Saturday, January 13, 2007

Khutbah Ied Al Adha 1427 H

Semangat Berkurban Sebagai Konsekuensi
Iman dan Takwa kepada Allah

Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang mengajak umat Islam untuk memaknai berkurban sebagai kesanggupan menunda kenikmatan kecil dan sesaat, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. “Kita bersedia bersusah payah karena hanya dengan susah payah suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana,“ kata Syaykh dalam khutbah Ied Al-Adha 1427H (31/12) di Masjid Al-Hayat, kampus Al-Zaytun, Desa Mekarjaya Indramayu.

Menurut Syaykh, semangat berkurban adalah konsekuensi iman dan takwa kepada Allah. Sebab, takwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan akan membuat manusia berkemampuan melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.

Khusus dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara maupun berbangsa di Indonesia Syaykh mengedepankan nalurinya sebagai pemuka agama dan pendidikan, mengatakan tampaknya Allah menarik kemakmuran lahiriyahnya dan umat-Nya yang bernama bangsa Indonesia. “Mudah-mudahan yang ditarik tidak termasuk kemakmuran bathiniyah“ dan menggantikannya dengan berbagai bentuk krisis (kesulitan-kesulitan). Namun menyarankan hal ini harus disikapi dengan positif, agar dengan segala yang terjadi ini, bangsa Indonesia mengusahakan dengan gigih mencari perbaikan.

Dan harapan itu bukanlah seperti layang-layang yang tergantung kapda angin yang selalu berubah-ubah, melainkan seperti sauh (jangkar) jiwa yang tetap mantap dan tidak berubah, menembus jauh ke dalam dunia abadi yang tidak nampak. Oleh keimanan, orang beriman yakin bahwa hal-hal yang ia harapkan akan menjadi kenyataan, dan harapannya tidak akan mengecewakan dirinya.

Berikut ini kutipan khutbah Ied Al Adha Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang : Kita bangsa Indonesia dalam situasi sekarang ini (dilanda krisis multidimensi) harus terus mencipta dan berbuat apapun yang menarik manusia mau berbut baik untuk kebaikan manusia dan bangsa Indonesia.

Pelaksanaan Iedul Qurban tahun ini bertepatan dengan tibanya penghujung tahun Masehi 2006 dan datangnya tahun baru 2007. Kita maknai dua hari raya dalam Islam (Iedul Fitri dan Iedul Adha) dengan sikap dan tindakan yang kontekstual dengan makna dua hari raya itu sendiri yakni : Iedul Fitri adalah suatu hari dimana para manusia (muslim) aktif dan sadar menunaikan zakat fitra; dan Iedul Adha dimana manusia (muslim) dengan penuh kesadaran menyembelih binatang kurban sebagai pertanda kesanggupan berkurban untuk yang lebih besar.

Kita diajari untuk berkurban dengan menyembelih domba (kambing) atau sapi di Iedul Adha, sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, kurban bukanlah sesajen, sebab dalam Islam tidak mengenal sesajen. Dalam pelaksanaan ritual kurban ini kita semestinya ingat dan sadar, bahwa hal itu adalah tindakan commemorative (memperingati) peristiwa masa lalu berkenaan dengan Nabi Ibrahim a.s. ketika akan melaksanakan perintah Tuhan menyembelih putranya (Ismail) yang diganti dengan binatang.

Mengapa Berkurban?

Mari kita telaah lebih mendalam tentang kurban itu. Mengapa kita dituntut untuk memiliki semangat berkurban yang setinggi-tingginya. Mengapa kita diperintahkan untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, dan mempelajari semangat pengorbanan mereka?

Kurban adalah perkataan Arab, yang artinya adalah “Pendekatan“, yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka, melakukan kurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Tuhan yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan hidup. Sebab, kita berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya.

Oleh karena itu, dalam praktek, dalam bentuknya yang kongkrit, tindakan berkurban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan yang menunjukkan bahwa kita tidak muda tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.

Oleh karena itu, makna berkurban ialah bahwa dalam hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami, bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan dan jerih payah kita.

Maka kita maknai, berkurban ialah, bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah karena hanya dengan susah payah suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Semangat berkurban adalah konsekuensi iman dan takwa kepada Allah. Sebab, takwa itu jika dijalankan dnegan ketulusan dan kesungguhan akan membuat kita berkemampuan melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.

Dalam setiap bentuk perintah dan ajaran Illahi harapan-Nya setiap individu manusia menjadi bertakwa kepada-Nya. Dan manusia bertakwa selalu diingatkan agar membiasakan diri mempersiapkan masa depan. Maka kurang bertakwalah seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia bangga dengan hidup untuk kini dan sekarang ini, atau dalam ukuran yang lebih besar di dunia ini dan di dalam hidup ini saja. Kelemahan manusia yang paling pokok adalah pandangannya yang pendek, tidak jauh ke depan. Karenanya, manusia tidak tahan menderita dan menerima cobaan, tidak tahan memikul beban. Dan selanjutnya, tidak tahan melakukan jerih payah sementara karena mengira jerih payah itu suatu kesengsaraan dan menyangka bahwa kerja keras itu sesusahan. Padahal, justru di balik jerih payahnya itu akan didapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan sukses. Justru di dalam pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Allah yang amat berharga ini. Dan dalam ajaran Ilahi tentang kurban ini, merupakan pelajaran agar manusia tidak lagi mengorbankan sesama manusia.

Pengangguran Merupakan Bencana

Ajaran Ilahi manusia tidak boleh mengorbankan sesama manusia karena keberadaan manusia dijunjung tinggi dan dihormati-Nya. Oleh sebab itu, mestinya seipa individu manusia, tentunya kita semua ini, sanggup mawas diri dan bertanya pada diri masing-masing, keberadaaan yang seperti apa sehingga menjadi terhormat dan tetap dihormati dan dimuliakan oleh-Nya? Dalam filsafat modern ada ungkapan : “Aku berpikir maka aku ada“. Sepanjang ajaran Ilahi, kerja adalah hakekat keberadaan manusia. Maka semangatnya mengajarkan : “Aku bekerja maka aku ada“. Karena itu, manusia diperintahkan-Nya : Bekerjalah kamu semua maka Allah, rasul-Nya, dan masyarakat beriman akan menyaksikan pekerjaanmu itu. Dan manusia tidak memperoleh sesuatu apapun kecuali apa yang ia usahakan (kerjakan). Dalam bekerja hendaknya kita tidak segan menghadapi kesulitan sebab setiap kesulitan tentu akan ditemukan kemudahan ditemukan kemudahan. Juga setiap kesempatan atau waktu luang digunakan untuk bekerja keras dan tetap berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, antara lain melalui kewaspadaan akhlak dan moral. Waktu luang tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa guna sebab pengangguran adalah bencana dan kerusakan.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa makna ritual dan simbolis kurban meluas ke dunia praktek dalam cara-cara yang penting. Baik konteks sosial maupun imajinasi individu, memainkan peran penting dalam menentukan rantang makna tema ini. Karenanya, dalam perkembangannya lebih lanjut tidak ada yang mampu membendung maupun membatasi pemaknaan nilai dan pelaksanaan ibadah kurban ini, siapapun manusianya dan apapun forum serta majelisnya. Keselamatan manusia hanya terletak pada kemenangan dari persaingan antara komponen spiritual dan material yang membentuk kepribadian dirinya disaksikan oleh keimanannya dan ketakwaannya, berbentuk penyerahan diri dan bersyukur kepada Tuhan-Nya, yang diungkapkan secara simbolis dan praktek dalam berbagai tahap daur kehidupannya.

Islam (muslim) menelusuri asal muasalnya ke panggilan Tuhan kepada Ibrahim : “Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu semua orang-orang muslim sejah dahulu, dan dalam zaman sekarang ini.“ (Q.S. 22:78).

Ibrahim (ungkapan bahasa Arab), Abram atau Abraham (bahasa Ibrani) merupakan leluhur bangas (bangsa-bangsa) di dunia sekarang ini. Imannya sangat teguh, dikenal sebagai khalilullah. Keturunannya menyebar melalui putra-putranya, Ismail dan Ishak. Hidupnya dijadikan teladan iman terhadap Tuhan oleh para pengikut Yahudi, Kristen dan Islam. Ibrahim (Abraham) berarti bapak sejumlah besar bangsa. Iman Ibrahim merupakan tema yang mantap untuk nasihat dan diskusi. Iman Ibrahim adalah model iman yang benar, berupa ketaatan mendalam dan universal kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Kekal, Yang Maha Tinggi, Yang Empunya langit dan bumi, Hakim Yang Adil atas segala bangsa dan segenap umat manusia. Baginya, Tuhan adalah adil dan bijaksana, benar dan adil, murah hati dan pengampun. Iman Ibrahim dicatat sebagai teladan iman dalam perbuatan. Dari berbagai cobaan yang dihadapkan kepadanya sebagai ujian Tuhan, dapat ia selesaikan dengan seksama sehingga kehormatan besar diberikan Allah kepada-Nya, anugerah Illahi untuk Ibrahim adalah Imamah (jabatan Iman) untuk segala manusia.

Sebagai nabi besar yang menerima perjanjian Tuhan, Ibarhim memainkan peran yang uni dalam tradisi agama-agama samawi, baik Yahudi, Nasrani maupun Islam.

Keimanan para nabi dan orang-orang yang benar, patut terus menerus dijadikan teladan dalam kehidupan ini. Pada hakikatnya, hidup kita ini adalah sebagai persembahan (ibadat) kepada Tuhan, dalam bentuk membawa diri mencapai keridlaan-Nya, dan membawa diri dalam kaitan interaksi dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Untuk itu, ada cara yang benar bagi seseorang untuk membawa diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Dalam perkara ini kita mengimani bahwa hak Allah mengungkapkannya (cara yang benar) itu dalam ungkapan peraturan yang diberikan-Nya untuk umat manusia. Karena ukuran tertinggi dalam hidup manusia diturunkan dari Tuhan. Adil dan benar segala jalan Tuhan. Tuhan walaupun kaya akan kebenaran, Ia tidak penindas, karena tindakan Tuhan yang senantiasa bertindak sesuai dengan ukuran-Nya, yang senantiasa bertindak sesuai dengan ukuran-Nya, yang senantiasa sempurna, benar dan adil. Keadilan Tuhan dapat menggambarkan pemeliharaan-Nya akan hidup manusia dan makhluk lainnya dan Allah selalu benar dan memberikan apa yang lurus.

Susila Ukuran Prilaku

Allah yang Maha Benar dan Adil, menjabarkan susila yang dipakai-Nya untuk mengukur tindak-tanduk manusia, agar supaya hidup manusia sungguh-sungguh sesuai dengan susila yang dikehendaki-Nya. Keadilan Tuhan dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan pembelaan-Nya bagi orang-orang yang dianggap layak menerimanya. Tuhan Maha Adil karena memberikan keselamatan bagi hamba-Nya yang menginginkannya, dan Tuhan Maha Adil karena pemberi ampun dosa-dosa umat manusia. Kemudian Tuhan Maha Benar. Kebenarannya sangat mutlak. Sedangkan kebenaran yang dimilki manusia sekalipun berserikat dalam suatu forum maupun majelis, sama sekali tidak lengkap. Karenanya keadil-benaran manusia mustahil cukup untuk memenuhi ukuran Allah. Karenanya keadilan dan kebenaran mesti bersumber pada Tuhan.

Jika kebenaran dan keadilan bersumber kepada/dari Tuhan, maka sesungguhnya akbiatnya adalah baik dan kebagikan, yang dapat memberi kepuasan dan kebahagiaan yang berdampak kepada kepuasan estetika maupun moral etika. Baik dan kebaikan selalu bertalian dengan sesuatu yang berguna, bermutu tinggi dan produktif. Tapi dalam kaitan pengertian secara moral dan spiritual, maka benar-benar teologis.

Allah Maha Baik, karena secara moral Dia adalah Maha Sempurna, Maha Agung dalam kemurahan hati. Pengakuan bahwa Allah Maha Baik adalah harus menjadi alas dasar dari semua pemikiran kita tentang kebaikan moral. Baik, pertama-tama dan terutama bermakna Allah adalah Baik, kemudian apa yang Ia buat, ciptakan, perintahkan, dan berikan, semuanya adalah baik. Dan juga apa yang Ia terima sebagai baik dalam kehidupan makhluk-makhluk-Nya. Untuk hal ini, Allah adalah Penilai dan Hakim, sebab Ia adalah Ukuran dan Standar dari kebaikan segala makhluk. Manusia adalah baik, dan benda-benda adalah baik, hanya jika dan selama mereka sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, celakalah mereka yang menyebut kejahatan adalah baik dan kebaikan adalah jahat.

Perbuatan-perbuatan Allah adalah baik karena perbuatan-perbuatan-Nya itu menyatakan sifat-sifat kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Allah melihat dan menyatakan segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Seluruh alam semesta yang adalah hasil karya Allah, adalah baik.

Pemberian-pemberian Allah (karunia Allah) adalah baik; karena pemberian-pemberian itu mengungkapkan kemurahan hati-Nya, dan diperuntukkan bagi kesejahteraan dan keselamatan sipenerima. Dalam keduniaan, baik diartikan; bermanfaat, berguna, menguntungkan, maka keyakinan orang beriman menggabungkan; bukan saja segala pemberian Allah adalah baik dalam tujuan mapun dampak-dampaknya, tapi juga bahwa segala yang baik pada hakikatnya dalah pemberian Allah.

Allah berbuat baik bagi semua orang yang berada dalam pemeliharaan-Nya. Janji Allah untuk berbuat baik kepada umat-Nya adalah janji berupa barkat yang berlipat ganda. Umat-Nya yang setia tetap percaya bahwa pada waktu yang ditentukan Allah, segala sesuatu yang benar-benar baik bagi mereka menjadi milik mereka.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara maupun berbangsa seperti kita sebagai bagnsa Indonesia nampaknya Allah menarik kemakmuran lahiriyah dan ummat-Nya yang bernama bangsa Indonesia (mudah-mudahan tidak termasuk kemakmuran batiniyah yang ditarik) dan menggantikannya dengan berbagai bentuk krisis (kesulitan-kesulitan). Dalam hal ini, harus disikapi dengan positif, agar dengan segala yang terjadi ini, bangsa Indonesia mengusahakan dengan gigih mencari perbaikan.

Kita bangsa Indonesia dalam situasi sekarang ini (dilanda krisis multidimensi) harus terus mencipta dan berbuat apapun yang menarik manusia mau berbaut baik untuk kebaikan manusia dan bangsa Indonesia. Apabila sebagai bangsa Indonesia kita dapat melakukannya, maka itu artinya kita dapat datang dan tampil lebih dekat kepada Allah, dan kedekatan kita kepada Allah dengan berbagai kebaikan yang kita tampilkan justru akan kembali untuk kebaikan kita bersama. Bangsa Indonesia (sekali lagi) harus dapat melihat dan menyikapi segala keadaan yang dialaminya, betapapun tidak diinginkannya; sebab jika kesemua yang sedang menimpa bangsa ini kita indahkan dengan benar, pasti akan mendatangkan kekuatan dan keuntungan bagi bangsa ini.

Perintah-perintah Allah adalah baik karena perintah-perintah itu mengungkapkan kesempurnaan moral dari sifat-Nya dan, dengan menunjukkan kepada kita bagaimana melakukan hal-hal yang berkenaan kepada-Nya, perintah-perintah itu menuntun kita kepada jalan untuk mendapatkan anugerah maupun karunia-Nya. Cita-cita moral dan tuntutan moral yang terkandung dalam hukum-Nya, adalah untuk melakukan dan melaksanakan kehendak Allah. Dalam dunia yang tanpa hukum dan ridla Allah, akan terus terjadi kejahatan yang tak terkendali. Namun dalam menghadapi kejahatan, umat maunusia diperintah oleh-Nya untuk mencari dengan sikap dan tindakannya tetap berpegang teguh pada kebaikan yang terbaik.

Ketaatan kepada perintah-perintah Allah adalah baik, karena Allah berkenan dan menerima hal itu, dan mereka yang melakukan ketaatan itu akan memperoleh keuntungan daripadanya. Karenanya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik mestinya menjadi tugas wajib bagi orang beriman sepanjang hidupnya; karena untuk itulah Allah telah menciptakan dan menyelamatkannya. Orang beriman dipanggil untuk siap sedia mengerjakan setiap pekerjaan yang baik yang dapat ia lakukan, sehingga celakalah orang yang mengaku beriman tapi ia tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik. Sesungguhnya perbuatan dan pekerjaan-pekerjaan yang baik adalah perhiasan atau dandanan orang-orang yang beriman. Allah selalu berkenan atas perbuatan-perbuatan tersebut.

Pekerjaan-pekerjaan yang baik adalah baik dilihat dari tiga sudut perbuatan-perbuatan itu dilakukan : (i) menurut patokan yang benar (hukum yang benar); (ii) berdasarkan alasan (motif) yang benar, dan (iii) dengan tujuan ayng benar (ibtigha ‚mardlatillah). Pekerjaan-pekerjaan itu berupa mencari mardlatillah dan sesama umat manusia. Karenanya orang-orang yang sungguh-sungguh baik adalah orang yang benar; sebab sebagaimana orang yang benar itu selalu melaksanakan makna yang tersirat dari apa yang tersurat dalam perintah-perintah Ilahi, demikian juga orang yang baik itu melakukan yang tersurat bukan hanya sebaliknya (yang tersirat). Dengan kata lain, kebenaran dan kebaikan itu sama artinya dengan kebaikan dan kebenaran. Jadi, pekerjaan-pekerjaan yang baik adalah pekerjaan-pekerjaan yang menumbuhkan cinta dan kasih sayang kepada siapapun yang dikasihi. Cinta dan kasih sayang sesama manusia, dinyatakan dengan berbuat baik kepada mereka, dengan memberikan sebagian pendapatan kita untuk meringankan beban mereka, dan mengusahakan kesejahteraan mereka dengan cara yang paling memungkinkan. Sedangkan cinta dan kasih sayang kita kepada Allah adalah dinyatakan dalam bentuk penyerahan dan pemberian pribadi secara sukarela, betapa mahalpun harganya. Dalam kehidupan keseharian manusia, untuk menggambarkan seseorang itu “baik“ adalah dengan ungkapan; orang itu baik hati atau murah hati.

Jadi, orang-orang beriman percaya, orang yang berupaya memenuhi dan menegakkan ajaran atau norma-norma Ilahi adalah orang yang “mempunyai hati nurani yang murni“; bukan karena ia menganggap dirinya sempurna tanpa dosa, tapi karena ia tahu bahwa hubungan pribadinya dengan Tuhannya adalah benar, didasarkan pada iman yang benar. Orang beriman sedemikian itu akan dilihat oleh sesama manusia (sesamanya) sebagai orang yang baik.

Ciptaan Allah yang Mahal

Setelah diurai serta sedikit tentang Nilai-nilai Dasar Keadilan, Kebenaran dan Kebaikan, ada baiknya dalam kesempatan ini dijelaskan tentang; perkara yang berlawanan dari itu semua, yaitu : jahat dan kejahatan.

Ungkapan kata “rasya“ dalam bahasa Ibrani mempunyai arti “merusak“ atau “meremukan“ sesuatu shingga ia menjadi tak berharga lagi, tidak menyenangkan, tidak enak dan menjijikan. Kata itu mencakup dalam perbuatan dan segala akibatnya. Dalam bahasa lain, diartikan sebagai tidak mengenal hukum, dan durhaka, juga diterjamahkan sebagai kebusukan dan keburukan.

Allah terpisah dari segala yang jahat, dan bagaimanapun tak dapat dianggap bertanggung jawab atas kejahatan. Kejahatan itu timbul dari keinginan hati seseorang yang berdosa. Kejahatan adalah buah dari hati yang jungkir balik, menyerahnya seseorang kepada bulan-bulan hatinya yang jahat, sedangkan pusat kejahatan adalah dalam hati manusia dan kejahatan hati terus bertambah, sedangkan sifatnya adalah menular. Dan hukuman pasti akan menimpa orang yang jahat, langsung maupun tidak langsung. Namun orang yang tumbuh dalam kehidupan iman dapat mengalahkan segala yang jahat; perisai iman dan orang beriman ialah pertahanan yang teguh melawan segala serangan kejahatan. Kejahatan selalu berdampingan dengan kehidupan umat manusia, karenanya manusia memerlukan bimbingan untuk mengikisnya. Menghadapi kejahatan mansuai selalu seperti kanak-kanak yang terus membutuhkan bimbingan, dan bagi seorang yang beriman yang merdeka, justru kemerdaan hidupnya itu dicerminkan dalam menjunjung tinggi hukum.

Kejahatan dan hukum dapat diterangkan baik dalam yuridis maupun religius. Arti asasi dari kejahatan, ialah dengan sadar berbuat dengan cara yang bengkok dan salah, yakni pelanggaran terhadap umat manusia dan dosa terhadap Allah dalam bentuk penentangan terhadap hukum, yakni pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dengan perbuatan-perbuatan pribadi. Sedangkan hukum (sipil dan kriminal) dibuat guna melindungi perseorangan dan masyarakat terhadap ketidak adilan dalam satu sistem hukum teoritis yang disusun oleh yang berkompeten untuknya.
Hidup manusia dan keberadaannya sebagai ciptaan Allah, sebagai sesuatu yang mahal, karenanya kejahatan terhadap sesama manusia senantiasa dipandang sebagai kejahatan terhadap Tuhan, dan tiap pelanggaran dianggap sebagai pelanggaran terhadap Allah. Namun walau bagaimanapun hukum tidaklah meniadakan dosa maupun kejahatan itu sendiri. Namun hukum itu sendiri bermaksud untuk menahan maupun memperkecil pelanggaran dengan mengatur hukuman-hukumannya, agar hidup manusia yang mahal itu dapat diselamatkan. Tiap hidup yang tidak diselamatkan oleh hukum dan keadilan Tuhan akan selalu berdosa dalam tabiatnya dan tercela adanya.

Karenanya, menjadi jelas bahwa kejahatan dan hukuman bukan hanya diikat dengan ilmu hukum biasa, tapi juga dengan yang Ilahi. Kejahatan yang dilakukan terhadap manusia atau miliknya menjadi kejahatan terhadap Allah, dan harus dihukum baik oleh yang berkuasa (penegak hukum dalam suatu negara) atau oleh Allah. Pelanggaran terhadap keagamaan harus juga dihukum oleh Allah. Cara hidup yang jelek ditolak dan tidak disukai oleh Allah dan dihukum.

Hukum yang terbesar dalam pandangan orang bijak bestari mempunyai arti sebuah ungkapan : Cintailah Tuhanmu dengan segenap hatimu, yaitu dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan segenap kekuatanmu.

Tatkala kita berpikir dan membicarakan tentang manusia, adalah manusia dengan segala dan keseluruhan sifatnya, jasmani, intelek dan jiwa, sebagai satu kesatuan, yang hidupnya ditentukan oleh detak jantungnya, dan bergeraknya diperintah oleh akal hatinya, dan akal hati ini pula yang membentuk seseorang adalah manusia atau binatang.

Perkataan “hati“ dalam kaitannya dengan manusia, pemakaiannya dikaitkan dengan : (a). Fisik-badaniyah atau yang bersifat perlambang; (b). Kepribadian, Kehidupan Batin, atau watak secara umum; (c). Keadaan emosional, dalam cakupan secaran luas, keadaan mabuk, suka cita maupun duka cita, gelisah, keberanian atau ketakutan dan cinta kasih; (d). Kegiatan-kegiatan intelek, perhatian, refleksi, ingatan, pengertian, keahlian teknik, dan lain-lain; (e). Kemauan atau maksud, hati dalam pengertian ini merupakan pemakaian paling khas. Hati adalah tempat berpikir dan tempat segala perasaan.

Kelembutan hati bagi setiap orang beriman sangatlah diperlukan, karena apabila hati membatu, maka hati demikian itu tidak akan mau tunduk kepada kehendak Tuhan. Istilah lain bagi hati yang membatu adalah hati yang berlemak atau tidak bersunat, yang gagal menanggapi kehendak Allah. Sedangkan hati yang lembut, jernih atau hati yang saliim, mampu merespon hukum-hukum Ilahi, tidak lagi yang tertulis dalam lembaran mushaf, justru mampu merespon dan menulisnya di dalam hati. Dan demikianlah hati sebagai sumber dari segala keinginan haru dijaga. Setiap pemimpin harus bertujuan menghantarkan hati segenap rakyatnya, setiap guru menghantarkan murid-muridnya kesemuanya menuju jalan kebenaran.

Di dalam pedalaman jiwa manusia, adalah sesuatu yang disebut hati nurani, yang selalu tampil sebagai pengetahuan pendamping, pengetahuan yang selalu bersama engan diri seseorang. Kedalaman hati nurani lebih daripada hanya „kesadaran“ atau „penginderaan“ karena hati nurani juga mencakup penghakiman (penghakiman moral) atas sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan sadar. Karenanya, penjahat akan selalu dihukum oleh suara hati (hati nurani) mereka sendiri, atau dihukum secara moral.

Pada waktu yang bersamaan, mungkin juga hati nurani (yaitu alat yang dengannya orang memahami tuntutan-tuntutan moral Allah, dan yang menyebabkan derita baginya jika ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan itu) tidak cukup ditertib atau diberi pengetahuan. Karena itu perlu sekali hati nurani dibina secara wajar dan sungguh-sungguh diberi penerangan dengan petunjuk Ilahi. Itulah sebabnya mengapa hati nurani dan iman tak dapat dipisahkan. Karenanya, hati nurani ialah alat bagi penghakiman moral karena penghakiman itu adalah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yang sudah berlangsung, atau yang sedang berlangsung, dan hati nurani yang bertindak sebagai saksi dan pawang yang baik dalam aspek negatif maupun positif dari kemuliaan perseorangan.

Keputusan yang Tepat

Dalam perjalanan hidup mansuai yang dilengkapi dengan hati nurani, juga sangat diperlukan kebajikan dan kebijakan intelektual, yaitu hikmat, yang senantiasa praktis dan bukan toritis. Yang pada dasarnya hikmat adalah kepintaran mencapai hasil, menyusun rencana yang benar untuk mencapai hasil yang dikehendaki. Tempat kedudukannya adalah hati, pusat keputusan moral dan intelektual. Mereka yang memilki kecakapan teknis dinamakan bijaksana. Para pemimpin secara khusus membutuhkan hikmat. Pada mereka bergantung keputusan-keputusan yang tepat dalam berbagai masalah sosial dan politik.

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang bijak yang memilki hikmat, berdiri dalam jajaran kelas yang khusus. Mereka mempunyai peranan penting atas berbagai masalah agama dan sosisal. Tugas mereka ialah merumuskan rencana-rencana yang dapat dilaksanakan, menyusun nasihat untuk meraih hidup yang berhasil.Namun hikmat dalam arti utuh dan mutlak hanyalah milik Allah. Hikmat-Nya mencakup bukan saja sempurnanya dan lengkapnya pengetahuan-Nya mengenai setiap segi bidang kehidupan tapi juga mencakup kedaulatan-Nya menggenapi tuntas apa yang ada dalam pikiran-Nya, dan yang mustahil dapat digagalkan. Alam semesta dan manusia adalah buah karya hikmat-Nya yang kreatif. Proses-proses alamiah dan historis di bawah kendali hikmat-Nya, meliputi pembedaan sempurna antara baik dan jahat dan merupakan dasar untuk pahala dan hukuman yang diperoleh orang benar dan orang jahat. Hikmat yang demikian mustahil tergarapi oleh umat manusia. Bahkan kebijakan yang berdasarkan kecakapan alamiah atau yang disaring dari pengalaman, adalah karunia Ilahi sebab kegiatan kreatif Allah sendirilah yang memungkinkan perolehan kebijaksanaan yang sedemikian itu.

Hikmat memperoleh pengertian yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang jalan-jalan Allah dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Gabungan antara pengertian dan ketaatan ini menghubungkan hikmat dengan pengetahuan akan Allah. Kebijakan yang tidak berlabuh dalam tuntutan dan ajaran Ilahi selalunya gagal. Karenanya orang yang benar-benar berhikmat ialah mereka yang kepadanya Allah memberikan hikmat sebagai karunia.

Harapan

Selanjutnya disampaikan tentang harapan. Nampaknya adalah suatu kebutuhan biologis apabila seseorang memandang ke masa depannya. Walaupun tidak ada dasar-dasar rasional toh manusia tetap berharap. Seorang petani membajak sawah ladangnya dengan harapan. Pekerja terasa manis dalam bekerja karena mempunyai harapan memperoleh upah kerja. Mereka yang tidak memilki harapan adalah dikarenakan jauh dari kedekatan diri kepada Ilahi. Dimana ada keyakinan akan Allah yang hidup, yang berprakarsa, dan bertindak, dan yang campur tangan dalam hidup manusia, serta percaya bahwa bahwa Ia akan menepati janji-janji-Nya, di situ harapan setiap orang beriman menjadi mungkin.

Harapan tidak dapat terlepas dari keimanan kepada Tuhan. Bagi orang beriman, kemurahan Tuhan tidak pernah akan kering. Tatkala yang terbaik masih juga belum kunjung tiba, harapan orang beriman semakin tumbuh. Dan harapan seorang yang beriman adalah pengharapan akan kemuliaan masa depan dan keselamatan di dalamnya. Dan harapan akan keselamatan ini adalah sebuah “topi baja“ , suatu bagian yang paling penting dari pakaian besi untuk berhadapan melawan kejahatan. Dan harapan itu bukanlah seperti layang-layang yang tergantung kepada angin yang selalu berubah-ubah, melainkan seperti sauh (jangkar) jiwa yang tetap mantap dan tidak berubah, menembus jauh ke dalam dunia abadi yang tidak nampak. Oleh keimanan orang beriman yakin bahwa hal-hal yang ia harapkan akan menjadi kenyataan, dan harapannya tidak akan mengecewakan dirinya.

Orang beriman diajarkan untuk tidak mencemaskan hari esok, karena hari esok adalah dalam tangan Ilahi yang penuh kasih sayang terhadap hamba-Nya. Allah akan selalu memberikan kemampuan kepada hamba-Nya yang beriman membuat hal-hal yang besar yang dapat membawa keselamatan dan kejayaan masa depan, dimana mereka akan turut mendapatkan kemuliaan-Nya. Dan sesungguhnya hanya Allahlah sumber pengharapan. Karenanya harapan tak mungkin ada tanpa iman. Dan oleh karenanya semestinya harapan kita semua mestilah terlepas dari pementingan diri sendiri. Mari kita tanamkan harapan kita untuk keselamatan bangsa dan negara kita, kesatuan dan persatuan negara dan bangsa kita, untuk kemakmuran dan kesejahteraan negara dan bangsa kita, untuk kecemerlangan generasi penerus bangsa dan negara kita. Sehingga bangsa kita ini mampu menegakkan kekuasaan yang telah ditegakkan oleh Allah sebagai cucuran rahmat-Nya kepada bangsa ini serta diberi kemampuan terhadap bangsa ini untuk mematuhi-Nya.

Kekuatan Iman

Ternyata seluruh wujud manusia ini dalam bentuk fisik maupun rohani, kekuatannya terletak pada kekuatan imannya kepada Ilahi. Keimanan yang berarti kepercayaan, kesetiaan, dan penyerahan diri dengan sempurna. Dalam hal ini Ibrahim A.S, kita sebut secara khusus. Seluruh hidupnya membuktikan, bahwa ia sungguh-sungguh percaya kepada Allah dengan iman yang mendalam.

Iman ialah sikap yang di dalamnya seseorang melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapat keselamatan, entah berupa kebajikan, kebaikan susila atau paa saja, kemudian sepenuhnya mengandalkan dan mengharap hanya kepada Allah. Apa yang harus kita lakukan supaya kita selamat? Jawabnya: Percaya dan imanlah kepada Allah, dan kita pasti selamat. Iman adalah satu-satunya jalan, manusia beroleh keselamatan.

Orang yang beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah, tentu akan bertindak selaras dengan iman itu. Dengan perkataan lain, kepercayaan yang sungguh bahwa apa yang dinyatakan Allah memang benar, akan nampak dalam iman yang benar pula. Iman jelas merupakan salah satu konsepsi penting dalam seluruh tuntunan Ilahi. Dimana-mana iman dituntut dan keutamaannya ditekankan. Iman membuang kepercayaan pada sumber-sumber kekuatan sendiri tanpa syarat kepada rahmat Allah. Iman berarti memegang teguh janji Allah, dengan memautkan seluruh kepercayaan kepada-Nya seutuhnya dan kepada kekuasaan-Nya demi kekuatan sehari-hari. Iman mencakup kepercayaan yang utuh dan ketaatan mutlak kepada Allah. (Sumber Majalah Berita Indonesia – 29/2007)
Bacaan Selanjutnya!