Tuesday, June 27, 2006

Keseimbangan Hidup Peradaban dan Perdamaian
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Membangun adalah menciptakan. Maknanya penyingkapan kosmologi sepanjang waktu, untuk menciptakan kemajuan pada level personal maupun sosial, membangun personal-personal yang kuat dan masyarakat yang kuat, menjadi bangsa yang kuat.

Diawali dengan penyingkapan sesuatu budaya dan merealisasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan merealiasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan, jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka mereka bukan manusia (makhluk hidup).

Karenanya pembangunan adalah pemenuhan (pemuasan) progresif kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non manusia, dimulai dengan mereka yang paling membutuhkan. Pada makna yang lain pula pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, yang seharusnya tanpa mengorbankan siapapun. Sehingga tercipta perdamaian sebagai kondisi dalam ruang untuk pembangunan tanpa kekerasan.
Maka setting pembangunan adalah membangun suatu budaya. Budaya ingin maju, ingin kuat secara individual, masyarakat, dan bangsan, dilandasi oleh budaya dan peradaban yang kokoh masuk ke dalam realisasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan untuk umat manusia dan mahluk hidup lainnya yang non manusia, yang karenanya terciptalah pertumbuhan ekonomi yang merata dalam tataran individual, masyarakat maupun bangsa bahkan bangsa-bangsa di dunia, yang dapat memancarkan perdamaian internal dan eksternal dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan.
Indonesia Membangun dari Masa ke Masa
Bangsa Indonesia dari masa ke masa telah masuk ke dalam ruang pembangunan baik secara sadar maupun tidak sadar. Pembangunan secara modern telah diperkenalkan kepada rakyat. Cultuurstelsel sejak abad ke-19 (1830) telah diperkenalkan kepda rakyat, dengan regulasi yang sangat ringan dan menjanjikan, namun dalam pelaksanaannya menjadi penyengsaraan rakyat. Setting pembangunan dalam Cultuurstelsel tidak seperti yang diuraikan dalam pembukaan tadi yakni tidak dilandasi pembangunan budaya rakyat yang ingin maju, ingin kuat secara individual maupun masyarakat, dan bangsa yang pada gilirannya memancarkan perdamaian dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan, namun pembangunannya dilandasi keserakahan dan eksploitasi umat manusia terhadap sesamanya dan penuh kekerasan yang paripurna.
Dilihat dengan menggunakan kaca-mata pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sangat berhasil, karena pemerintah kolonial ketika itu dapat mengumpulkan devisa ribuan juta gulden sejak pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1877) dan Indonesia menjadi negara eksportir kelas 1 untuk hasil-hasil tropis.
Namun, jika dilihat dengan kaca-mata pembangunan untuk menciptakan kemajuan pada level personal dan social, pembangunan dalam konteks Cultuurstelsel menciptakan kesengsaraan rakyat secara missal yang tak terlukiskan dalam sejarah Indonesia, apalagi jika ditinjau dari segi hak-hak asasi manusia, pembangunan yang dilaksanakan dalam bentuk Cultuurstelsel itu merupakan potret pelanggaran hak asasi yang tiada tara, tercermin dalam berbagai pemaksaan dan kekerasan fisik dan non fisik dalam bentuk struktural maupun non struktural.
Hal itu terjadi karena orientasi dan filosofi pembangunan yang dianut pemerintah ketika itu adalah terfokus kepada pembangunan yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi an sich. Resminya pembangunan gaya Cultuurstelsel ini dihentikan, sekalipun dalam praktek masih terus berlanjut sampai dengan awal abad ke-20.
Selanjutnya, memasuki abad ke-20, tahun 1901 haluan politik baru berlaku di Indonesia sebagai tanah jajahan Belanda. Pemerintah (penjajah) merasa wajib untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi penduduk pribumi. Tujuan pokok politik baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian, secara teoritis merupakan koreksi terhadap perjalanan pembangunan masa lalu. "Sistem eksploitasi digantikan dengan politik pengajaran yang maju". Orientasi baru ini terkenal dengan politik etis.
Haluan politik baru ini akan menentukan arah pembangunan baru. Tumbuhnya haluan baru ini adalah akibat dari pergolakan politik dan perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Indonesia (Hindia Belanda), sekalipun perlawanan ini datangnya bukan dari anak negeri Indonesia, karena mereka belum mengenal bentuk pendidikan yang maju, namun perlawanan dan pergolakan tersebut dilakukan oleh bangsa penjajah yang memiliki kesadaran etika, oleh kaum intelektual yang merasa bertanggung jawab memperingatkan orang-orang sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di negara jajahan yang ada hubungannnya dengan eksploitasi dan kapitalisme yang mereka lakukan khususnya Cultuurstelsel. Orde Politik Etik ini membagi arah pembangunan kepada dua bagian yaitu, segi ekonomi dan segi sosial budaya. Dalam segi ekonomi, arahnya tidak beda dengan politik liberal. Bahwa modal swasta tetap diberi kesempatan luas untuk bergerak di negeri jajahan sedangkan pemerintah menjaimn keamanan dan ketenteraman dengan mengunakan pasukan-pasukan dan birokrasinya.
Adapun segi social budaya mengarah kepada peningkatan sosial budaya penduduk jajahan sejajar dengan peningkatan budaya orang Eropa. Dimana pemerintah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan meningkatkan nilai-nilai budaya daerah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Eropa (barat). Trilogi pembangunan di dalam orde ini adalah meliputi bidang irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Pembangunan dalam politik etis ini sangat mempengaruhi perkembangan rakyat dan masyarakat Indonesia dalam memasuki abad ke-20. Tindakan-tindakan pembangunan yang berakibat jauh dalam perkembangan masyarakat Indonesia adalah sistem pendidikan yang diciptakan pemerintah (penjajah). Sistem pendidikan ini mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru dalam masyarakat, suatu golongan yang terampil, karena dididik di sekolah-sekolah kejuruan, untuk menjalankan fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20, dalam bentuk pegawai negeri dalam dinas-dinas seperti pendidikan, pertanian, kehutanan, kesihatan, bank kredit, dan lain-lain, yang diusahakan untuk kemakmuran penduduk. Tindakan dalam politik etis pada awal dekade abad ke-20 ini sangat membawa arti dan lebih banyak nilainya dari pada dalam masa 300 tahun sebelumnya.
Pembangunan yang dilakukan dalam politik etis berarti politik penjajahan untuk menghilangkan jurang perbedaan antara penjajajh dan rakyat jajahan. Walau akhirnya justru karena kebijaksanaan politik etis ini banyak penduduk pribumi yang berkenalan dengan kebudayaan barat yang justru dipergunakan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah (penjajah).
Pemerintah dengan politik etis sepanjang kekuasaannya selama 42 tahun, menghantarkan Indonesia dan bangsanya mengenal kehidupan ekonomi dan pendidikan modern gaya Eropa, yang selanjutnya menjadi basis perkembangan pembangunan poleksosbud rakyat dan bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan di tahun 1945.
Pembangunan selanjutnya adalah pembangunan di masa pendudukan Jepang, sejak Maret 1942 sampai Agustus 1945. Pemerintah pendudukan Jepang menganut pola pembangunan satu ruang yaitu pembangunan kemiliteran, sedangkan yang lain-lainnya selalu merupakan eksploitasi dan kekerasan maupun kekejaman. Dari Jepang bangsa Indonesia mengenal kemiliteran dan kedisiplinannya, yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kemiliteran Indonesia di masa kemerdekaan.
Datangnya era kemerdekaan Indonesia tidak serta merta membawa bangsa ini masuk ke dalam situasi dan kondisi sejahtera. Mengingat seluruh perjalanan pembangunan yang terselenggara sebelumnya (Belanda maupun Jepang) diak dilandasi oleh suatu budaya ingin memajukan, menguatkan secara individual, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Di samping itu, selama perjuangan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan antara pemerintah penjajah dan rakyat terjajah dalam mewujudkan cita-cita pembangunan ketika itu.
Kekerasan, kekejaman, mendapatkan perlawanan dari rakyat dalam bentuk yang sama, di samping pula pendidikan rakyat yang belum merata, mengakibatkan sebagian besar hasil pembangunan yang dilakukan oleh Belanda selaku penjajah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal pada era kemerdekaan.
Euforia kemerdekaan berakibat terciptanya berbagai sikap yang tidak kondusif terhadap perkembangan Poleksosbud. Di bidang pemerintahan terjadi berbagai pergantian kabinet dengan masa kerja yang sangat singkat, dengan hanya hitungan bulan, diakibatkan oleh wujudnya multi partai yang selalu bersengketa. Di bidang ekonomi terjadi nasionalisasi berbagai industri dan perusahaan bekas penjajah tanpa dukungan tenaga yang mampu di bidangnya, yang pada gilirannnya membawa akibat mandeknya produksi (paling tidak merosot produktivitasnya).
Dan Indonesia merdeka, mulai membangun kembali di atas sisa-sisa peninggalan Belanda. Di bawa Presiden Soekarno, memulai pembangunan karakter bangsa. Dengan mengedepankan aspek politik sebagai panglima pembangunannya membangun keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Meskipun, dengan slogan pembangunan semesta berencana, namun pembangunan selama 20 tahun di bawah Presiden Soekarno belum menyeimbangkan pembangunan perekonomian rakyat, yang sejajar dengan pembangunan politik.
Politik yang dibangun pada periode ini belum sampai kepada cita-cita dan kehendak rakyat mencapai kehidupan politik yang demokratis, bahkan banyak rakyat Indonesia yang menyikapi Soekarno sebagai pemimpin yan tidak demokratis. Kesejahteraan rakyat yang disimbolkan denga pemerataan kesempatan pendidikan, kesihatan, dan kemampuan daya beli, juga belum dikerjakan dengan baik dalam periode pembangunan 1945-1967 ini.
Periode pembangunan dilanjutkan oleh pemeritah berikutnya, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pemerintahan Soeharto selama kurang lebih 30 tahun itu arah pembangunan menjurus kepada pembangunan ekonomi, dengan dukungan utama dari Negara-negara donor yang menganut paham kapitalis yaitu negara-negara Barat. Sepanjang perjalanan pemerintahan Soeharto negara-negara donor tak henti-hentinya memberikan dukungan dana (berupa hutang) bagi pelaksanaan pembangunan yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi secara ketat.
Mazhab pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Soeharto sama persis kehendak negara-negara donor Barat, bedanya dalam pelaksanaannya, masyarakat Barat telah terdidik dengan kebiasaan itu, sedangkan rakyat dan mayarakat Indonesia belum memiliki pengalaman dan pendidikan ke arah pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh Barat.
Pembangunan ekonomi yang berjalan sekian panjang dan dengan modal multi milyar dolar itu, jutru gagal total pada saat tahapan pembangunan sudah mencapai target waktu yang ditetapkan yaitu pada tahapan yang diistilahkan tinggal landas, yang semestinya menjadi lebih baik karena dasar-dasar tatanan ekonomi telah tersusun dan dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan yang telah dibuat. Cita-cita membangun demi kesejahteraan menjadi kocar-kacir bahkan membuahkan krisis dahsyat yang hamper menjadi "dilema".
Pembangunan Indonesia yang orientasinya menjuru kepada pertumbuhan ekonomi dengan waktu panjang itu justru tidak membawa lompatan besar dalam kemajuan ekonomi, namun membuahkan kesenjangan antara golongan kaya dan miskin serta antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Kesenjangan social ekonomi itu telah menimbulkan frustasi, keresahan, bahkan kerusuhan social. Indonesia diguncang oleh kerusuhan di berbagai tempat, bahkan ancaman disintegrasi di berbagai wilayah.
Membangun Indonesia selama lebih dari 30 tahun itu justru menyuburkan mental korup pejabat birokrasi pemerintahan maupun pelaksana pembangunan dari segala lapisan. Pemerintah pusat belum berusaha maksimal memberantas korupsi, praktek terus merebak dengan cara yang canggih maupun asal-asalan yang terselubung di balik system birokrasi yang rumit dan tidak terbuka.
Presiden Soeharto selam pemerintahannya telah menetapkan program pembangunan dan melaksanakannya, semua langkah berlabel pembangunan, kabinet dan kementeriannya bernama Kabinet Pembangunan. Namun karena ruang pembangunan yang dilaksanakan hanya terfokus kepada pertumbuhan ekonomi dengan control ketat dan pendekatan security approach dan kegagalan pembangunan selam periode pemerintahannyapun penyebabnya adalah mazab pembangunan yang dianutnya, yaitu pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi an sich.
Kini, masa dan periode pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto telah selesai dan digantikan oleh presiden-presiden penerusnya. Kita berharap, pengalaman pahit membangun Indonesia yang selama ini dilaksanakan sesungguhnya tidak harus terulang kembali melalui jalan kegagalan yang sama.
Enam tahun setelah pemerintahan Presiden Soeharto usai, Indonesia telah menampilkan 4 orang presiden. Kalau kita amati dengan cermat, tampak jelas, semangat reformasi yang menghantarkan tampilnya para presiden setelah Soeharto, belum masuk kepada reformasi mazab pembangunan Indonesia yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Soeharto yang gagal. Justru para presiden setelah Soeharto cenderung masih mem-pertahankan mazab pembangunan yang membawa kegagalan itu, yakni mazab pertumbuhan ekonomi.
Membangun Kembali di Masa Krisis
Pembangunan pada prinsipnya merupakan sebuah pendekatan holistik terhadap kondisi manusia, dan pendekatan dinamis, dengan selalu memperhatikan ruang alam, tempat bagi pembangunan itu sendiri, atau setidaknya merupakan keseimbangan yang menjadi landasan kondisi manusia. Juga memperhatikan ruang manusia yang merupakan inti dari pembangunan mental/spiritual. Serta aspek-aspek lain dari ruang sosial dan seluruh ruang dunia.
Pembangunan secara holistik dan dinamis mencakup berbagai ruang interaksi : alam, manusia, social, dan dunia, sebagai perubahan-perubahan menuju perbaikan kondisi umat manusia dan kehidupan lainnya. Karenanya holisme dan dinamisme harus menjadi kerangka dasar visi pembangunan.
Interaksi dengan ruang alam maknanya, pembangunan harus mampu mewujudkan aliran keseimbangan ekologi. Alam telah ada jauh lebih lama dari-pada manusia. Alam sebagai sumber pelajaran mengenai holisme, dinamisme, dan berkelanjutan.
Membangun dalam keadaan krisis lingkungan/alam seperti hari ini harus mengalokasikan program-program untuk menata kembali, paling tidak berusaha untuk menyeimbangkan keberadaan alam degnan kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya, agar tercipta aliran keseimbangan ekologi dan keberkelanjutan.
Membangun berakibat wujudnya aktivitas dinamis itu, harus mempunyai budaya pantang : Berpantang dari aksi yang berlawanan dengan alam, artinya juga berpantang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak (sibghah) segala sesuatu. Karenanya interaksi dengan alam terdapat dua jenis, aktivitas-aktivitas yang selaras dengan alam (eco-action) dan ada aktivitas-aktivitas yang berlawanan dengan arus alam (ego-action).
Semestinya pembangunan mengalokasikan program penyeimbangan alam itu sehingga menjadi suatu nikmat, dan bukan bencana. Sehingga mahluk hidup takkala aktivitas alam (dalam hal ini air) data, umat manusia dapat berkata, "terima kasih Tuhan, Engkau telah menurunkan rizki, kami mahluk hidup ini dapat menikmanti panen air tahun ini".
Sebaliknya takkala siklus pergerakan alam sampai kepada aktivitasnya yang mengakibatkan cuaca panas, banyak mahluk hidup terlanda kekeringan, merana, kehausan, kelaparan, paceklik, wabah penyakit, dan lain-lain.
Mestinya pelaku pembangunan mengalokasikan berbagai program untuk menyeimbangkan cuaca panas itu agar tidak menjadi bencana. Musim hujan yang ditunggu-tunggu justru menjadi bencana, dan musim panas yang diharap-harap juga menjadi bencana. Datangnya dua musim itu sudah dapat diketahui, ilmu dan teknologinya untuk berinteraksi dengan alam yang telah ada, kiranya dinamika suara jiwa yang belum tumbuh dalam batin pelaku pembangunan.
Modal yang hangus akibat kekeringan dan busuk oleh rendaman banjir, jauh lebih besar daripada menciptakan jalan keluar dari akibat aktivitas alam tersebut. Menghijaukan lingkungan, bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan, namun tidak banyak yang konsisten melakukannya, membuat cekungan-cekungan untuk menyimpan ari bukan sesuatu yang repot untuk dilakukan, namun tidak banyak yang mau memikirkan untuk itu, apalagi melakukannya.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia, untuk ini ada tradisi medis yang memfokuskan pada kesihatan somatic dan kesihatan mental dan seluruh tradisi religius yang memfokuskan kepada kesihatan dan penyelamatan spiritual. Ruang manusia mencakup tubuh pikiran dan jiwa. Pikiran sebagai pusat emosi, kemauan, dan kognisi, jiwa sebagai pusat refleksi diri, refleksi tentang kemampuan diri sendiri untuk melakukan refleksi (filosofi), kompleksitas inilah yang akan membentuk kepribadian.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia maknanya : usaha tanpa henti secara holistic dan dinamis membentuk kepribadian menyangkut dengan individu-individu, masyarakat-masyarakat, bangsa dan negara. Menyangkut Indonesia, kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang bangsa Indonesia yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Karenanya aktivitas dalam ruang ini adalah aktivitas pendidikan untuk mewujudkan kepribadian individu-individu, masyarakat-masyarakat bangsa Indonesia yang kuat dan sihat, sihat somatik, mental dan spiritual, cerdas, bajik dan bijak menguasai sains teknologi, cinta bangsa dan negaranya dan mampu bergaul antar bangsa dengan baik.
Kepribadian yang terbentuk melalui pendidikan seperti itulah yang akan dapat menghantarkan individu-individu, masyarakat-masyarakat dan bangsa berkemampuan merawat sistem dalam bentuk aktivitas yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Mudah dilihat betapa bergantungnya semua ini kepada alam. Alam adalah ruang di mana kita istirahat dan aktif. Alam memasok sebagian besar input yang sangat diperlukan, dan menerima (dan mengubah) sebagian output kita. Untuk dapat mengakomodasi, sebagai tuan rumah manusia, alam harus kuat (apalagi jika manusia bertindak sebagai parasit). Dan karena manusia adalah organisme biologis dengan kepribadian-kepribadian, manusia mempunyai kebutuhan lain selain kebutuhan bio. Yakni kebutuhan spiritual manusia.
Di dalamnya mencakup kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan. Dua jenis kebutuhan ini berkaitan secara dialektis. Kebutuhan identitas menuntut titik pasti, segala sesuatu yang di sekitar-nya menyebabkan individu dapat membangun dan memperluas persekutuan-persekutuan di atas dirinya sebagai mahluk hidup. Sedangkan kebutuhan akan kebebasan adalah kebuthan akan ruan, akan mobilitas somatik, psikologis, dan spiritual akan pilihan, kebutuhan untuk berserikat dan tidak berserikat.
Untuk memenuhi kebutuhan sebagai makluk hidup, berupa kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan kebutuhan akan kesejahteraan hidup maka pembangunan mesti memasuki tataran penghormatan atas pelaksanaan hak-hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi, dan politik yang selalu mengedepankan perdamaian dengan jalan tanpa kekerasan.
Kaitan pelaksanaan hak asasi manusia dengan demokrasi selalu imbal balik, karena semakin banyak hak asasi manusia yang diberikan dan dihormati oleh bangsa, semakin banyak tugas-tugas kemanusiaan yang dapat diminta dari penduduk, seperti untuk pajak dan tugas-tugas pertahanan negara.
Begitu juga, biasanya, makin demokratis suatu negara makin banyak hak-hak asasi manusia diimplementasikan, dan makin banyak HAM diimplementasikan, makin banyak pula tugas kemanusiaan dapat ditunaikan. Membangun pelaksanaan HAM dan demokrasi adalah upaya melembagakan mekanismenya, dan eksistensinya tidak tergantung hanya pada tingkah sesaat para pemimpin Negara / masyarakat.
Membangun demokrasi Indonesia dalam hal ini adalah mem-bangun kepribadian demokrasi Indonesia. Kita tidak harus khawatir dengan progresivitas dan dinamika demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini. Membangun kepribadian demokrasi Indonesia yang kita harapkan adalah membangun dan mewujudkan Indonesia yang demokratis dimana pembuatan keputusan-keputusan secara demokratis, dan semakin demokratis pembuatan keputusan, semakin jauh Indonesia dari sikap suka perang.
Demokrasi Indonesia yang kita harapkan bukan lah kekuatan demokrasi untuk memperbesar persaingan dalam negeri untuk saling merebut kekuasaan, karena semakin besar persaingan untuk merebut kekuasaan, makin besar godaan untuk memperoleh dukungan melalui agresi luar. Demokrasi Indonesia yang kita inginkan adalah Indonesia yang demokratis, yang kerenanya Indonesia menjadi Negara yang semakin surplus perdamaian dalam negeri, sehingga tersedia banyak kesempatan berdiplomasi antar bangsa. Kepribadian demokrasi Indonesia, bukan Negara demokrasi yang para pemimpinnya / rakyat-nya merasa benar sendiri, yang karena semakin merasa benar sendiri pemimpin/rakyat, makin suka berperanglah Negara itu, bukan itu kepribadian demokrasi kita.
Membangun kepribadian demokrasi (Indonesia) memang bukan suatu pekerjaan sekali jadi, memerlukan ketekunan dan kesabaran, memerlukan perlembagaan mekanisme dan sistem yang terus menerus disempurnakan. Semakin dalam kita memasuki kepribadian demokrasi, semakin banyak kita temukan ragam, semakin banyak ragam yang berinteraksi, semakin kokoh wujud kepribadian demokrasi itu. Dalam hal kepribadian demokrasi (Indonesia) ini, kita dapat saksikan betapa cepat peningkatan sikap otonomi rakyat Indonesia dalam merespon makna demokrasi.
Kendali elit politik hampir-hampir tidak dapat mengekang gerak otonomi mereka, ini adalah modal besar bagi pembangunan kepribadian demokrasi (Indonesia) kini dan mendatang. Dinamika perwujudan kepribadian demokrasi (Indonesia) saat ini juga dapat menimbulkan kekhawatiran sebagian orang, ada yang menganggap apa yang terjadi dalam kepribadian demokrasi (Indonesia) yang sedang berjalan ini dianggap menimbulkan kekalutan. Dan ia tiba kepada kesimpulan dan mengajak kembali saja ke UUD 1945 yang murni. Itu juga merupakan ragam berdemokrasi, sepertinya ajakan elit seperti itu wajar di dalam ruang demokrasi, namun rakyat selaku pemegang keputusan semakin mengerti dan paham dalam memposisikan otonomi dirinya.
Pembangunan secara holistik dan dinamis tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi. Namun pembangunan ekonomi ini tidak merupakan ukuran satu-satunya. Mestinya visi pembangunan ekonomi pada dewasa ini di Negara kita tidak terlalu berkiblat pada pertumbuhan, namun lebih menitik-beratkan kepada siklus otonomi local dengan melibatkan sebesar mungkin partisipasi rakyat yang semakin jelas sosok otonomi dirinya.
Berbasis dari otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi pemerintahan, maka ide dasar pembangunan ekonomi ini adalah mengandalkan pada kemampuan local, bahkan swadaya local, yang berarti konsumsi local atas apa yang diproduksi dan produksi lokal atas apa yang dikonsumsi, maka skala kecil, lebih horizontal, melibatkan dan mempersatukan banyak orang, mampu mewujudkan integrasi pekerjaan, rotasi pekerjaan dan rekontruksi pekerjaan.
Produksi untuk laba atau pemenuhan rencana bukanlah tujuan dalam dirinya (masyarakat mandiri). Unit produksi tipikal menjadi sebuah koperasi yang dikelola sendiri dengan dialog dan keputusan bersama semua orang yang terlibat, termasuk konsumen, produksi pada dasarnya untuk digunakan, bukan dipertukarkan, hubungan dengan mitra dagang bersifat kooperatif, dan hubungan dengan alam menjadi sangat harmonis.
Pembangunan alternative yang ditawarkan ini adalah sebagai jawaban untuk kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, kirannya dalam perjalanannya ke depan, takkala masyarakat Indonesia ini sudah mulai bangkit, rakyat sudah terlatih dalam kiprahnya sebagai pelaku pembangunan dan bukan sebagai penonton lagi. Kebudayaan umat manusia tidak pernah berhenti dalam sebuah titik besar, selamanya akan terus berkembang selaras dengan perkembangan umat manusia itu sendiri.
Karenanya kita selaku bangsa besar, tidak boleh berhenti dalam sebuah metoda tanpa evaluasi, sekalipun metoda itu telah membawa kegagalan. Alternatif pembangunan ekonomi (masyarakat mandiri) yang kita uraikan dalam kesempatan ini adalah hasil aplikasi sebuah teori yang sedang kita jalankan dalam lingkungan masyarakat Al-Zaytun, yang mungkin dapat dikembang-luaskan ke berbagai daerah, sebab selama masa krisis nasional Al-Zaytun tidak terkena imbas dari krisis itu.
Dan pembangunan seperti ini (masyarakat mandiri), sesungguhnya merupakan usaha memperkecil bahkan menghentikan segala utang luar negeri yang selama ini menyengsarakan dan menjadi beban rakyat yang menjadi penonton pembangunan.(Sumber Kutipan dari Majalah Berita Indonesia-15/2006)
Bacaan Selanjutnya!
Membangun Kebersamaan dalam Rumah Indonesia
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Indonesia semestinya dapat menjadi rumah tempat berteduh bagi individu (bangsa) penghuninya yang majemuk. Penghuni rumah Indonesia yang pluralistik ini semestinya tampil secara sadar sebagai actor pembangunan sikap dan jiwa altruistik "nahniyah". Sekat-sekat budaya, reas dan agama semestinya tidak menjadi penghambat penghuni rumah Indonesia.
Hal itu dikemukakan Syaykh Ma'had Al-Zaytun AS Panji Gumilang dalam khutbah 'Ied al-Adlha 1426H/2006M di Masjid Rahmatan Lil 'Alamin Kampus Al-Zaytun, pada tarikh 10 Dzul al-Hijjah 1426H (10Januari 2006M) bertajuk "Membangun Kebersamaan Demi Terwujudnya Kehidupan Sejahtera dalam Negara Indonesia Merdeka".
Menurut tokoh pembawa dan penebar toleransi dan damai itu, rumah Indonesia akan dapat berfungsi peneduh secara hakiki, jika individu maupun kelompok penghuninya tidak egoistic (anaiyah). Maka Syaykh mengingatkan, sikap dan jiwa egoistik yang merasuk ke dalam aspek berbangsa dan bernegara dapat menimbulkan kesengsaraan-kesengsaraan.
Selengkapnya, berikut ini adalah khutbah 'Ied al-Adlha 1426 H Syaykh al-Ma'had Dr. AS. Panji Gumilang tersebut.
2006, Tahun Efisiensi
Hari raya Qurban waktu ini (1426H) tiba bersamaan dengan datangnya tahun baru 2006 M. Bulan Dzu al-Hijjah merupakan bulan bungsu bagi tahun komariyah tiba bersamaan dengan datangnya Januari yang merupakan bulan sulung bagi tahun syamsiyah. Tahun komariyah adalah tahun yang perhitungan tanggal harinya berdasar peredaran bulan/komar, sedangkan tahun syamsiyah berdasar peredaran matahari/syams.
Memaknai ketibaan akhir tahun koariyah di awal tahun syamsiyah ini, kita sepakat untuk menyambutnya dengan suatu tekad ; Bahwa tahun 2006 ini dan selanjutnya, sebagai Tahun Efisiensi. Yakni pemantapan kemampuan dalam menjalankan tugas/kerja/usaha secara baik dan tepat dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, maupun biaya.
Perwujudan dari tekad itu, kita adakan penyempurnaan kembali terhadap berbagai aspek tatanan social kemasyrakatan dalam lingkup mikro kampus kita (Al-Zaytun) ini. Hal tersebut merupakan sesuatu yang harus ditempuh sebagai langkah ikmal wa itmam (perfection) terhadap kerja membangun yang sedang dan terus kita laksanakan di dalamnya. Maknanya kita menyadari bahwa membangun (pembangunan) itu bersifat kumulatif, maknanya bahwa membangun (pembangunan) itu harus mampu berlanjut (berkelanjutan) makin lama makin besar, makin banyak, makin baik, makin berkualitas, dan makin bermanfaat bagi setiap umat manusia. Dan untuk itu kita mengedepankan efisiensi sebagai kendali pelaksanaannya.

Membangun dari masa ke masa
Bangsa Indonesia semenjak memproklamasikan kemerdekaannya telah mencanangkan usaha (kerja) membangun negaranya. Sejarah mencatat pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno telah disusun rancangan pembangunan bagi Negara Indonesia, dengan istilah Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang telah ditetapkan oleh MPRS tahun 1960, dimulai tahun 1961 dan akan berakhir pada tahun 1969.
Kemudian, seiring dengan pergantian pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto yang terkenal dengan istilah Orde Baru, telah disepakati untuk menyusun suatu rancangan pembangunan yang berjangka sekitar 25 tahun, yang selalu disebut Pembangunan Nasional Jangka Panjang. MPR menetapkan kurun waktunya antara April 1969 sampai dengan Maret 1994. Dan, untuk pelaksanaannya ditetapkan tahapan-tahapan lima tahunan, yang biasa disebut dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dalam kurun waktu 25 tahun terdapat 5 Repelita yaitu :Repelita I tahun 1969-1974, Repelita II tahun 1975 – 1979, Repelita III tahun 1980-1984, Repelita IV tahun 1985 – 1989, Repelita V tahun 1990 – 1994. Dari Repelita I – Repelita V terangkai sesuatu cita-cita luhur, terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Bangsa Indonesia dalam pemerintahan Orde Baru terus mencanangkan cita-cita pembangunan sebagai kelanjutan pembangunan jangka panjang itu dengan istilah tahap tinggal landas, yang tahapannya masuk dalam Repelita VI tahun 1995 -1999. Seiring dengan cita-cita luhur yang ingin dicapai di dalam Repelita VI yakni, bangsa Indonesia benar-benar tinggal landas untuk berpacu menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur, tokoh pengendali Repelita dan pemerintahannya berhenti dan mundur dari arena cita-cita luhur itu baik secara sengaja maupun dipaksa oleh situasi dan kondisi.
Kita yakin bahwa bangsa ini akan terus membangun diri dan negaranya, sekalipun dalam kurun waktu belakangan ini jati diri pembangunan dan tahapan-tahapannya belum terlalu tampak "jelas". Presiden Soekarno dengan pemerintahannya menampilkan suatu keberanian yang jelas otokritik terhadap pemerintahannya sebelum tahun 1960-an, dengan jalan keluar penetapan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana dengan tahapan yang pasti. Kemudian sejalan dengan pergantian pemerintahan Presiden Soeharto dengan pemerintahannya meneruskan pembangunan dengan berbagai koreksi terhadap pembangunan yang dilaksanakan oleh pendahulunya.
Dalam kurun waktu satu windu belakangan ini Indonesia disibukkan oleh pergantian pemerintahan negaranya, dimana pergantian empat presiden terjadi dalam tujuh tahun. Sangat boleh jadi kondisi seperti itulah yagn menjadi sebab : "Tidak jelasnya Program Pembangunan yang dianutnya". Tidak jelas bukan berarti tidak ada pembangunan di Indonesia era ini. Namun Indonesia sebagai negara, bangsa, yang intinya adalah rakyat yang menjunjung tinggi eksistensinya, sangat memerlukan definisi real terhadap kerja (usaha) membangun Indonesia yang dicintai ini. Sehingga kesinambungan pembangunan dari masa ke masa tidak terputus hanya karena ketidak-mampuan penanggung jawab pembangunan mendefinisikan kelanjutan pembangunan Indonesia yang sama-sama kita cintai.
Dalam kesempatan ini, kita tidak ingin menilai keberhasilan pembangunan Indonesia atau sebaliknya. Namun sebagai warga bangsa, ingin ikut memperkaya kemampuan bangsa dalam memaknai pembangunan negaranya dari masa ke masa, yang memiliki berbagai masalah subtansial yang akan kita bangun dalam pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.
Kebersamaan Merupakan Substansi
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsanya melalui lisan proklamator yang mewakili bangsanya, merupakan titik awal terbentuknya (terciptanya) masyarakat Indonesia. Yakni keluarga besar bangsa dalam arti seluas-luasnya, yang terikat oleh suatu fakta social yang mereka tetapkan dan sepakati. Karenanya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang diciptakan oleh bangsa Indonesia.
Masing-masing individu (dalam pengertian social maupun sosiologi) manusia Indonesia menyatakan : Indonesia Tanah Airku, Kebangsaanku, Bahasaku. Pengakuan individu ini merupakan modal besar bagi perwujudan rasa cinta masing-masing manusia Indonesia terhadap negaranya. Cinta terhadap Negara yang telah dimiliki oleh setiap individu manusia Indonesia itu dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan substansi pembangunan kebersamaan.
Indonesia yang telah kita proklamirkan kemerdekaannya itu, berupa masyarakat majemuk, yakni masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok persatuan yang sering memiliki kebudayaan yang berbeda. Namun karena kecintaannya terhadap Indonesia sebagai negara, bangsa, dan bahasanya, terciptalah suatu ikatan : Bersatu di dalam kepelbagaian.
Karena Indonesia bagi bangsanya semestinya dapat menjadi rumah tempat berteduh bagi individu penghuninya yang majemuk itu. Rumah Indonesia akan dapat berfungsi peneduh secara hakiki, jika individu maupun kelompok penghuninya tidak egoistik (ananiyah). Namun fungsi peneduh yang hakiki itu dapat dirasakan dengan seksama jika sikap dan jiwa altruistik, nahniyah, kebersamaan dalam arti seluas-luasnya dapat diwujudkan dalam rumah Indonesia ini.
Di dalam rumah Indonesia ada system social yang merupakan sejumlah kegiatan atau sejumlah individu yang selalu berinteraksi, untuk selalu mempertahankan berdiri tegaknya rumah Indonesia dan berbagai kegiatannya. Sistem sosial itu diciptakan oleh manusia penghuninya, dipertahankan, bahkan malah diubah dan diganti oleh penghuninya. Sistem sosial yang diciptakan manusia Indonesia akan mempengaruhi perilaku Indonesia.
Jika yang tampak dalam perilaku manusia Indonesia adalah sikap dan jiwa egoistic (ananiyah), maka sesungguhnya pembangunan yang selama ini dijalankan, dan sistem sosial yang diciptakannya adalah kurang atau mungkin tidak menyentuh secara hakiki dalam membangun sikap maupun jiwa altruistic, nahniyah, kekitaan, kebersamaan itu. Sikap dan jiwa egoistic yang merasuk ke dalam aspek berbangsa dan bernegara dapat menimbulkan kesengsaraan-kesengsaraan.
Jiwa egoistic, mempercepat hilangnya patriotisme orang perorang. Patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air dan negaranya, sebagai manifestasi semangat cinta tanah air. Sikap dan jiwa egoistic menghambat tumbuhnya sikap dan jiwa toleransim dalam rumah besar Indonesia ini memerlukan jiwa toleransi yang tinggi karena penghuninya terdiri dari berbagai kelompok yang memiliki budaya masing-masing yang semestinya saling berinteraksi dengan penuh toleransi. Sikap dan jiwa egoistik sulit menemukan rumusan bersama dalam bentuk definisi real yang dapat diterima, karena real-nya dan sebaliknya selalu mengarah hanya untuk kelompok tertentu saja. Jiwa egoistic, sulit untuk menghantar kepada sikap mandiri, selalu bersandar kepada kekuatan-kekuatan yang dimilikinya oleh selain dirinya. Lain halnya dengan jiwa altruistik, nahniyah dan kekitaan, ia-nya akan dapat menghantarkan kepada kebalikan dari egoistik tersebut.
Penghuni Rumah Indonesia
Penghuni rumah Indonesia yang pluralistik ini semestinya tampil secara sadar sebagai aktor pembangunan sikap dan jiwa altruistic (nahniyah). Sekat-sekat budaya, ras, dan agama semestinya tidak menjadi penghambat penghuni rumah Indonesia. Ras, budaya, agama, dan lain-lain yang dimiliki oleh penghuni rumah Indonesia ini kita miliki untuk memperkaya subyek dalam melakukan sesuatu di dalam rumah Indonesia ini. Kita jadikan kekayaan budaya itu untuk meningkatkan kecerdasan pikiran kita, mempertebal sikap toleransi dalam memiliki dan menyampaikan kehendak, memperhalus memaknai kebebasan dan kemerdekaan yang kita miliki, selanjutnya dapat memberikan arti dan makna atas segala sesuatu yang kita lakukan dan karenanya kita mampu menilai tindakan dan hasil tindakan kita sendiri. Membangun jiwa kekitaan yang tumbuh dari keluarga besar rumah Indonesia dengan sadar, akan mengangkat harkat dan martabat Indonesia kini dan mendatang.
Tumbuh kebersamaan dan kekitaan dalam keluarga besar Indonesia akan mempercepat langkah memperoleh kebali sesuatu yang kita anggap hilang, takkala sesuatu yang baik itu menjadi dambaan kita. Kebersamaan (kekitaan) akan menghantar sikap percaya diri dalam melaksanakan berbagai pembangunan negara dan bangsa. Kebersamaan dan kekitaan akan menghantar warga bangsa penghuni rumah Indonesia ini memperkecil keter-gantungannya kepada bantuan orang lain, karena kekayaan hati nurani kita akan mengatakan bahwa sebenarnya kita mampu dengan kekayaan kita menafkahi keluarga besar rumah Indonesia ini tanpa harus memperbesar jumlah hutang yang ditanggung oleh keluarga besar Indonesia. Kekitaan dan kebersamaan akan memacu keluarga besar penghuni rumah Indonesia ini menjadi warga yang cerdas, berkemampuan hidup yang hakiki, yang karenanya dapat memperkecil bahkan menghapus sikap menyengsarakan sesama umat manusia.
Tertanamnya kebersamaan dan kekitaan yang kokoh, akan dapat memaknai sebuah cita-cita dan harapan yang sering dikumandangkan : Indonesia harus kuat. Dengan kebersamaan dan kekitaan, kita dapat menghantarkan cita-cita itu bukan dengan besarnya jumlah penduduk dan kekayaan yang terkandung dalam Indonesia namun kita akan sanggup menempuhnya dengan kecerdasan warga bangsa yang terlatih serta teruji, juga karena kecintaan mereka terhadap Indonesia yang mendalam semua tertanam di dalam setiap warga bangsa sebagai sikap perbuatan. Ide besar : Indonesia Harus Kuat, mesti dipahami secara real, dimengerti secara bersama dan dilaksanakan secara bersama pula. Tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangi cita-cita ini jika sikap dan jiwa altruistic, nahniyah dan kekitaan telah menghujam sebagai darah daging bangsa Indonesia, selanjutnya egoistik (ananiyah) kita kubur dalam-dalam.
Kiranya, inilah yang dapat kita maknai dari Ied al-Qurban tahun ini sebagai penanaman cita-cita dan sikap kebersamaan, untuk menghantarkan Indonesia menjadi kuat. Indonesia Harus Kuat. (Sumber dari Majalah Berita Indonesia-07/2006)
Bacaan Selanjutnya!

Thursday, June 22, 2006

Bagian ke 2
Globalisasi dan Pendidikan :
Pendidikan, Jalan Utama Menuju Indonesia Kuat
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Dalam kaitan hidup berbangsa dan bernegara, kita semua harus terus berbuat dan berupaya sekuat tenaga untuk Indonesia, agar masa depan Indonesia menjadi Indonesia yang kuat. Kuat dalam arti mampu mengorganisir diri dalam tataran organisasi negara yang modern, berbasis dari kekuatan yang dimiliki rakyat, diperuntukkan bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat dan ditangani oleh rakyat, dalam segala aspek kehidupan pemerintahan, ekonomi, budaya dan sebagainya.

Indonesia kuat adalah Indonesia yang rakyatnya terdidik secara baik, dinamis, dan visioner. Indonesia kuat adalah Indonesia yang mampu berdiplomasi antar bangsa, yang mampu menciptakan zone of peace bersama-sama dengan Negara lain, sehingga Indonesia masuk dalam lingkaran zone aman, zone demokrasi yang sihat, dan terus mengupayakan kehidupan demokrasi yang hakiki, membuka kebebasan untuk bangsanya kini dan mendatang, sebab nasib bangsa dan negara Indonesia tergantung pada bagaimana kehidupan demokrasi yang sihat.
Lahirnya Al-Zaytun

Al-Zaytun berdiri dilator-belakangi oleh perjalanan panjang sejarah bangsa dan sejarah umat manusia. Bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang amat lama, tiga setengah abad terhitung sejak masuknya bangsa Belanda ke Banten tahun 1596 sampai proklamasi kemerdekaan 1945. Dalam menjalankan pemerintahan sendiri selama lebih dari setengah abad, belum mencapai kemajuan yang berarti, khususnya dibidang pendidikan.

Juga berbagai peperangan yang terjadi sepanjang abad ke-20, dan terjadinya blok-blok besar di dunia yang saling ingin menguasai satu dengan lainnya, dan terjadilah perang dingin, yang kesudahannya dimenangkan oleh blok Barat. Berbagai peristiwa dan kejadian sejarah baik nasional maupun internasional tersebut mengilhami pemikiran untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang mampu menciptakan keseimbangan intelektual sehingga dengannya keseimbangan dan perdamaian dapat diwujudkan dalam lingkungan kehidupan umat manusia.

Secara fisik pembangunan sarana pendidikan Al-Zaytun dimulai sejak tahun 1996, tiga tahun kemudian berulah dimulai pembukaan pembelajaran, tepatnya pada 1 Juli 1999M/18 Rabi' al-Awwal 1420H, tepat seratus tahun setelah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang berdiri. Al-Zaytun diresmikan oleh Presiden Indonesia B.J. habibie pada 27 Agustus tahun 1999. Ide pendirian Ma'had ini selayaknya ide umat manusia yang menginginkan peradaban umat manusia (positif) ini tidak putus-putusnya. Ide seperti itu juga merupakan ide berbagai bangsa yang ada di dunia. Para pendiri Al-Zaytun menyimpulkan bahwa peradaban (positif) umat manusia tidak boleh terputus oleh apapun juga, dan peradaban akan berkesinambungan jika ditata melalui pendidikan, bukan melalui peperangan. Pendidikanlah yang akan mampu melestarikan peradaban umat manusia di dunia.

Banyak orang bertanya tentang pencetus ide pertamanya. Sesungguhnya kebersamaanah yang mampu menumbuhkan ide-ide besar itu. Termasuk ide pendirian Al-Zaytun ini adalah akibat adanya kebersamaan yang memunculkan sebuah ide, kemudian berjalan bersama untuk merealisasikannya. Kebersamaan ide mampu menyatukan kemampuan individu-individu dalam mengaktualisasikan diri masing-masing secara optimal. Dalam arti kata, masing-masing mengenali potensi positif yang mereka miliki, dan berusaha sekuat tenaga menggali, membiasakan, berkreasi, dan mewujudkan potensi positif yang telah terbina dengan disiplin tinggi dan perjuangan dalam prestasi nyata. Akhirnya prestasi nyata berbentuk pendirian Al-Zaytun ini dapat dicapai, yang tentunya dapat menumbuhkan rasa puas dalam diri dan mungkin juga bagi orang lain. Dan perwujudan prestasi pendirian Ma'had ini betul-betul diraih dengan upaya keras dan persiapan waktu yang sangat lama.

Pengalaman hidup yang dipersatukan dari banyak orang dapat memberi inspirasi pada pengembangan model model-model pendidikan yang dicita-citakan. Gabungan cita-cita bersama itulah yang menentukan model Al-Zaytun. Semangat pesantren berupa sikap mandiri yang kuat, cinta ilmu, dan semangat belajar yang tinggi tetap menjadi spirit Al-Zaytun, dengan terus mengikuti perkembangan zaman, yakni bersistem modern, modern dalam arti kata luas. Modern dalam menyelenggarakan pendidikan harus bervisi dan berorientasi masa depan, berorganisasi kuat, berkecerdasan tinggi, melangkah berdasar ilmu, beretos kerja tinggi dan berdisiplin. Karenanya motto Ma'had ini adalah Pesantren Spirit but Modern System.

Kemandirian menjadi ciri utama Al-Zaytun, kemandirian diwujudkan dalam sikap tidak ketergantungan, dan itulah yang terus akan dikembangkan dalam pendidikan di sini. Akan terus ditanamkan kepada peserta didik sikap mandiri itu. Contoh konkret kehidupan mandiri itu adalah dalam pendanaan pendidikan, kita tidak bergantung kepada subsidi pemerintah. Untuk itu, semua kita berusaha dengan gigih untuk mendapatkannya dari berbagai cara yang terpuji dan baik. Sebab kemandirian bukan alas an untuk menghalalkan segala cara. Dengan selalu membiasakan jiwa mandiri, diharapkan para santri di kemudian hari akan dapat mengangkat harkat diri sendiri, dengan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya dan orang lain.

Semua yang terlibat dalam pendidikan di Al-Zaytun berharap dan berusaha agar graduate dari Al-Zaytun ini dapat menjadi manusia dewasa, sebab dalam kehidupan ini sering terjadi, seseorang menjadi cepat tua namun lambat dewasa akibat kurang terdidik. Dalam arti kata graduate Al-Zaytun dipersiapkan menjadi manusia cerdas, bajik dan bijak, menguasai sains dan teknologi, cinta akan negaranya, dan mampu hidup dan bergaul antar bangsa.

Karenanya kita selalu menanamkan pendidikan antar-bangsa. Pendidikan antar bangsa yang selalu menanamkan dan melatih para siswa agar membiasakan dan berorientasi pada cara berpikir antar bangsa, bahwa manusia dalam segala bentuk ras, budaya, bangsa dan agama, harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersaudara, sebagai penghuni satu bulatan dunia ini. Dengan demikan akan tumbuh solidaritas antar bangsa, yakni akan terbiasa dalam memecahkan problem kemanusiaan tidak mengedepankan kebencian dan bruk sangka rasis dan mengedepan-kan saling pengertian terhadap wujud multicultural yang semula jadi dan semula ada.

Selanjutnya, siswa selaku generasi muda, terus dibekali berbagai kemampuan yang dapat mendorong dan mengantar mereka kepada tantantan hidup antar-bangsa. Sehingga ke depan graduate Al-Zaytun mampu berpikir dan berorientasi masa depan. Mampu masuk dalam percaturan pasar sumber daya manusia antar-bangsa, baik dalam bidang pemerintahan, maupun dalam organisasi-organisasi antar-bangsa, dan mampu menjalin hubungan antar-bansa bermodalkan kemampuan yang mereka miliki.

Dan dalam kaitan hidup berbangsa dan bernegara, kita semua peserta didik, pelaku didik dan pekerja didik, terus berbuat, berupaya dan berusaha sekuat tenaga untuk Indonesia, agar masa depan Indonesia menjadi Indonesia yang kuat. Kuat dalam arti mampu mengorganisir diri dalam tataran organisasi negara yang modern, berbasis dari kekuatan yang dimiliki rakyat, diperuntukkan bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat dan ditangani oleh rakyat, dalam segala aspek kehidupan pemerintahan, ekonomi, budaya dan sebagainya.

Indonesia kuat adalah Indonesia yang rakyatnya terdidik secara baik, dinamis, dan visioner. Indonesia kuat adalah Indonesia yang mampu berdiplomasi antar-bangsa, yang mampu menciptakan zone of peace bersama-sama dengan Negara lain, sehingga Indonesia masuk dalam lingkaran zone aman, zone demokrasi sihat, dan terus mengupayakan kehidupan demokrasi yang hakiki, membuka kebebasan untuk bangsanya kini dan mendatang, sebab nasib bangsa dan Negara Indonesia tergantung pada bagaimana kehidupan demokrasi yang sihat.

Perubahan Paradigma

Al-Zaytun berdiri di saat terjadinya pergeseran paradigma. Dunia dengan berbagai macam penghuninya terus bergerak meninggalkan abad industri. Yaitu suatu kurun waktu yang mampu mengubah cara hidup banyak manusia, terutama yang hidup di kota, pinggiran kota dan daerah-daerah yang terikat dengan pusat industri.

Mereka bekerja dengan cepat menggunakan organisasi dan peralatan yang bukan manual. Banyak macam barang dan jasa yang tersedia, kesihatan meningkat, mudah bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dan mempunyai waktu luang yang banyak. Abad industri itu menciptakan kesejahteraan yang tidak merata, sehingga kesenjangan social dunia menjadi parah. Abad industri yang bercirikan produksi dan distribusi barang telah bergeser kepada abad informasi, dengan cirri produksi dan distribusi pengetahuan dan informasi.

Dalam abad informasi seperti yang kita rasakan dalam kehidupan nyata, sungguh sulit memperoleh keuntungan hanya bersumber dari sumber daya tradisional (tenaga kerja, tanah, dan modal-uang). Kini, informasi dan pengetahuan menjadi penghasil kekayaan utama. Namun pengetahuan tidak murah harganya. Semua negara maju mengeluarkan kira-kira 20% dari Penghasilan Negara Bruto (PNB)-nya untuk produksi dan distribusi pengetahuan. Pembentukan pengetahuan dengan demikian sudah merupakan investasi terbesar di setiap negara maju.

Karenannya hasil yang didapat oleh sebuah negara atau sebuah institusi dari pengetahuan tentunya semakin menjadi faktor penentu pada daya saingnya. Makin hari, produktivitas pengetahuan akan semakin menentukan social ekonominya.

Kelemahan produktivitas pengetahuan suatu negara (institusi) lebih dari apapun yang lain, merupakan pangkal dari kelambanan, erosi, dan krisis yang tak berkesudahan pada sosial ekonomi negara. Kita di Indonesia jelas pengeluaran untuk produktivitas pengetahuan jauh lebih rendah dari pengeluaran lain-lainnya.

Karenanya, dalam bidang produktivitas pengetahuan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara manapun. Bangsa kita juga belum mampu masuk ke dalam produktivitas pengetahuan baru, bahkan gagal, sekalipun hanya untuk mengubah pengetahuan yang telah ada menjadi inovasi yang berhasil. Pengetahuan yang ada tetap merupakan merupakan informasi dan bukannya menjadi pengetahuan yang produktif.

Pendidikan yang bertanggung-jawab

Terjadinya revolusi informasi teknologi kini computer meja dan pengiriman data melalui satelit langsung ke ruang kelas sedang melanda sekolah-sekolah (sekalipun hal ini belum menjadi umum di Indonesia). Kita berada di dalam revolusi tersebut, tentunya akan mengubah cara kita belajar dan cara kita mengajar, dalam dasawarsa mendatang. Dan revolusi ini akan mengubah ekonomi pendidikan, dari yang hari ini kita lakukan, yang keadaannya hampir total padat karya, pendidikan (sekolah) akan menjadi pada modal.

Lembaga pendidikan selama ini selalu memberikan perhatian penuh kepada anak-anak muda yang belum dianggap sebagai warga negara penuh, karena belum mempunyai tanggung jawab dan belum memasuki angkatan kerja.

Namun dalam masyarakat berpengetahuan, lembaga pendidikan merupakan lembaga orang dewasa juga, terutama dewasa berpendidikan tinggi,. Dan dalam mayarakat berpengetahuan, lembaga pendidikan menjadi bertanggung-jawab atas kinerja dan hasil-hasilnya.

Karenanya, lembaga pendidikan di dalam revolusi teknologi informasi ini, harus mampu masuk ke dalam penguasaan teknologi baru dalam pembelajaran (belajar mengajar). Sebab hal itu merupakan satu prasyarat bagi keberhasilan nasional dan kultural, juga bagi daya saing ekonomi.

Dalam khazanah sejarah Islam, sebelum tahun 1550, khalifah Utsmaniyah Turki telah mengejawantahkan Islam secara politis, dan menjadi negara adidaya dunia di setiap gelanggang ; politik, militer ekonomi, ilmu dan budaya, sampai dengan tahun 1550 dan seterus-nya, mengalami kemandekan dan menjadi introvert (ananiyah), menjadi senantiasa defensive. Dalam masa seperti itu lembaga pendidikan menjadi semakin dilihat sebagai penghambat kemajuan dan perlawanan terhadap lembaga pendidikan merupakan pangkal surut bagi segala pembaharuan kebudayaan besar Islam.

Sedangkan di dunia Barat, lemabga pendidikan atau sekolah jadi dipandang sebagai lembaga "progresif" dan sebagai motor kemajuan di segala bidang-bidang kebudayaan, seni, sastra dan ilmu, ekonomi, politik, dan militer.

Selanjutnya dalam era revolusi teknologi dalam pendidikan, ada satu pelajaran yang dapat kita petik bahwa, teknologi itu sendiri menjadi tidak lebih penting ketimbang perubahan-perubahan yang dipicunya dalam subtansi, muatan, titik berat pelajaran dan lembaga pendidikan itu sendiri. Perubahan dalam substansi, muatan, dan titik berat pendidikan itulah yang sesungguhnya menjadi masalah dalam teknologi pembelajaran (belajar mengajar).

Bagaimana meresponnya?

Lembaga pendidikan kita harus menekankan disiplin, ditanamkan dalam berbagai macam kegiatan apapun, melalui pelatihan dan pembinaan yang tiada henti-hentinya. Dan kita tidak boleh menampik secara apriori berbagai kemajuan yang telah dicapainya oleh siapapun.

Kita harus meletakkan diri bukan sebagai "kaum terpelajar" yang elit, yang terpisahkan dan berbeda dengan orang-orang biasa. Dan dalam muatan serta substansi, lembaga pendidikan kita harus menarik banyak segala sesuatu yang dapat dipelajari dari negara-negara maju dan pendidikannya. Kita tidak seharusnya apriori kepada budaya barat maupun timur, mestinya kita dapat dan mampu menyerap kebaikannya yang seterusnya kita Indonesia-kannya.

Mestinya kita tidak usah takut menjadi modern, menjadi "terwesternisasi" dalam ekonomi, teknologi, institusi-institusi politik dan kemiliterannya asalkan kita tetap menjadi orang beragama yang taat dalam Indonesia yang utuh.

Teknologi, biarpun penting dan tersedia, bukanlah segi paling penting dari transformasi pendidikan. Yang akan menjadi sangat penting ialah pemikiran kembali tentang peran dan fungsi pendidikan sekolah. Sekalipun teknologi tetap penting artinya , sebab teknologi akan memaksa kita untuk melakukan hal-hal baru dan bukan sebaliknya. Dengan demikian tantangan sebenarnya yang harus dihadapi bukanlah teknologi itu sendiri, namun untuk apa pengguna-annya.

Selanjutnya kita harus mampu menetapkan atau memiliki sistem pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat berpengetahuan. Dalam hal ini mungkin kita dapat menetapkan sekalipun dalam garis-garis besar kasar saja tentang spesifikasi pendidikan sekolah dan sekolah-sekolah yang mungkin sesuai dengan kenyataan-kenyataan masyarakat berpengetahuan
Lembaga pendidikan yang diperlukan harus menyediakan alat-alat yang menunjang kemelek-hurufan universal lebih dari "kemelek-hurufan" dalam pengertian yang telah ada.
Lembaga pendidikan yang diperlukan harus mengilhami para siswa dari segala tingkat dan segala umur dengan motivasi untuk belajar dan dengan disiplin untuk belajar secara berkelanjutan.
Lembaga pendidikan yang diperlukan haruslah merupakan satu sistem terbuka, bisa dicapai oleh orang berpendidikan tinggi maupun orang yang oleh sebab apapun tidak mendapatkan akses ke pendidikan lanjutan pada masa mudanya.
Lembaga pendidikan yang diperlukan harus menanamkan pengetahuan, baik sebagai substansi maupun sebagai proses.
Lembaga pendidikan sekolah tidak lagi bisa dimonopoli oleh sekolah, melainkan menyebar ke dalam seluruh masyarakat.

Segala jenis organisasi yang mempekerjakan orang-orang perusa-haan, badan pemerintah, organisasi nirlaba, harus menjadi lembaga pembelajaran (belajar-mengajar). Lembaga pendidikan semakin harus bekerja dalam kemitraan dengan para majikan dan organisasi-organisasi yang mempekerjakan orang. Semua ini akan kita coba memulainya di Al-Zaytun. Insya Allah. (Sumber kutipan dari Majalah Berita Indonesia-10/2006)
Bacaan Selanjutnya!
Bagian ke 1
Globalisasi dan Pendidikan : Apa Artinya Bagi Indonesia?
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Pada era globalisasi ini, kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah Negara. Dalam kaitan ini, Indonesia haru mereformasi pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi factor pendidikan di era globalisasi ini, akan menjadi ancaman yang mengerikan berupa runtuhnya tatanan ke hidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas.

Fenomena globaliasi, yang telah mengubah sedemikian rupa pola perdagangan dunia, informasi dan kemonukiasi, serta hubungan perekonomian di akhir abad kedua puluh, membawa pengaruh perubahan yang sama di bidang pendidikan di awal abad kedua puluh satu.

Pilihan pendidikan saat ini, sudah tidak lagi tersekat pada batasan-batasan territorial sebuah negara. Perubahan-perubahan sistem pembelajaran seperti transnational education, internet based learning, distance learning, kampus-kampus jarak jauh (offshore campus), franchise institution, telah berkembang sedemikian rupa pesatnya di berbagai Negara. Hal ini memberikan kesempatan kepada pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memilih lembaga pendidikan dan atau sistem pembelajaran yang diinginkannya, baik di negara asal maupun di luar negeri.

Persaingan global pun sangat terbuka bagi pelajar mahasiswa yang "berprestasi dan cemerlang", karena di era global ini banyak Negara yang menjadikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditi ekspor. Sepanjang sejarah kemanusiaan baru di era inilah masyarakat pendidikan, pelajar, mahasiswa, pengajar, dan civitas akademika lainnya mempunyai kesempatan unutk masuk dalam apa yang disebut sebagai "pasar dunia" agau global market.

Bagi para pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan di Indonesia, era ini tentu saja memberikan banyak kesempatan sekaligus sebagai sebuah ancaman, atau setidaknya tantangan atau bahkan era ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menyejajar dirinya dengan negara-negara lain di dunia.

Ancaman yang sangat mengerikan bila bangsa Indonesia tidak mengantisipasi factor pendidikan di era globalisasi ini adalah runtuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas. Sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu bersaing dalam berbagai sektor kehidupan mambuat Indonesia semakin terdesak mundur dan kalah dalam persaingan menata kehidupan social, ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya.

Ketergantungan yang terus menerus terhadap orang, institusi dan Negara lain membuat ketidak-percayaan terhadap diri sendiri yang semakin dalam sehingga banyak hal harus ditentukan oleh orang, institusi dan Negara lain. Sementara pada era globalisasi kemandirian sangat mutlak diperlukan dalam menentukan arah perjalanan sebuah negara. Indonesia harus mereformasi kembali pendidikan yang hingga hari ini belum mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain.

Ancaman yang disebutkan di atas adalah tantangan yang harus dihadapi dengan keseriusan dan penuh keyakinan, karena untuk kembali menata pendidikan sebagai kunci keberhasilan sebuah negara kita menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya intern maupun ekstern.

Tantangan secara intern yang jelas adalah bahwa banyak di antara pelajar, mahasiswa bahkan orang tua pelajar Indonesia, masih melihat Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat untuk tujuan belajar, baik itu untuk tingkat sarjana maupun pasca-sarjana. Hal ini disebabkan mutu pendidikan di negeri ini terus dan terus menurun, juga masih saja kekurangan fasilitas, termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas computer dan akses internet, dan alat Bantu modern lain yang dibutuhkan.

Kekurangan tersebut tidak saja monopoli lembaga-lembaga pendidikan tinggi daerah, baik milik pemerintah maupun swasta, tetapi juga berlaku pada lembaga pendidikan di kota-kota besar. Hanya sedikit saja di antaranya yang memiliki kemapanan berupa kecukupan alat bantu modern. Mereka masih belum mampu menarik minat masyarakat menengah atas, karena berbagai sebab, di antaranya adalah kurangnya tenaga pengajar internasional, diragukannya pengakuan internasional, dan kurikulum yang masih mengacu pada aturan lama yang tidak seiring dengan permintaan internasional. Bagaimanapun sampai saat ini lembaga pendidikan Indonesia, masih belum mampu bersaing dalam kompetisi internasional yang amat ketat di era globalisasi ini.

Kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tertinggal jauh secara kualitas. Anggaran pendidikan yang minim, profesionalitas tenaga pengajar yang rendah, sarana dan prasarana yang tidak memadai membuat Indonesia semakin tertinggal jauh.

Secara ekstern, pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat yang sanggat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dengan dunia industri terutama yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi belum mampu diikuti dengan cermat oleh bangsa Indonesia. Persaingan kualitas output pendidikan merupakan indicator yang jelas akan lemahnya output yang dihasilkan oleh Indonesia. Untuk itu kehandalan sense of entrepreneurship para pemimpin dan tenaga-tenaga manajemen pendidikan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Sehingga mampu membawa lembaga pendidikan Indonesia kearah global oriented dalam arti sepenuhnya.

Dengan tradisi belajar dan mengajar yang sudah cukup tua, sesungguhnya Indonesia Mempunyai potensi untuk memanfaatkan globalisasi ini, jauh dari apa yang saat ini diperoleh oleh negara tetangga kita Malaysia, yang tak seberapa tahun yang lalu masih mendatangkan guru-guru dari Indonesia. Kini dengan upaya intensif, Malaysia sudah dikenal sebagai Center of Excellence, dan telah terjadi ketimpangan antara jumlah mahasiswa/pelajar yang dikirim oleh Indonesia, dengan pelajar/mahasiswa yang dikirim oleh Malaysia ke Indonesia.

Saat ini hanya kurang lebih 8.000 orang pelajar dan mahasiswa Malaysia di seluruh Indonesia, dan institusi pendidikan internasional yang terbanyak mendapat kepercayaan dari Malaysia adalah Al-Zaytun. Sementara jumlah pelajar Indonesia di negeri jiran ini lebih dari 28.000 orang (data tahun 2006).

Kemudian dalam kondisi ini bagaimanakah Indonesia mengambil peran? Inilah pertanyaan yang sering didiskusikan tentang upaya-upaya praktis oleh para pelaku didik Al-Zaytun. Bagi pelaku didik Al-Zaytun, globalisasi disadari sepenuhnya sebagai suatu ancaman bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, namun juga menjadi tantangan dan harapan untuk berkiprah di jagad raya, mengukir kebesaran potensi yang dimiliki bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Beruntunglah bahwa untuk itu semua, Indonesia telah memiliki Undang Undang Pendidikan Baru, yang tentu saja lebih terbuka dan lebih akomodatif untuk segala bentuk inovasi dan reformasi pendidikan, sehingga memudahkan pendidik, dan peserta didik memperoleh kesempatan di era globalisasi ini.

Masa Lalu : Pengaruh Internasional pada Pendidikan Indonesia.

Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan modern yang berbeda, dan mempunyai kekhasan tersendiri, yang sangat mempengaruhi perkembangan dan persepsi terhadap globalisasi atau internasional pendidikan di negeri ini.

Malaysia misalnya, walau sempat tertinggal jauh dari Indonesia, tetapi negeri ini mempunyai tradisi pendidikan internasional yang diwariskan oleh penjajah Inggris, yang mempunyai kebiasaan sejarah selalu membawa pelaku-pelaku didik di tengah bangsa yang dijajahnya, walau pada mulannya hanya untuk mengakomodasi kepentingan sendiri. Sehingga di negara-negara jajahannya selalu terdapat lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional, yang pada gilirannya mempengaruhi tradisi belajar dan mengajar di negara jajahannya.

Stanford, dan banyak institusi execellent lainnya telah ada di Malaysia sejak lama, begitu juga st. Stephen College, Presidency College, St.Joseph's College, St. Xavier's, Christian Medical College, CMC Vellore, Isabella Thoburn College dan banyak lagi institusi ternama, terdapat di India sejak lama, tempat sebagain besar elite neger ini belajar, banyak lagi di Pakistan dan Bangsladesh, serta negera-negara jajahan Inggris lainnya.

Berbeda dengan negar-negara tersebut di atas, Indonesia mempunyai latar belakang sejarah pendidikan yang amat unik, yang sekalipun pendidikan modern sudah merambah sedemikian luas, tetapi akar pendidikan Indonesia, yankni "pesantren", masih tetap berdiri kokoh dan memberikan kontribusi aktif bahkan lebih dibandingkan dengan apa yang disebut sebagai lembaga pendidikan modern (Baca artikel Syaykh Al-Zaytun pada Berita Indoensai edisi 09 dan 10).

Sedangkan pendidikan modern baru diperkenalkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1892, dimulai dengan pendidikan dasar yang kemudian dikembangkan sampai ke perguruan tinggi pada tahun 1920, dengan berdirinya sekolah tinggi teknik Bandung, disusul dengan berbagai lembaga pendidikan tinggi di kawasan lain di Pulau Jawa, yang kesemuanya merupakan lembaga pendidikan yang amat exclusive, sehingga tidak setiap warga mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan tinggi. Di masa itu terdapat pembagian peringkat sekolah, sehingga menyulitkan masyarakat kebanyakan untuk mengikutinya, bahkan untuk sekolah peringkat dasar sekalipun.

Hampir bersamaan dengan itu, para tokoh pendidikan pesantren pun, berupaya untuk mempertahankan eksistensi pendidikan Islam, dengan mendirikan pesantren modern sesuai dengan jamannya, Pondok Tebuireng didirikan, begitu juga Pondok Modern Gontor Ponorogo. Di lain pihak Muhamadiyah pun melakukan hal yang sama, sekalipun orientasinya sedikit berbeda, karena lebih mendekati upaya pendidikan yang dilakukan oleh pihak penjajah Belanda, dengan muatan keislaman.

Tidak seperti Malaysia dan negara-negara jajahan Inggris lainnya, yang begitu mudah diarahkan dan mengikuti jejak penjajahnya, terutama dalam kaitan dengan penggunaan bahasa. Belanda tidak mampu melakukan hal yang sama, karena benteng kokoh pendidikan bangsa Indonesia tersebut di atas. 350 tahun lebih tidak memberikan bekas budaya bahasa sekecil apapun kepada bangsa Indonesia, dan sepeninggal mereka, terasa begitu mudah dan cepatnya bangsa ini menemukan jati diri, begitu juga dalam kaitan dengan pendidikan.

Dengan demikian sentuhan-sentuhan internasional terhadap pola pendidikan di Indonesia, sangatlah terbatas di awal pengenalan pendidikan modern tersebut, diiringi dengan berbagai tantangan, yang tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda. Sangat besar manfaat pengenalan pendidikan modern bagi perkembangan pendidikan di negeri ini, tetapi juga mempunyai yang cukup serius, saat tantangan yang sama dengan pola yang berbeda kembali dihadapi oleh bangsa besar ini, yaitu globalisasi.

Pasca kemerdekaan, Indonesia bergerak menata dunia pendidikannya, namun masih dengan perhatian yang amat kecil dibandingkan perhatian pemerintah terhadap bidang-bidang lain. Sejak awal kemerdekaan sampai masa-masa reformasi, pada saat kepemimpinan negara dipegang oleh mereka yang lebih educated, namun belum memberikan perhatian lebih terhadap dunia pendidikan di negeri ini.

Harapan akan munculnya gembong pendidikan Indonesia, sirna saat pendidikan Indonesia masih tetap seperti sedia kala (tidak bergerak maju), dan berbagai kebijakan masih jauh panggang dari api, dalam kaitan dengan derasnya arus globalisasi yang tak terelakan. Walau saat ini bermunculan di sana-sini lembaga pendidikan tinggi, dari yang terbaik menurut ukuran Indonesia, sampai pada yang hanya dipergunakan untuk memperoleh formalitas kualifikasi.

Banyak sudah tenaga-tenaga pendidik yang dikirim ke luar negeri untuk menyelesaikan program master dan atau doktoralnya, akan tetapi sekembalinya mereka ke negeri ini, tak banyak yang bisa mereka lakukan, hal ini karena adanya perbedaan antara yang harus mereka lakukan dengan kebijakan yang ada, walau di antara mereka ada yang menduduki posisi kunci dalam kementerian pendidikan.

Pesantren sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan Indonesia, ternyata dalam keterbatasannya, mampu melebihi lembaga-lembaga pendidikan sekuler, dalam kaitan dengan pengakuan internasionalnya, sebagai missal Pondok Modern Gontor, dan banyak lagi pesantren telah mendapatkan pengakuan dari Mesir atau Negara Arab lainnya. Sementara sampai saat ini belum satupun universitas di luar negeri, yang meluluskan ijasah SMU sebagai persyaratan masuk langsung ke universitas.

Universitas di Inggris, New Zealand, Australia dan banyak Negara maju lainnya, mempersyaratkan dua semester di perguruan tinggi untuk bisa diterima langsung, belum termasuk penilaian kecakapan berbahasa Inggris, yang rata-rata harus memperoleh skor 550 untuk TOEFL, dan 650 untuk IELTS, dan untuk itu dibutuhkan tambahan waktu antara enam bulan sampai dengan satu tahun.

Masih banyak lagi hal-hal penting, yang sama sekali belum tersentuh oleh sentuhan internasional, terutama dalam kaitan dengan perubahan kurikulum pendidikan menengah maupun tinggi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan rekognisi dan akreditasi internasional.

Al-Zaytun sebagai salah satu pelaku aktivitas pendidikan, sangat menyadari hal tersebut di atas, dan oleh sebab itu sejak berdirinya sampai pada usianya yang kelima (2006), berupaya untuk memberikan sentuhan-sentuhan internasional, dengan harapan jika tiab saatnya nanti, lembaga pendidikan ini benar-benar menjadi lembaga pendidikan internasional, sekaligus sebagai "Center of Excellece".

Al-Zaytun dan Eksistensinya

Al-Zaytun didirikan oleh Yayasan Pesantren Indonesia (TPI), bukan oleh perorangan, atau keluarga (dinasti). Ini bermakna kampus ini didirikan oleh kebersamaan berbagai person yang bergabung di dalam Yayasan Pesantren Indonesia.

Yayasan pendiri, selalu bersikap antisipatif terhadap perkembangan zaman, khasnya terhadap berbagai perkembangan pendidikan. Karenanya, yayasan ini selalu menata dan me-manage perjalanan pendidikan di Al-Zaytun dengan kaidah-kaidah pendidikan modern. Al-Zaytun dicetuskan, digagas, dan didirikan oleh umat Islam bangsa Indonesia, diperuntukkan bagi umat dan bangsa secara keseluruhan, dan juga merupakan hadiah umat Islam bangsa Indonesia untuk umat manusia sedunia, karenanya, Al-Zaytun adalah milik semua umat manusia.

a. Filosofi Al-Zaytun

Arah dan tujuan pendidikan Al-Zaytun adalah "Mempersiapkan peserta didik agar berakidah kokoh kuat kepada Allah dan syariat-Nya, menyatu di dalam tauhid, berakhlakul karimah, berilmu pengetahuan luas, berketerampilan tinggi yang tersimpul dalam Basthotan fi al-ilmi wa al-jismi sehingga sanggup siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan Negara bangsanya dan masyarakat antar bangsa dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi".

Al-Zaytun akan selalu menampilkan spesifikasi atau cirri khas, bagi upaya persiapan sumber daya manusia berkualitas dalam penguasaan Alqur'an secara mendalam, terampil berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa dominant antar bangsa, berpendekatan ilmu pengetahuan, berketerampilan teknologi dan fisik, berjiwa mandiri, penuh perhatian terhadap aspek dinamika kelompok dan bangsa, berdisiplin tinggi serta berkesenian yang memadai.

Adapun kurikulum yang dianut oleh Al-Zaytun adalh kurikulum yang komprehensif dan modern yagn selalu sensitive dan tanggap terhadap perkembangan zaman, selalu up to date ('ashry) dan kampus ini akan menitik beratkan kurikulumnya kepada pencapaian ilmu dan teknologi yang dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah SWT.

Dari aksentuasi kurikulum yang memadukan ilmu pengetahuan, teknologi, iman dan takwa kepada Allah SWT, maka Kampus ini terus berusaha dengan segala kemampuannya berjalan di atas sistem. Yakni segala langkahnya dilandasi dengan persiapan (moral-material) program yang jelas dan control yang pasti. Tiga item ini selalu berjalan menyatu menjadi satu kesatuan.

Tidak ada yang lebih utama dan terutama dari semua itu, yakni semuanya menjadi sesuatu yang utama dan terutama, tidak ada yang dikesampingkan.

Untuk itu semua, Al-Zaytun tidak berdiri sendiri atau tidak bekerja sendiri, melainkan selalu bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan yang telah terlebih dahulu mencapai kemajuan, dalam negeri maupun luar negeri (seperti apa yang telah dilakukan dengan lemabga-lembaga pendidikkan : ICDL, IMCA dsb. Dengan selalu mengacu kepada bimbingan instansi terkait, diharapkan secepatnya dapat terwujud kesamaan dan kebersamaan dalam menyikapi pencapaian perbaikan mutu pendidikan umat dan bangsa.

b. Sistem Pendidikan Al-Zaytun

Sebelum Indonesia lahir sebagai bangsa dan Negara, selama 350 tahun bangsa dan negara ini dijajah oleh Belanda dan berbagai Negara penjajah lainnya. Penjajahan memporak-porandakan eksistensi bangsa penghuni negara kepulauan ini dalam segala aspek dan dimensi kehidupan, yang paling mendasar adalah porak-porandanya bidang pendidikan. Keporak-porandaan pendidikan ini sangat dirasakan oleh seluruh penduduk negeri khususnya umat Islam.

Penjajahan asing atas negeri ini baru berakhir pada tahuan 1949, sekalipun kemerdekaan telah diproklamasikan pada tahun 1945. Umur kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai lebih dari 50 tahun namun kemajuan pendidikan di negeri ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti jika dibandingkan dengan Negara bekas jajahan lainnya.

Dengan berbagai pengalaman pahit tentang output pendidikan nasional yang kita rasakan bersama, kiranya kita semua memiliki keberanian melakukan terobosan positif membenahi pendidikan Indonesia tanpa saling menunggu dan saling mengandalkan satu sama lain, agar kita sebagai bangsa tidak tertinggal lebih jauh.

Dalam kondisi seperti ini, Al-Zaytun tampil bersama lembaga-lembaga pendidikan lainnya memberikan penanggulangan terhadap berbagai permasalahan pendidikan Indonesia. Mencoba menawarkan konsep pendidikan mandiri dalam pelaksanaan dan upaya penanaman kemandirian itu pada setiao peserta didik dan para pamong serta pelaku didik.

Diharapkan dengan bimbingan dan pembiasaan terhadap peserta didik menuju proses kemandirian dan perkembangan positif intelektual, psikologi, fisik, moral-etika, disiplin dan berbagai perkembangan positif lainnya, kiranya dapat mengarah kepada output sebagai wujud manusia yang mandiri, berilmu dan berperadaban (berkemajuan tingkat ilmu dan budaya).

Al-Zaytun menetapkan system pendidikan yang tak terputus dalam melaksanakan pendidikan formal yang mesti ditempu. Untuk mencapai arah dan tujuan one pipe education system, yang diwujudkan dalam pelaksanaan pendidikan dari kelas satu hingga kelas dua puluh. Yang terbagi dalam beberapa tingkatan :
Pertama ; Tingkat Dasar (Elementary) tahun 1 hingga tahun ke 6.
Kedua ; Tingkat Menengah (Secondary and Senior High School) tahun ke 7 hingga tahun ke 12, umur 13-18 tahun.
Ketiga ; Program S1 tahun ke 13 hingga tahun ke 15, umur 19-21 tahun.
Keempat ; Program s2 tahun ke 16 hingga tahun ke 17, umur 21-23 th.
Kelima ; Program S3 tahun ke 18 hingga tahun ke 19, umur 24-26 tahun.

Diharapkan dengan menempuh system pendidikan seperti ini kita akan mendapatkan kader-kader bangsa yang terdidik secara formal yang terprogram dengan baik, tidak terputus masa pembelajaran dan pendidikannya, sehingga dalam umur emasnya mereka telah mampu menyelesaikan pendidikan formal, dan karenanya usia produktif mereka dapat diabadikan kepada nusa dan bangsanya serta umat manusia pada umumnya denga penuh tanggung jawab, karena mereka telah memiliki kecerdasan yang terlatih, kebajikan dan kebijakan yang tinggi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni.

Sementara ini, yang sudah dapat ditempuh oleh Al-Zaytun adalah pelaksanaan mulai tingkat dasar (elementary), tingkat menengah pertama (secondary school), tingkat menengah atas (senior high school), serta tingkat S1. Setelah itu akan menyusul tingkat S2 dan S3.
(Sumber dari Majalah Berita Indonesia-11/2006)
Bacaan Selanjutnya!

Saturday, June 10, 2006

Bagian ke 2
Pencapaian Minimal
Pendidikan Indonesia Menjelang 2020
Tatanan Hidup Dalam Zone of Peace and Democracy
Oleh : Dr. AS. Panji Gumilang

Pelaku Didik (Guru)

Prof. Mahmud Yunus dalam buku panduan pendidik (al-Tarbiya wa al-Ta'lim) pernah mengatakan bahwa sistema maupun metode lebih penting dari pada materi ajar, namun guru dan pendidik lebih penting dari keduannya. Tidak siapapun yang mengerti pendidikan meletakkan guru sebagai unsur pendidikan yang tidak bermakna, dari zaman ke zaman guru menjadi pemegang peranan terpenting dalam proses pendidikan. Guru dapat mengantar suasana belajar menjadi favorable.

Guru mesti dihargai dan dihormati dalam arti seluas-luasnya. Namun dalam menetapkan guru sebagai pelaku didik harus melalui proses seleksi yang jelas, berdasarkan cita-cita dan tujuan pendidikan. Sebab, kalau tidak, dari guru juga akan dapat menciptakan berbagai aktifitas yang kotra-produktif terhadap makna dan tujuan pendidikan. Berbagai kejadian sering kita temukan dalam pengalaman mendidik keseharian dalam sekolah maupun kelas.

Guru dalam kegiatannya sebagai pelaku didik, akan meningkatkan kualitasnya jika selalu tampil sebagai the facilitator dalam elemen dasar action learning, pada pembimbingan tim (group peserta didik) dalam menghadapi problem belajar, menciptakan tim yang mampu bertanya dan berproses merefleksi problem, memfasilitasi tim untuk memiliki kebulatan tekad (resolusi) mengambil tindakan, dan memfasilitasi team agar selalu memiliki komitmen belajar yang tinggi.

Belakangan ini, di zaman kebebasan dan reformasi, guru justru dapat menciptakan suasana kontraproduktif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Guru dapat menciptakan libur total pada hari-hari yang mestinya untuk belajar, hanya karena dorongan kebebasan menyampaikan pendapat berbentuk demonstrasi yang memakan waktu lama dan melibatkan seluruh guru dan murid dari segala lapisan yang ada dalam satu wilayah pemerintahan daerah.

Biasanya guru, dalam memecahkan problem, selalu tampil dengan metode pendidikan yang elegan, baik berupa tekanan maupun dukungan terhadap orang lain yang dihadapi, namun kenyataan yang berjalan di sbuah wilayah daerah di Indonesia yang sedang terjadi adalah memogokan proses belajar mengajar, bahkan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang mestinya ikut menyelesaikan persoalan yang sedang terjadi. Semoga semua itu dapat dijadikan pelajaran bagi semua pihak, dan "peradaban" The end justifies the means tidak merasuk ke dalam tataran kehidupan unsure poko pengemban pendidikan.
Keseimbangan Dana

Dalam menghadapi Indonesia modern, tuntuan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat, dalam bentuk peningkatan anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah harus setinggi mungkin. Namun jika itu dilaksanakan juga, akan menjadi satu dilema. Sebab untuk memenuhi anggaran belanja dan pendapatan pemerintah belum siap memerintah tanpa utang luar negeri. Itu artinya semakin ditingkatkan berbagai macam anggaran perbelanjaan, semakin membengkak jumlah hutang yang akan ditanggung oleh rakyat, dan semakin dalam jurang kemiskinan rakyat Indonesia.

Sedangkan membangun pendidikan Indonesia modern wajib kita tempu, oleh karenanya kita sebagai bangsa harus mencari dan menemukan jalan keluar yang rasional dan humanis. Masih banyak jalan keluar sebagai solusi problem tersebut. Berpikir dan berusaha untuk kemajuan pendidikan Indonesia modern tidak boleh berhenti. Seluruh masyarakat Indonesia untuk perkara pendidikan ini akan memiliki pemikiran yang sama bahwa pendidikan Indonesia modern pasti terlaksana, kini dan seterusnya, sebab jika tidak, akan menjadi tidak bermakna berbangsa dan bernegara ini, atau akan terkucil bahkan sirna dari peredaran bangsa-bangsa didunia ini.

Seperti telah diuraikan, bahwa anggaran pendidikan Indonesia harus ditingkatkan. Untuk peningkatan itu, peta sikap bangsa ini tergambar seperti berikut : Pemerintah akan mau meningkatkan, namun resikonya bangsa menanggung beban utang luar negeri, karena pola pemerintahan Indonesia adalah ditakdirkan sebagai pola pengutang.

Selanjutnya rakyat Indonesia pun terbagi menjadi berbagai sikap. Ada yang bersikap seegala sesuatu mborongkerso apa yang telah disikapi oleh pemerintah, dana ada pula yang bersikap segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah selalu tidak cocok bagi pemikirannya, namun tidak pernah menampilkan jalan keluar, atau jalan keluarnya hanya berbentuk kritik dan kritik, yang kalau kritiknya itu diserahkan kepadanya untuk melaksanakannya in action juga tidak dapat dilakukannya.

Namun pasti ada sekelompok bangsa Indonesia yang sanggup dan dapat berbuat menggabungkan dua kelompok yang berbeda dalam menghadapi problem pendanaan pendidikan Indonesia modern yang dicita-citakan bersama tersebut. Yakni menyeimbangkan anggaran pendapatan dan belanja pendidikan yang seimbang, yang tidak menyerahkan kepada utang luar negeri saja, tapi juga tidak hanya terus-menerus menekan pemerintah untuk menaikan anggaran pendidikan dengan tidak mau tahu apa yang diperbuatnya.

Tokoh bangsa Indonesia dalam soal pendidikan ini telah memberi nasihat kepda bangsanya agar mampu tampil : Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tutwuri handayani (Ki Hajar Dewantoro). Nasihat ini sepertinya diartikan dalam ruang lingkup sempit oleh bangsa Indonesia. Biasanya hanya dipergunakan dalam urusan guru, bahkan lebih sempit lagi untuk guru yang sedang mengajar di kelas.

Padahal kalau kita semua mencerna secara mendalam redaksi nasihat itu, cankupannya amat-sangat luas. Termasuk juga dalam urusan mencipta, mengerak, dan menata segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan pendanaan pendidikan. Menciptakan dan penuh kemandirian, menggerakkkan dana pendidikan pada gerakan yang sihat dan tepat, dan menata serta me-manage dana pendidikan secara jujur dan tepat sasaran.

Di Indonesia ini bangsanya pasti masih banyak yang miskin tapi tidak sediki jumlah orang kayanya, dan banyak juga warga bangsanya yang memiliki jiwa mandiri dan bebas yang penuh semangat entrepreneurship. Jika ketiga-tiganya ini diseimbangkan dalam satu ikatan kebersamaan menghadapi problem pendidikan Indonesia modern, pasti akan dahsyat hasilnya.

Kepada kelompok bebas, mandiri, dan berjiwa entrepreneurship mari, kita mulai melangkah memberi keberpihakan berupa pertolongan yang real bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tergolng miskin agar mereka selamat dan terbebas dari kobodohan, sebab jika itu tidak dapat dengan segera kita lakukan, sebagian kecil orang kaya Indonesia juga menjadi tidak selamat. John F. Kennedy pernah mngingatkan bangsanya : "Jika kelompok masyarakat bebas tidak dapat menolong sebagian besar orang miskin, maka mereka pun tidak dapat menyelamatkan sebagian kecil orang kaya".

Kita masih berkeyakinan dapat menjalankan berbagai pesan tokoh kemanusiaan yang telah disampaikan tadi, sekalipun kita bergelimang hidup di tengah-tengah zaman Indonesia yang serba nyungsang, yakni zaman, Ing ngarso mangun karso, ing madyo numpuk bondo, tutwuri hanjegali. Kalau dibahasakan dalam bahasa halusnya adalah zaman bid'ah dari pesan leluhurnya yang agung.

Menciptakan Subsidi Silang Pendidikan

Skema subsidi silang ini diciptakan untuk menanggulangi dana pendidikan, dilaksanakan dalam bentuk operasional pendidikan, didapat dari orang berada (kaya) dan diperuntukkan bagi kelompok tidak mampu (miskin). Skema ini diciptakan untuk memosisikan derajat orang kaya dalam posisi terhormat.

Caranya, yayasan (badan usaha pelaksana pedidikan swasta) menyelenggarakan pendidikan untuk orang kaya dengan fasilitas pendidikan yang memadai, sesuai dengan hajat dan selera pengguna pendidikan tersebut. Darinya didapat imbalan jasa penyelenggaraan yang seimbang.

Dari jasa penyelenggaraan yang diperoleh, sebagian (10-20%) diperuntukkan sebagi subsidi penyelenggaraan dan pembangunan pendidikan Indonesia modern di desa-desa miskin. Pelaksanaannya tetap dalam manajemen yayasan tersebut, yakni swasta, agar akselerasinya dapat terlaksana dan jauh dari kesimpang-siuran birokrasi.

Pelaksanaan pendidikan excellent untuk masyarakat kaya tersebut diselenggarakan di berbagai tempat yang dapat dijangkau atau di –kota-kota yang biasanya banyak terdapat orang kaya. Kita yakin 1% dari setiap penduduk kota di Indonesia terdiri dari orang kaya yang mau merespon skema subsidi silang pendidikan tersebut.

Kalau perlu ukuran sekolah yang diselenggarakan untuk keluarga kaya tersebut yang setinggi-tingginya mutu maupun kualitasnya dan juga mewah penampilannya. Toh tidak akan menimbulkan kecemburuan social, sebab dari situ akan turu dana pendidikan bagi keluarga miskin. Ini merupakan salah satu jalan yang dapat menjembatani jauhnya jarak antara masyarakat kaya dan miskin yang bersistem.

Dilaksanakan dengan kesantunan social oleh kaum kaya dan keberadaan social yang dilakukan oleh kaum miskin. Jika ada yayasan yang sanggup melaksanakannya, sangat boleh jadi akan menjadi trend baru yang cukup beradab dalam memecahkan problem pendidikan Indonesia modern yang didambakan oleh warga bangsa Indonesia.

Dengan semangat otonomi daerah, skema subsidi silang pendidikan ini dapat dijadikan model baru industri (industri pendidikan). Para investor akan dapat memasuki domain usaha yang sangat terhormat, yang tidak hanya berorientasi pada profit oriented, namun masuk dalam domain usaha yang profit dan social oriented, terhormat di sisi umat manusia dan terpuji di sisi Tuhan YME. Dan karenannya akan tercipta persaingan sihat dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia modern antara pendidikan yang dilaksanakan oleh swasta bertanggung jawab dan pendidikan negeri yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam mencapai Indonesia kuat.

Jika Indonesia kuat dalam pendidikannya, akan banyak umat manusia yang merasa gembira, banyak Negara yang merasa tenteram, sebab Indonesia adalah bangsa besar, rakyatnya sangat banyak, empat besar penduduk dunia. Jika Indonesia terdidik dengan baik, Indonesia akan menjadi aman, duniapun akan merasakan keamanan yang ditimbulkan oleh keamanan Indonesia. Jika sebaliknya, maka banyak warga dunia yang menjadi was-was bahkan negeri terhadap Indonesia. Alangkah nistanya bila hal yang negative itu terjadi, semoga Tuhan melalui usaha bangsa Indonesia yang sungguh-sungguh, menjauhkan dari hal yang mengerikan itu.

Bagaimana halnya dengan pelaksanaan pendidikan yang mendapat subsidi silang tersebut? Penyelenggaraannya dilaksanakan di sentra-sentra penduduk miskin, sarana prasarananya dibangun dan disediakan selaras dengan ukuran pendidikan modern, yang dapat mengangkat kecerdasan, kesihatan, kemandirian, dan lain-lain persyaratan untuk pendidikan modern, dari tingkat daar samapai menengah atas. Sehingga dalam tempo yang jelas pendidikan di pedesaan, citra kualitasnya dapat dijembatani persamaannya dengan pendidikan yang maju di kota-kota.

Karenannya pendidikan masyarkat miskin (kebanyakan desa) pencapaiannya minimal sampai kepada kelas 12 (berpendidikan normal 12 tahun). Oleh karenanya kerawanan bangsa dalam bentuk kebodohan dan kemiskinan setapak demi setapak dapat dieleminir, yang selanjutnya generasi baru Indonesia akan dapat menguasai kunci untuk menyambut dan membuka masa depan yang menjanjikan.

Citra Pendidikan Indonesia Modern

Pendidikan dan sekolah akan sangat mempengaruhi pada penmbentukan perilaku peserta didik dan jalannya proses pendidikan formal. Karenanya, pendidikan (sekolah) Indonesia modern kini dan mendatang harus selalu up to date dan berkualitas, tidak boleh asal-asalan dalam segala segi. Sekolah Indonesia harus memiliki citra / image sebagaimana image yang dimiliki oleh sekolah berkualitas antar bangsa. Image sekolah yang berkualitas biasanya selalu menampilkan school-image sebagai berikut :

a. School as a factory (sekolah laksana perusahaan). Metafor sekolah laksana perusahaan, menekankan suatu image pada teori pendidikan dan praktek. Metafor perusahaan, Karena sifatnya memproduksi missal, teknik jaringan pemasangan (assembly) dan quality control. Kepala Sekolah sebagai manajer, guru sebagai karyawan dan murid sebagai produk yang harus digerakkan dan dibentuk.

b. School as a hospital (sekolah laksana rumah sihat). Metafor a hospital untuk sekolah adalah dalam membedakan manajemen dan putusan-putusan professional, laksana hospital dalam pengajaran diagnosis perspektif, pengajaran individu dan sederet tes serta pendekatan yang bersifat klinik.

c. School as a log (sekolah laksana log), mengacu kepada bentuk sekolah klasik di mana dasar-dasar yang ditekankan, guru dibri penghormatan dan status yang tinggi, diseleksi secara cermat dan ditunjang dengan materi dan sumber-sumber lainnya.

d. School as family (sekolah laksana keluarga), menunjukkan bahwa murid harus dilayani / diperlakukan sebagai individu yang utuh, seluruh anak didik harus dididik dan mereka tidak dipaksa sebelum mereka siap. Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antara guru dan murid adalah paling penting dalam kegiatan pendidikan di sekolah.

e. School as a war zone (sekolah laksana zona perang), metaphor ini menggambarkan antara konflik dan damai dan aksi agresif meruoakan bagian yang diharapkan dalam kehidupan sekolah dan kelas. Kalah dan menang lebih penting dari pada cooperation adan accommodation.

f. School as a knowledge work organization (sekolah sebagai organisasi kerja ilmu pengetahuan). Sekolah sebagai tempat kerja merupakan pandangan yang paling banyak dianut. Dikuatkan dengan adanya berbagai pekerjaan tugas dari sekolah, berupa pekerjaan rumah, pekerjaan kelas, dan pekerjaan lainnya. Karenanya, sekolah sebagai organisasi kerja ilmu pengetahuan. Peserta didik ke depan akan menjadi pekerja ilmu pengetahuan (knowledge workers).

Mencipta / mewujudkan image atau citra pendidikan Indonesia modern seperti yang diurai tadi, merupakan usaha besar yang wajib ditempuh oleh seluruh kekuatan warga bangsa Indonesia tanpa terkecuali, pemerintah, swasta, pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin. Dengan image pendidikan seperti itu, maka sekolah dan pendidikan Indonesia modern merupakan proses pendidikan terbukt yang mudah dimasuki dan menerima ide-ide dan konsep-konsep baru yang selalu muncul.

Guru, murid, masyarakat, dan system menjadi terpadu. Sejarah pendidikan Indonesia selama ini belum mempersiapkan siswa untuk berpikir dan bersikap mandiri yang kreatif, seperti image sekolah yang diuraikan di atas. Yang dikembangkan selalu mengarah kepada penguasaan sesuatu yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai yang setia dan patuh, bukan pengembangan kecerdasan, kepekaan, dan kesadaran sebagai entrepereneur.

Mari semua itu kita jadikan masa lalu dan kita tinggalkan. Sebab bangsa yang tidak sanggup dan siap meninggalkan masa lalunya, itu merupakan pertanda bahwa bangsa tersebut tidak berkeinginan untuk menampilkan generasi yang kuat, berketahanan fisik, berkecerdasan piker, dan berkecepatan reaksi.

Mari kita tinggalkan paradigma pendidikan Indonesia masa lalu, dan kita persiapkan bangsa ini melalui pendidikan, agar mreka mampu menjadi leader, pemimpin yang sesuai dengan ciri kepe-mimpinan abad ini minimal untuk memimpin dirinya sendiri. Bangsa Indonesia melalui pendidikan Indonesia modern harus mampu mengantarkan generasi produk pendidikan yang bercirikan abad 21.

a. Systems thinker (pemikir system-sistem) yang mampu manggabungkan antara isu, kejadian, dan data secara utuh / terpadu.
b. Change agent (agen perubahan) berkemampuan mengembangkan pemahaman dan memiliki kompeten tinggi dalam menciptakan dan me-manage perubahan (change) bagi kehidupan bangsa agar dapat bertahan hidup.
c. Innovator anda risk taker, yakni pembaruan dan berani mengambil keputusan, terbuka terhadap perspektif yang luas dan kemungkinan-kemungkinan yang esensial dalam menentukan tren dan menggerakkan pilihan.
d. Servan and steward, kemampuan dan berupaya untuk meningkatkan pelayanan kepada yang lain, pendekatan holistic untuk bekerja, memiliki a sense of community dan berkemampuan membuat keputusan bersama.
e. Polychronic coordinator, yang mampu untuk dapat mengoordinasikan banyak hal dalam waktu yang sama yang harus dapat bekerja bersama dengan orang lain.
f. Instructur, Coach and Mentor, yang mampu tampil sebagai pembantu orang lain untuk belajar, menciptakan banyak pendekatan yang beraneka, sebagai instruktur, pelatih dan mentor (penasihat yang bijak).
g. Visionary and Vision Builder, yang mampu membantu membangun visi bangsa / negaranya dan memberi inspiransi bagi segenap lapisan masyarakat yang diposisikan sebagai pelanggan dan kolega.

Ukuran Minimal Pencapaian

Tujuh karakteristik generasi Indonesia produk pendidikan Indonesia modern seperti telah diuraikan itu mesti ada ukuran minimal pencapaiannya dalam waktu tertentu. Untuk itu semua, mari kita buat kesepakatan bersama, dalam mengantar generasi baru Indonesia modern ini minimal untuk kurun waktu 2020 yang menjelang dating besok pagi nan tak terlalu lama lagi. Kalau boleh kesepakatan itu kita namakan Kesepakatan Pencapaian Minimal Pendidikan Indonesia Modern di Tahun 2020, yakni :

1. Menjelang tahun 2020 semua anak Indonesia umur sekolah tanpa kecuali, mesti telah
memasuki sekolah dengan segera.
2. Menjelang tahun 2020 tingkat tamatan SMA menjadi terus bertambah sampai 95%.
3. Menjelang tahun 2020. Pelajar Indonesia tahun ke 4, 8, 12 telah berkemampuan
mendemontrasikan kompetensi mereka dalam berbagai materi subyek yang sangat
menantang, termasuk Bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Mandarin, Matematika, Sains,
Sejarah, Geografi. Setiap lembaga pendidikan Indonesia modern dapat menjamin bahwa
setiap pelajar mampu belajar menggunakan pemikiran mereka dengan baik dan telah
dipersiapkan sebagai warga Negara yang bertanggung-jawab, belajar lebih lanjut (further-
learning), sebagai pekerja produktif dalam ekonomi modern.
4. Menjelang tahun 2020, pelajar-pelajar Indonesia modern dapat menjadi The First in the world dalam pencapaian Sains dan Matematik.
5. Menjelang tahun 2020, setiap manusia dewasa Indonesia modern telah melek huruf semua tingkatan, dan terus berproses mencapai / menguasai knowledge dan berabgai skill yang sangat penting, untuk berkompetisi dalam global ekonomi, serta terus bergerak dan berlatih untuk masalah kebaikan dan kebenaran juga tanggung-jawab sebagai warga negara.
6. Menjelang tahun 2020, setiap lembaga pendidikan Indonesia modern harus terbebas dari narkoba, berdisiplin tinggi dalam tatanan lingkungan yang kondusif yang cinta belajar.
7. Semua produk pendidikan Indonesia modern sudah siap masuk dalam tatanan hidup dalam Zone of Peace and Democracy.

Tahun 2020, bukan waktu yang lama, namun juga bukan waktu yang singkat, jika kita berkiprah untuk mencapai ukuran minimal yang kita sepakati itu semua dengan seizing Allah dan amal perbuatan nyata kita, semuanya pasti dapat dicapai.

Atas namamu ya Allah, kami semua berikrar untuk memajukan bangsa dan Negara karunia-Mu, membangun melalui pendidikan, beri kekuatan kepada kami, kepada bangsa Indonesia dan umat manusia semua yang mencintai perjuangan menempuh jalan pendidikan dalam usaha menyebarkan pengetahuan yang Engkau telah contohkan dan anjurkan. Amin.
(Dikutip dari Majalah Berita Indonesia -14/2006). (Lihat Bagian ke 1)
Bacaan Selanjutnya!