti semua orang Muslim teleransi. Toleransi juga aga di Kitab Kristen, tapi di negara Kristen pada abad XX ada suatu penyembelihan massa terbesar yaitu PD II. Dan sebelumnya, orang yang disebut Kristen keluar dari Eropa Barat dan menjajah ke seluruh dunia termasuk juga dunia Muslim. Kita lihat pengalaman itu, apakah ada jiwa egaliter? Kadang-Kadang ada seoragn yang menggagas egaliter, demokrasi, dan freedom tapi praktiknya lain. Kita harus bersifat kritis dan menghadapinya. Itulah jiwa modernis. Maka harus ada upaya modernisasi, tapi bukan memperbaharui agama Islam. Tapi memperbaharui pendidikan agar sesuai dengan tantangan kita.
Saya kira itu bagus, kita yang datang dari luar Al-Zaytun memang baik datang ke Al-Zaytun supaya kami diingatkan bahwa di sini dan beberapa tempat lain Indonesia ada orang yang meneruskan dan menggalakkan jiwa modernis dan memperbaharui system pendidikan untuk menghadapi tantangan pluralisme yang begitu majemuk dan rumit.
Saya salut kepada Bapak AS Panji Gumilang dan kepada saudara-saudara Al-Zaytun. Saya berdoa atas upaya Anda yang begitu cemerlang bisa berhasil karena keberhasilan itu dibutuhkan Indonesia. Tapi tidak hanya Indonesia, juga dunia kita karena dunia kita penuh tantangan dan konflik. Saya kira AL-Zaytun dengan dipimpin Syaykh AS Panji Gumilang telah memberikan kita pelajaran dan juga alat menghadapi tantangan ini.
Prof. Dr. Robert W. Hefner adalah peneliti Islam Indonesia. Sejak tahun 1977, Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa dan Perancis ini rajin bolak-balik Amerika-Indonesia mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Gajah Mada (UGM) sambil terus giat melakukan penelitian-penelitian. Ia dikenal mempunyai pengetahuan yang luas tentang Islam dan Indonesia.
Ia pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1977 dalam rangka melakukan penelitian di Jawa Timur tentang proses islamisasi di Jawa Timur dari sudut kultur, sosiologi, dan ekonomi pedesaan selama tiga bulan. Setahun kemudian, penelitian kembali dilanjutkan selama dua bulan. Penelitiannya ini dibiayai oleh lembaga ilmu pengetahuan AS bernama National
Science Foundation.
Selesai melakukan penelitannya, pria yang biasa disapa Pak Bob ini rupanya tidak selamanya meninggalkan Indonesia. Ia tetap rutin datang ke Indonesia baik dalam rangka tugas atau melakukan penelitian. Antara tahun 1978-1980, ia mengajar di Jawa Timur selama dua setengah bulan dan di UGM selama dua minggu secara intensif. Empat jam perhari selama enah hari per-minggu selama dua minggu. Ia menggajar di jurusan Antropologi dengan fokus agama Islam dan masyarakat Jawa dalam tinjauan antropologis.
Pada tahun 1985 ia kembali lagi ke Jawa Timur dan berafiliasi dengan UGM, kampus yang sering mengundangnya menjadi dosen tamu. Kemudian, antara tahun 1991-1998 ia tidak menetap di Indonesia namun datang tiap tahun selama satu bulan melakukan riset di Jakarta tentang beberapa hal tentang Islam dan perubahan social di kalangan elit.
Ia sempat meneliti ICMI sehingga bisa mengenal beberapa tokoh penting seperti Habibie, Nurcholish Madjid, dan sebagainya. Tahun 1999 ia kembali lagi mengajar di Fakultas Sospol UGM sekaligus melakukan riset tentang pluralisme atas kerjasama dengan dua orang rekannya yaitu Rizal Pangabean dari UGM yang berlatar-belakang Muhammadiyah dan Mokhtar Mesu, orang independen berlatar belakang NU namun berafiliasi lebih ke Muhammadiyah. Dalam kurun waktu 1999-2001, ia bekerja sama denga Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta melakukan penelitian dan program pelatihan seputar pluralisme dan perdamaian.
Ia pernah ke Indonesia atas kerjasama dengan Departeman Luar Negeri AS dan Departemen Agama RI. Tahun lalu ia datang sebagai sarjana senior dari State Departement dan mengunjungi pesantren-pesantren di Indonesia. Tercatat ia sudah mengunjungi lebih dari 70 pesantren di Indonesia. Prof Dr. Robert W. Hefner juga telah mengunjungi Al-Zaytun pada Kamis, 6 Januari 2005.(Sumber Majalah Berita Indonesia-16/2006)
Bacaan Selanjutnya!