Sunday, December 03, 2006

INTERDEPENDENSI MERUPAKAN FITRAH KEHIDUPAN MANUSIA

Khotbah Iedul Al-Fitri 1427H di Kampus Al-Zaytun.
Oleh : Syaykh AS Panji Gumilang

Penciptaan manusia oleh Tuhan merupakan karya ciptaan-Nya yang terbaik secara rohaniah maupun jasmaniah. Manusia ditugasi mengisi bumi dan memakmurkannya, sebagai tempat mulia di alam semesta ini. Manusia adalah bagian dari alam ini. Manusia dan tanah adalah satu, sebab daripadanya manusia diciptakan. Manusia secara jasad adalah makhluk yang lemah, yang selalu bergantung pada belas kasih sang Pencipta. Bahkan, dalam memanfaatkan alam untuk melayani kebutuhannya, manusia harus melayani alam ini, harus menjaganya, dan mengolahnya untuk mencapai tujuannya.

Selanjutnya kehidupan manusia ditentukan oleh dan melalui tindakan manusia itu sendiri. Seseorang adalah apa yang dikerjakannya. Sebagai pelaku manusia mempunyai kapasitas untuk keluar dari masa kini, bergerak maju ke masa depan. Manusia adalah memiliki kebebasan, namun mereka harus bertanggung jawab atas apa saja yang mereka kerjakan. Nasib manusia ada di tangan manusia itu sendiri.

Semua aktivitas manusia dilakukan dalam kehidupan dunia, yang merupakan tempat bertemunya mutakallim dan mukhatab (pembicara dan pendengar) suatu tindakan komunikatif, dimana mereka saling mengajukan tuntutan bahwa ucapan mereka sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, dan dimana mereka dapat mengecam dan memperkuat kebenaran yang mereka nyatakan, menyelesaikan perselisihan pendapat mereka, maupun mencapai kesepakatan.

Kehidupan dunia adalah latar belakang dari proses mencapai saling memahami, melalui tindakan komunikatif. Dimana kehidupan dunia itu sendiri tersusun dari kultur, masyarakat, dan kepribadian. Kultur sangat erat kaitannya dengan tindakan manusia, tindakan manusia mengakibatkan terbentuknya pola-pola hubungan sosial (masyarakat) yang sesuai (sebaliknya), daripadanya dapat terlihat seperti apa kepribadian dan perilaku mereka.

Kehidupan itu merupakan dunia mikro tempat individu berinteraksi dan berkomunikasi. Daripadanya tumbuh kebiasaan (habitus), yaitu bangunan mental atau kognitif yang diinternalkan, dengan melaluinya individu dapat memahami kehidupan sosial. Kebiasaan (habitus) menghasilkan dan dihasilkan oleh aktivitas bermasyarakat.

Sejalan dengan hakikat kejadian manusia yang intinya adalah makhluk rasional, individu selalu membangun kehidupan dunia secara rasional (rasionalisasi), membangun kebiasaan rasionalisasi kehidupan dunia yang termasuk di antaranya komunikasi rasional. Tatkala komunikasi rasional menjadi suatu kebiasaan (habitus) yang semakin meningkat dalam kehidupan dunia, diyakini bahwa semakin rasional kehidupan sehari-hari, makin besar kemungkinan interaksi akan dikendalikan oleh motivasi rasional untuk saling memahami. Itulah bentuk metoda rasional untuk mencapai konsensus, yang selanjutnya mewujudkan kebiasaan penampilan argumen yang lebih baik.

Dalam uraian terdahulu telah dikatakan bahwa kehidupan dunia itu tersusun dari kultur, masyarakat, dan kepribadian. Dimaksud dengan kultur adalah peradaban, yakni kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin. Berupa hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa (ummat manusia). Kemajuan dan peningkatan peradaban ummat manusia maupun bangsa mampu menghantarkan mereka ke arah perubahan, tentunya perubahan positif. Karenanya perubahan itu berlanjut seiring dengan kemajuan peradaban. Peradaban mendominasi perubahan dalam cara mengendalikan gerak hati manusia. Yang selanjutnya tercipta perubahan cara individu berpikir, bertindak, dan berinteraksi.

Kunci proses peradaban adalah pengendalian diri. Pengendalian diri dimulai dengan cara pengendalian melalui orang lain dari berbagai segi, kemudian diubah menjadi pengendalian diri. Kemudian aktivitas manusia yang bebas berdasar naluri didesak ke belakang panggung kehidupan komunal manusia yang selanjutnya ditanamkan menjadi perasaan malu, kemudian diciptakan cara, norma umum masyarakat yang terus menerus dipengaruhi oleh pengendalian diri yang makin lama makin stabil dan mumpuni.

Jaringan hubungan mendasar yang berasal dari keinginan dan tindakan berbagai individu ini dapat berubah menjadi aturan bersama dan terpola, yang tak dapat lagi dikatakan sebagai rencana atau ciptaan manusia individual. Dari saling ketergantungan individual inilah timbul peraturan sui generis, peraturan yang lebih memaksa dan lebih kuat daripada kemauan dan nalar individu yang membentuk jaringan hubungan itu. Peraturan itulah yang menjalin kemauan dan aktivitas manusia, peraturan sosial ini yang menentukan jalannya perubahan historis, ia melandasi proses peradaban.

Dalam aspek ajaran Islam, hal itu adalah tuntutan-tuntutan etis dalam pola kehidupan masyarakat manusia dengan ciri-ciri kemajuan dan peradaban yang tinggi. Dan itulah Thaibatul Madinah yang dibangun oleh Nabi Saw.. Orang menyimpulkan bahwa ajaran dan praktek Nabi Saw., pada esensinya bersifat tatanan kota (urban) secara radikal. Program-program Nabi di Madinah sangat radikal dibanding dengan pola hidup orang-orang Arab jahiliyah ialah tiadanya keteraturan, dengan ciri menonjol tiadanya pranata kepemimpinan masyarakat yang mapan, yang menjadi kebutuhan masyarakat maju, yang ada hanyalah pranata kepemimpinan atas dasar kesukuan dan keturunan saja. Maka yang diwujudkan oleh Nabi Saw. adalah pola hidup sosial dengan pranata kepemimpinan yang mapan dan rasional.

Yang menjadi inti ajarannya adalah perubahan dari kehidupan “liar” menjadi pola kehidupan beradab, dengan dukungan-dukungan sistem tertib hukum dan kekuasaan. Setiap anggota masyarakat diwajibkan menghormati dan menjalankan hukum yang dianutnya dengan tulus dan setia hati, sebab hanya dengan cara itu suatu kehidupan yang lebih tinggi dapat diwujudkan.

Manusia dalam kehidupannya adalah pembuat sejarah, walaupun tidak dapat dibuat dengan sesuka hatinya, mereka ciptakan berdasar keadaan yang langsung mereka hadapi, mereka terima, sebagai lanjutan dari masa lalu. Yang dimaksud dengan itu semua adalah aktivitas dan pemikiran manusia itulah yang kelak akan menjadi suatu sejarah yang mereka ciptakan. Aktivitas yang kemudian menjadi sesuatu yang bersejarah bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh pelakunya, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan ulang melalui suatu cara, dengan cara itu juga mereka menyatakan dan dinyatakan sebagai pelaku sejarah.

Dalam kaitan ini bimbingan ke arah tumbuh suburnya motivasi dan kreativitas mesti seimbang, sebagai potensi untuk bertindak. Motivasi menyediakan rencana menyeluruh untuk bertindak, sekalipun banyak tindakan manusia tidak termotivasi secara langsung. Meski tindakan tertentu tidak dimotivasi dan motivasi seseorang umumnya tidak disadari, namun motivasi memainkan peran penting dalam tindakan manusia. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan dengan tujuan tertentu, atau suatu usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Membangun Peradaban

Kini, apa yang sedang kita lakukan dan terus kita lakukan, adalah membangun peradaban menuju perubahan sosial yang terhormat. Dalam kaitan ini (perubahan sosial) kita tidak melihat selalu berlangsung secara mulus, dalam prosesnya terkadang terhenti dan mulai lagi. Namun, karena memiliki motivasi yang jelas, maka membangun peradaban yang kita lakukan ini kita yakini akan terus bergerak dan tidak pernah terhenti. Dalam kaitan ini, kita telah memiliki kapital (modal) dengan berbagai jenisnya, baik kapital ekonomi, kapital kultural, kapital sosial, bahkan kapital simbolik.

Semua kapital yang kita miliki harus kita arahkan untuk meraih masa depan yang bermakna. Masa depan yang bermakna tidak dapat ditunggu bahkan tidak dapat ditemukan kembali. Maksudnya, bahwa kita takkan menemukan masa depan itu di masa lalu, dan kita tidak boleh berdiam pasif menunggu nasib kita. Masa depan mesti ditemukan, diciptakan, ditulis dalam apa yang kita kerjakan kini. Untuk meraihnya, sebenarnya tidak ada jawaban tunggal, namun semua kita berhak menjawabnya dengan berbagai jawaban, yang kemudian kita rangkum sebagai jawaban bersama, dan itulah wujud dari kepribadian yang mesti kita pegang teguh. Dalam hal ini tak perlu lagi kita mempertanyakan siapa diri kita namun sebaliknya pikirkan dan lakukan perbuatan apa yang terbaik untuk meraih masa depan yang terhormat, dan terus berbuat dan bekerja.

Beraktivitas untuk mencapai masa depan yang terhormat, memerlukan pengendalian diri, masing-masing pada propor¬sinya. Itulah wujud saling ketergantungan satu dengan lainnya (interdependensi) dalam beraktivitas. Semakin panjang rantai saling ketergantungan, individu makin banyak belajar mengendalikan dirinya sendiri, dan individu semakin terbebas dari nafsunya sendiri. Makin panjangnya rantai ketergantungan, tak hanya berkaitan dengan makin kuatnya pengendalian atas kemauan individual, tetapi juga berkaitan dengan makin meningkat kepekaan terhadap orang lain dan diri sendiri. Makin tingginya derajat kepekaan ini merupakan aspek kunci proses peradaban dan menjadi penyumbang utama perkembangan peradaban selanjutnya.

Memasuki masa depan yang bermakna adalah kemampuan dan kepiawaian kita men-solving problem masa kini. Kita katakan sebagai kepiawaian, sebab untuk menanggulangi berbagai macam masalah memang tidak ada jawaban rasional tunggal, karenanya diperlukan berbagai jawaban yang rasional.

Agaknya jawaban-jawaban rasional yang harus ditampilkan untuk memasuki masa depan terhormat tentunya meniti pada kapital-kapital yang telah kita miliki, yang semua kapital-kapital itu harus diperkuat dengan ilmu pengetahuan, yang dapat memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian-pendirian yang tak mau dibandingkan.

Kita yakin masyarakat kita (Indonesia) akan terus berkembang maju secara evolusioner menuju ke kepribadian dan moral yang ideal, setelah melewati berbagai fase yang mendahuluinya. Dari masyarakat militan menuju kepada masyarakat “pendidikan”.

Masyarakat militan yang dimaksud adalah masyarakat yang tersusun sebagai militer, guna melakukan berbagai rangkaian pengawasan terhadap kehidupan bangsa. Struktur masyarakat dari tingkat atas sampai kepada lapisan paling bawah tersusun sebagai militan (militer) yang bertugas “perang” mempertahankan stabilitas. Pendekatan semacam ini membawa efek yang sangat mendalam, yang sisa-sisanya tidak dapat terselesaikan dalam tempo singkat. Tindakan-tindakan kekerasan sosal dalam berbagai macam bentuknya (sekalipun beralasan kebebasan dan demokrasi), itu semua merupakan cerminan akibat dari pada fase masyarakat militan yang telah kita lalui.

Namun kita sadari bahwa perubahan sosial tidak dapat sekali jadi, memerlukan ketekunan dan ke-lumintu-an kemauan dan tindakan. Pendekatan kita terhadap masa lalu harus arif, sehingga dapat kita jadikan sesuatu yang tetap bermanfaat. Mari kita jadikan masa lalu itu sebagai kumulasi pundak raksasa yang daripadanya kita dapat berdiri di atasnya untuk memandang masa depan yang ideal itu.
Jika kita katakan gerak perubahan dari masyarakat militan menuju masyarakat pendidikan, itu yang dimaksudkan adalah: masyarakat militan yang bercirikan kekerasan (yang memang kekerasan dan pemaksaan pendapat masih sering terdemonstrasikan di masyarakat Indonesia). Karenanya perlu dirancang dan disebarluaskan suatu bentuk pendidikan untuk belajar hidup bersama dalam damai dan harmoni. Suatu bentuk pendidikan pengembangan belajar hidup bersama dengan orang lain, dengan semangat menghormati nilai-nilai pluralisme dan kebutuhan untuk saling pengertian, toleransi, dan damai. Proses belajar hidup bersama yang akan memungkinkan terhindarnya pertikaian atau memungkinkan penyelesaian pertikaian secara damai. Hidup bersama semacam ini memerlukan suatu proses yang dinamis, holistik, sepanjang hayat melibatkan warga bangsa secara keseluruhan.

Apa yang kita tekuni kini (masyarakat pendidikan) merupakan citra mendasar tentang apa yang menjadi masalah pokok di masa kini bangsa kita, dan itu kita jadikan kerangka pikir kita (paradigma). Sebagai ummat beragama, kita memiliki sandaran kokoh yaitu ridla Allah. Untuk mendapatkannya merupakan suatu keniscayaan. Karenanya mari kita gantungkan segala daya dan upaya kita untuk mendapat ridla-Nya semata-mata.

Mengemban tugas suci dan mulia ini tidak boleh ada suatu keraguan dan canggung, dengan kepribadian yang utuh, dalam perjalanan, kita pasti dapat menilai segala yang bernilai baik maupun sebaliknya. Kita harus selalu arif dalam menghadapi tantangan dan rintangan. Jiwa besar mesti kita internalisasikan ke dalam diri kita. Menjalankan tugas mulia memang sepertinya menjadi sangat baik bila mendapatkan kesepakatan semua manusia, namun itu merupakan sesuatu yang mustahil. Ridla Tuhan jauh lebih “gampang didapat” daripada kerelaan manusia. Namun jangan pernah berhenti mengemban tugas mulia ini hanya karena tidak mendapatkan kesepakatan dari semua manusia (yang mustahil itu).

Ada suatu adagium :
رضى الناس غاية لا تدرك
Kerelaan semua manusia sesuatu yang tak mungkin dicapai.

Karenanya,

ما لا يدرك كله لا يترك كله
Kerjakan sesuatu yang baik itu sekalipun tidak mendapatkan persetujuan dari segala lapisan manusia.

Kita tidak boleh canggung, seperti canggungnya sang penunggang keledai (sudahpun binatang tunggangannya keledai canggung pula, apa jadinya?). Alkisah, seorang bapak dan anak sedang menempuh perjalanan pengembaraan, berkendaraan keledai. Tatkala di perjalanan yang jauh dari keramaian mereka (bapak, anak, dan keledai) berjalan dengan semangat dan riang gembira. Begitu memasuki keramaian kota, banyak manusia berkomentar, bermacam-macam komentarnya. Yang paling direspon oleh sang penunggang adalah kritik orang jalanan yang mengatakan: “Wah, itu orang tidak berperikemanusiaan, keledai begitu kecilnya kok ditunggangi oleh dua penumpang”.

Karenanya, turunlah sang ayah dan menuntun keledai sambil membiarkan anaknya tetap di punggung keledai. Dalam perjalanan selanjutnya didengar pula kritik dari orang yang mengaku ahli dalam etika dan sopan santun, apa katanya: “Anak tak tahu diri, orang tua disuruh berjalan sambil menuntun keledai sedang dia duduk di punggung keledai”.

Direspon pula kritik itu oleh sang anak, kemudian mereka berjalan bersama, bapak, anak, dan keledai. Tak lama kemudian berpapasanlah mereka dengan seorang pedagang yang selalu berhitung untung rugi, dan berkata penuh kritik: “Ah, bodoh kali kalian ini, cuaca panas seperti ini kamu berjalan kaki tanpa terumpah lagi” (padahal mereka memakai sandal usang). Mendengar kritik berbau penghinaan ini, bapak dan anak mengambil keputusan fatal, mereka anggap akan lebih etis dan berperikemanusiaan tindakan yang akan dia ambil, yaitu: Mereka ikat kaki keledai itu selanjutnya mereka gotong dengan pikulan, dan mereka pikul sambil meneruskan perjalanan di keramaian manusia. Tentunya semua yang melihat menjadi bertanya-tanya, tertawa melihat kelakuan seperti itu.

Itulah contoh tamsil orang yang kurang teguh pendirian. Mengapa tidak teguh pendiriannya? Karena kurang modal ilmu, keledai mampu mengangkat beban dua kali lipat berat badannya. Andainya sang bapak dan anak tadi mengetahui berat badan keledai mereka taklah mungkin terjadi peristiwa yang menggelikan tadi. Padahal dari jalan cerita tadi, sepanjang perjalanan sebelum masuk kota kekuatan keledai telah teruji. Namun karena sang bapak dan anak ternyata kurang percaya diri, bukan ridla Tuhan yang dicari, namun puja-puji manusia yang didengar, akhirnya fatal maupun celaka. Sudahpun berkendaraan keledai, celaka pula yang didapat.

Semoga kita terjauh dari tamsil sang penunggang keledai tersebut. Dan dalam kesempatan ‘Idul Fithri ini kami menyampaikan Selamat ber-‘Idul Fitri, semoga amal darma bakti kita diterima oleh Tuhan Allah Subhanahu Wata’ala, dan maaf lahir batin atas segala kekhilafan yang kami lakukan. (Sumber Berita Indonesia, 25/ 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home